-29-

50 16 4
                                    

Cakra dan Anastasya tiba di tempat parkir rumah sakit. Belum sempat Anastasya melepas sabuk pengamannya, Cakra langsung turun tanpa mengucapkan terima kasih. Hal itu membuat Anastasya sedikit terkejut dan tertawa kecil.

“Gila, aku kira latar belakang seseorang tidak berpengaruh sama attitude-nya.”

Cakra bukan tidak ingin berterima kasih, tetapi rasa cemas yang ia rasakan saat ini benar-benar membuatnya hanya memikirkan Widya. Pemuda itu masuk ke ruang UGD dan tanpa segan membuka satu per satu tirai yang menutupi pasien. Namun, hingga tirai terakhir ia tidak menemukan Widya.

“Sial! Apa jangan-jangan perempuan itu nipu aku?”

Saat Cakra ingin kembali menemui Anastasya, ia tidak sengaja melihat Samudra yang sedang berbicara dengan petugas medis di depan meja resepsionis. Cakra langsung mendekat ke arahnya. Pikirannya benar-benar kacau sampai ia tidak berpikir panjang dan langsung meremas kemeja Samudra.

“Apa-apaan ini?!”

Samudra berusaha untuk melepaskan diri, tetapi kali ini ia tidak sanggup melakukannya. Emosi Cakra benar-benar sudah di ujung kepala. Selain itu, tubuh Samudra yang memang lebih pendek dan lebih kecil dari Cakra, membuatnya sulit untuk melawan.

“Lepasin nggak?! Saya bisa nuntut kamu, ya,” ancam Samudra yang juga mulai emosi dengan tatapan Cakra.

“Katakan, di mana Widya?!”

Ada satu hal yang membuat Cakra yakin bahwa Samudra tahu tentang keberadaan Widya. Rasa cemburu. Kecemburuan yang bercampur dengan kecemasan, membuat Cakra kalap mata dan tidak mau mendengarkan penjelasan Samudra. Bagi Cakra, kehadiran Samudra di tengah-tengah kehidupannya dengan Widya adalah sumber dari semua masalah.

Samudra mengernyitkan dahi. “Widya? Aku nggak tau.”

“Bohong! Aku tau kamu pasti tau Widya di sini. Iya, kan?!”

“Kamu ngomong apa, sih? Saya ke sini untuk nemuin Ayah saya yang dirawat. Saya bahkan nggak tau Widya kenapa bisa di rumah sakit.”

Saat Cakra ingin menyandarkan tubuh Samudra ke dinding, Anastasya langsung masuk di antara mereka berdua. Dengan kekuatan yang ia punya, wanita itu melerai dua pemuda yang sama-sama sedang emosi.

“Kalian ini apa-apaan?! Nggak malu diliatin orang-orang?”

Cakra mengalihkan pandangannya ke arah Anastasya. “Kamu bohong, kan! Widya nggak ada di sini.”

Cakra melangkah mendekat ke arah Anastasya yang berhasil membuat wanita itu ketakutan dan berjalan mundur. Cakra menyandarkan telapak tangannya di dinding tepat di atas kepala Anastasya.

“Kalau kamu macam-macam sama aku dan sampai libatin Widya, aku nggak akan segan-segan lakuin hal yang nggak pernah kamu bayangkan.”

Setelah mengucapkan ancaman yang berhasil membuat Anastasya terdiam, dua orang petugas keamanan langsung menahan tubuh Cakra. Cakra berusaha memberontak agar bisa melepaskan diri.

"Lepasin dia,” perintah Samudra.

“Tapi, Pak. Nanti dia buat keributan lagi gimana?”

“Saya yang akan tanggung jawab.”

Kedua petugas keamanan langsung berpandangan kemudian melepaskan Cakra. Cakra memperbaiki kemejanya yang kusut karena tindakan petugas tadi.

“Sejak kapan kalian berdua bisa sedekat ini? Aku yakin, ini bukan pertama kali aku lihat kalian sama,” ucap Samudra dengan tatapan menyelidik.

Sejak beberapa hari lalu saat ia melihat Cakra dan Anastasya berbicara sangat akrab di depan kantor, Samudra memang sudah menaruh curiga pada keduanya. Apalagi, belakangan ini Anastasya seperti menyembunyikan sesuatu dari semua orang.

Samudra ingat, hari saat uji coba batal, Anastasya pulang sangat malam. Ia tidak sengaja melihat wanita itu masuk ke dalam rumah dengan mengendap-endap seperti takut ketahuan.

“Aku punya urusan pribadi sama Cakra. Nggak harus kamu tau, kan?”

Samudra menatap Cakra yang terlihat salah tingkah. “Pak Cakra, saya kira kamu benar-benar mencintai Widya. Ternyata—“

Belum selesai Samudra menyelesaikan ucapannya, Cakra kembali menggertak ingin memukulinya. “Maksud kamu apa?!”

“Sudah, sudah,” ucap Anastasya menengahi.

“Samudra, kamu kira selera saya serendah ini?”

“Apa maksudmu?!”

Cakra mendekat pada Anastasya dengan tatapan tajam siap menerkam. “Ucapkan sekali lagi.

Anastasya hanya tersenyum, meskipun dalam hati ia memiliki ketakutan. Semenjak mengenal Cakra, Anastasya sudah tahu bahwa pemuda itu memiliki temperamen yang buruk. Ia harus lebih berhati-hati untuk menghadapi Cakra. Meski begitu, Anastasya sudah memilih Cakra untuk menjadi kuda di papan caturnya.

Sorry, sorry. Aku janji nggak akan kayak gitu lagi. Kita ke sini karena kamu mau ketemu sama Widya, kan? Ayo ikut aku.”

Anastasya langsung menarik tangan Cakra. Samudra yang juga merasa penasaran dengan keadaan Widya, mengikuti mereka.

“Bapak ngapain ikutin kita?”

“Saya mau lihat Widya juga.”

Cakra tertawa meremehkan. “Saya pacarnya dan saya nggak ijinin Bapak ketemu sama dia.”

“Loh, saya dosennya. Saya juga punya hak jengukin mahasiswa saya.”

“Dosen? Apa Bapak lupa kalau Bapak sudah nggak jadi dosen sekarang?”

Samudra terdiam. Ia baru tersadar bahwa sekarang dirinya bukan lagi dosen Widya. Ia juga tidak punya alasan lain untuk membantah Cakra yang jelas-jelas adalah kekasih wanita itu.

“Udahlah, biarin aja,” ujar Anastasya.

“Nggak!”

Cakra mendekat ke arah Samudra dan berbisik, “saya nggak suka kamu berada di dekat Widya."

Cakra tersenyum dan kembali melanjutkan langkahnya. Anastasya yang sebenarnya tidak peduli dengan masalah kedua pemuda itu, sedikit merasa kasihan pada Samudra. Ia menepuk pundak Samudra sebelum menyusul Cakra masuk ke dalam lift.

“Aku udah pernah bilang, kan? Samudra sama Widya udah dijodohin.”

“Terus?”

“Ya, kamu seharusnya lebih cepat untuk dapatin Widya sebelum itu. Kamu mau, kan, nikah sama dia?”

Cakra hanya diam. Jelas saya jawaban dari pertanyaan itu adalah, “ya”. Namun, ia sadar diri kala langkah ke depan tidak akan semudah itu. Ia tidak hanya harus bersaing dengan Samudra yang punya segalanya, tetapi juga latar belakang Widya yang sangat jauh berbeda dengannya.

“Aku udah bilang, bakalan bantuin kamu. Kalau kamu sanggup, besok kita jalankan rencananya. Kalau nggak ...”

Anastasya menatap Cakra. “Kalau nggak, kamu nggak hanya akan kehilangan Widya tapi juga semuanya.”
Anastasya tersenyum menang. Ia bisa melihat harapan dari tatapan Cakra. Beberapa detik kemudian, pintu lift terbuka.

“Aku kasih waktu sampai besok. Oke?”

Anastasya melangkah keluar dan berjalan mendahului Cakra yang masih bingung dengan keputusannya. Anastasya yang merasa Cakra tidak mengikutinya, berbalik dan langsung berlari kecil untuk mencegah pintu lift tertutup kembali.

“Kamu nggak mau nemuin Widya?”

“Ah, maaf, maaf.”

Cakra melangkah keluar dan mengikuti Anastasya sampai keduanya tiba di depan ruangan yang bertuliskan ruangan Mawar. Keduanya melihat Dimas yang sedang duduk di kursi tunggu sambil menundukkan kepala dan menautkan kedua tangannya yang di letakkan di atas paha.

“Dimas!”

Dimas melihat Cakra dan tersenyum. Cakra yang melihat penampilan Dimas sangat jauh dari kata baik-baik saja, hanya bisa menatap pemuda itu dengan tatapan iba.

“Widya gimana?”

“Widya baik-baik aja. Barusan dia istirahat.”

Cakra bernapas lega. Ia duduk di samping Dimas dan memeluk pemuda itu. Barulah ketika merasa ada seseorang yang bisa dijadikan tumpuan, Dimas bisa menangis sekuat-kuatnya. Tangisan yang sudah berjam-jam ia tahan karena takut membuat Widya khawatir.

Selain menangisi kepergian Putri, Dimas juga menangisi takdir yang mungkin saja akan Cakra hadapi. Pemuda itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangisnya semakin pecah karena takut kehilangan Cakra yang pernah membantunya keluar dari keterpurukan di kehidupan masa depan.

Hello, i’m here,” sindir Anastasya yang merasa kehadirannya tidak disadari.

Cakra dan Dimas melepas pelukan. Keduanya tampak canggung satu sama lain karena takut menimbulkan kesalahpahaman untuk Anastasya.

“Sekarang, aku udah nepatin janji, kan? Aku harus ke kamar Ayahku. Aku harap, kamu ambil keputusan yang tepat, ya, Cakra.”

Cakra hanya diam dan membiarkan Anastasya pergi. Setelah kepergian wanita itu, Dimas yang sudah menghapus jejak-jejak air mata di pipinya memperbaiki posisi duduk semakin mendekat ke arah Cakra.

"Pak, apa yang Ibu Anastasya tawarkan sama Bapak?”

Cakra menatap Dimas. Sebenarnya, ia membutuhkan seseorang yang bisa diajak diskusi mengenai masalah ini. Namun, melihat keadaan Dimas yang tidak memungkinkan, membuat Cakra hanya bisa tersenyum dan mengelak.

“Nggak pa-pa. Kamu gimana? Udah lihat Putri? Aku benar-benar kaget pas tau Putri—“

“Pak. Mulai sekarang, Bapak harus hati-hati berada di dekat Widya. Saya nggak mau Bapak akan bernasib sama kayak Putri.”

“Maksud kamu?”

Dimas diam sejenak. “Saya sudah membaca pola kehidupan kedua saya dan Putri. Semua masalah berawal dari pertemuan kami. Karena saya ingat dan sadar kalau ini kesempatan kedua yang Putri berikan untuk saya, akibatnya Putri yang harus menanggung semuanya.”

“Itu artinya, Widya nggak boleh sampai sadar?”
Dimas mengangguk. Tanpa keduanya sadari, Widya yang hendak menemui Cakra setelah mendengar suara pemuda itu, mendengar percakapan mereka.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang