Widya dan Cakra turun dari taksi setelah tiba di sebuah rumah besar yang di depannya banyak mobil mewah berjejer rapi. Widya yang selama perjalanan hanya menangis tanpa menjelaskan Cakra situasi yang mereka hadapi, langsung turun setelah memberikan uang satu lembar seratus ribu pada sopir taksi.
Wanita itu langsung menerobos ke dalam rumah setelah melalui orang-orang yang berpakaian serba hitam. Sementara dari jarak yang tidak begitu jauh, Cakra berusaha mengikuti Widya agar tidak hilang dari pandangannya. Saat kaki Cakra menginjak teras rumah, ia benar-benar terkejut dengan kehadiran Samudra dan Anastasya yang berdiri di depan pintu.
Tidak hanya mereka berdua, seorang wanita yang menggendong bayi juga berdiri di tengah-tengah merek. Ketiganya mengenakan pakaian serba hitam dan memasang wajah penuh kesedihan. Cakra menggerakkan kepalanya mencari sesuatu dan baru berhenti ketika melihat bendera putih terpasang di tiang rumah.
Rasa penasaran Cakra semakin bertambah ketika baru menyadari Widya hilang dari pandangannya. Ia berusaha mencari wanita itu, tetapi hasilnya nihil. Satu-satunya cara adalah masuk ke dalam rumah. Itu artinya, Cakra harus melewati Samudra dan juga Anastasya.
“Cakra,” panggil Anastasya yang membuat Samudra dan juga wanita di sampingnya melihat ke arah Cakra.
“Bentar, ya. Aku ke sana dulu,” ucap Anastasya, tetapi Samudra langsung menahan tangannya.
“Biar aku aja.”
Samudra berjalan mendekati Cakra dan langsung menarik tangan pemuda itu sampai gerbang. Cakra tidak menolak karena ia tidak mau membuat keributan di sana. Apalagi, melihat keadaan Samudra yang tidak memungkinkan untuk diajak berdebat, membuat Cakra mau tidak mau hanya bisa mengikuti langkah pemuda itu.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Samudra.
“Saya ke sini sama Widya. Tapi pas nyampe, kayaknya dia langsung masuk ke dalam.”
“Widya?”
Samudra berbalik dan melihat situasi di dalam. “Widya beneran ke sini? Nggak mungkin. Saya dari tadi di pintu nggak liat dia masuk.”
“Benar, Pak. Saya tadi ke sini sama Widya.”
Samudra diam sejenak. “Ya udah, kamu duduk aja dulu. Nanti saya coba liat ke dalam.”
“Eh, tunggu,” cegah Cakra yang langsung membuat langkah Samudra berhenti.
“Kalau boleh tau, siapa yang meninggal?”
Samudra berbalik dan tersenyum tipis. “Ayah saya. Sekaligus rasa kemanusiaan di rumah ini.”
“M-maksudnya?”
Samudra hanya tersenyum dan menepuk pundak Cakra lalu pergi meninggalkan pemuda itu dengan kebingungannya. Cakra benar-benar tidak ingin kembali ke dalam, apalagi kalau nanti bertemu dengan Anastasya. Ia memutuskan untuk menghubungi Widya. Namun, ponsel wanita itu tidak bisa dihubungi.
Cakra memutuskan untuk mengirimkan pesan pada Widya yang bermaksud untuk pamit lebih dulu. Namun, belum sempat pesan itu terkirim, Anastasya sudah berada di hadapannya dengan tatapan yang tidak kalah menyedihkan dari Samudra.
“Kamu ke sini mau ketemu Widya, kan?”
Cakra mengernyitkan dahi mendengar ucapan Anastasya. “Aku ke sini bareng dia. Tapi pas nyampe dia ngilang. Kalau kamu ketemu dia, tolong sampein aku pulang duluan, ya.”
“Eh, bentar dulu. Aku mau bicara.”
Cakra yang hendak pergi, terpaksa harus berbalik karena Widya menahan tangannya. Namun, seketika wanita itu melepaskan tangan Cakra karena merasa tidak enak mendapat tatapan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [END]
Romantizm[Naskah ini dikutkan dalam event GMG Writers 2022] Nomor Urut: 066 Tema: Marriege Life Cakra Adiguna yang berbulan-bulan hidup dalam penyesalan, mendapat kesempatan untuk memperbaiki masa lalunya. Meski begitu, tidak semua hal akan berjalan seperti...