-23-

51 21 1
                                    

Cakra tiba di depan pabrik dan segera turun setelah membayar uang taksi. Sebelum masuk, ia singgah di depan sebuah mobil yang terparkir tepat di depan taksi dan berkaca di sana. Cakra memperbaiki penampilan yang sudah acak-acakan. Setelah merasa cukup baik, barulah pemuda itu berani masuk ke area pabrik dan segera menemui kepala produksi yang sejak tadi sudah menunggu.

“Selamat sore, Pak,” ucap Cakra dengan perasaan gugup.

“Sore. Anda ini bagaimana Pak Cakra? Saya, kan, udah bilang, besok ada agenda yang sangat penting makannya saya menyuruh Anda untuk turun ke pabrik langsung supaya bisa cek apa saja yang mungkin masih kurang. Apalagi, ini produksi yang gunain desain Anda, kan?”

“Saya minta maaf, Pak. Tadi ada kejadian nggak terduga makannya saya harus ke rumah sakit dulu.”
Kepala produksi menutup mata sejenak. “Saya tidak mau tau alasannya. Yang jelas, semua mobil yang akan diikutkan dalam evaluasi besok, harus sudah selesai sebelum tengah malam. Paham?!”

“Baik, Pak.”

Kepala produksi meninggalkan Cakra dan tiga orang karyawan yang sejak tadi hanya bisa menunduk. Cakra mendekati mobil yang ia lihat sebelumnya dan memulai pekerjaannya. Ia meminta salah satu karyawan membawakan dokumen yang diperlukan untuk mengecek bagian-bagian penting.

Sebagai pekerja keras yang sering kali lupa waktu istirahat, hal yang Cakra lakukan termasuk ekstrem. Ia belum makan sejak pagi dan melewatkan makan siang karena langsung berangkat ke pabrik, dan saat ini ia kemungkinan besar akan melewatkan makan malamnya.

Tiga orang karyawan yang juga ikut membantunya, hanya bisa pasrah ketika perut bmereka mulai keroncongan karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Cakra masih enggan meninggalkan pekerjaannya. Pemuda itu fokus mengecek setiap bagian mobil dari fisik sampai mesin-mesinnya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk beristirahat meskipun hanya sekejap.

Salah satu karyawan yang bernama Andre, merasa perutnya melilit karena terlambat makan. Namun, ia tidak berani untuk meminta izin pada Cakra yang sangat serius dengan pekerjaannya. Sampai tiba-tiba, Samudra datang.

“Selama malam semuanya.”

Kedatangan Samudra membuat Cakra mau tidak mau harus menjeda pekerjaannya. A terpaksa menegakkan tubuh dan ikut berdiri di samping karyawan lain.
“Selamat malam,” sahut semua karyawan termasuk Cakra.

“Kalian sudah makan malam?” Semua orang saling berpandangan, kecuali Cakra.

“Jadi semuanya belum makan?”

“Be–"

“Sudah,” potong Cakra saat Andre ingin mengatakan yang sebenarnya.

Hal itu membuat semua karyawan memandang tak suka ke arah Cakra. Seharusnya, Cakra tidak boleh egois seperti sekarang, kan? Sikap egois yang tidak hanya berdampak pada orang lain, tetapi juga pada diri sendiri karena sebenarnya ia juga merasakan lapar luar biasa.

“Benarkah?” tanya Samudra memastikan.

tidak satu pun karyawan yang berani menjawab. Mereka terlalu takut dengan Cakra yang sejak tadi hanya fokus dengan pekerjaannya dan hanya akan berbicara ketika perlu saja. Tatapan Cakra yang sangat dingin serta sikap tegasnya, membuat tiga orang karyawan yang bersamanya hanya bisa terdiam.

Namun, tiba-tiba saja Andre jatuh tepat di depan Cakra. Hal itu membuat semua orang panik dan segera membantu Andre termasuk Cakra
.
“Bawa dia ke ruang istirahat,” perintah Samudra.
Cakra membantu dua karyawan lain untuk membantu membawa tubuh Andre. Namun, Samudra menahannya.

“Kalian berdua bisa bawa dia, kan? Saya mau bicara sama pak Cakra.

Kedua karyawan itu mengangguk dan meninggalkan Samudra dan Cakra. Samudra mendekat ke arah Cakra dan meletakkan tangannya di atas pundak pemuda itu.

“Pak Cakra, Pak Cakra. Saya tau kamu pekerja keras. Tapi jangan sampai merugikan orang lain seperti ini. Bagaimana kalau terjadi apa-apa sama karyawan tadi? Siapa yang disalahkan? Jelas perusahaan, kan?”

Cakra menepis tangan Samudra dan mengangkat kerah atasannya itu. Sebenarnya, sejak tadi ia sudah tidak tahan untuk memukuli Samudra. Ucapan Ibunya Widya, masih terekam jelas dalam benaknya.

“Kamu apa-apaan, sih. Lepasin nggak?!”

Cakra tersenyum licik. “Kamu boleh mendapatkan Widya dengan semua yang kamu punya. Tapi saya pastikan, semua itu bisa terjadi kalau saya udah nggak ada di dunia ini.”

Samudra membalas senyuman Cakra dan melepaskan tangan pemuda itu dari kerahnya. Ia mengatur dasi yang berantakan karena ulah Cakra tadi.

“Jadi, kamu siap hilang dari dunia ini?”

Dada Cakra memanas mendengar ucapan Samudra. “Oh, jadi ternyata benar. Kamu yang akan dijodohkan dengan Widya? Jangan-jangan, kamu yang ngehasut ibunya untuk nyuruh mukulin saya tadi?”

Samudra menaikkan satu alisnya karena tidak paham dengan kata-kata Cakra. Satu hal yang baru ia sadari, wajah Cakra yang lebam adalah bukti bahwa yang dikatakan pemuda itu adalah kebenaran.

“Siapa yang dijodohkan dengan Widya?”

“Jangan pura-pura bego! Nggak mungkin ibunya bisa bertindak jahat sama orang lain kalau nggak ada yang ngehasut.”

“Sumpah, saya nggak paham. Kamu dipukulin orang-orang suruhan ibunya Widya karena dia mau dijodohkan sama saya?”

Cakra tertawa remeh. “Bagus sekali aktingmu, ya. Sampai aku ngira kamu benar-benar tidak tau apa-apa. Jelas-jelas saya dengar sendiri tadi ibunya Widya bilang kala kamu yang akan nikahin Widya dan minta saya untuk jauhin dia.”

“Oh, pekerjaan saya sudah selesai.” Cakra mengambil tangan Samudra dan menyerahkan laporan evaluasi yang sudah berjam-jam ia kerjakan.

“Saya permisi,” ucap Cakra lalu pergi meninggalkan Samudra yang masih berusaha memahami maksud kata-kata pemuda itu.

Cakra berjalan menyusuri jalanan sepi. Ia hanya bisa tersenyum ketika membayangkan semua hal yang terjadi hari ini. Tentang ancaman dari orang tua wanita yang sangat ia cintai, tentang sikap perhatian Widya padanya, dan juga tentang pembicaraan dengan Samudra tadi.

“Andai aku nggak kayak gini, andai aku terlahir kaya, andai—“

Cakra menjeda kalimatnya ketika melihat seorang wanita berdiri tepat di pertigaan. Wanita itu adalah Widya yang sedang membawa kantong berwarna putih.

“Widya,” panggil Cakra dan langsung berjalan ke arahnya dengan tersenyum.

“Mas, kamu, kok, nggak angkat telponku. Kamu udah makan? Ini buburnya sampai dingin.”

“Astaga .. kamu jauh-jauh ke sini cuma untuk ngantar ini? Udah dari tadi?”

Widya mengangguk. Ia tidak bisa berbohong kalau sebenarnya ia sudah sangat lama menunggu di pertigaan itu. Ia sudah memaksa masuk untuk mengantarkan bubur Cakra, tetapi pihak keamanan melarangnya. Mereka bahkan tidak menerima titipan makanan karena itu adalah aturan dari perusahaan.

Dua tahun lalu, ada seorang karyawan yang keracunan karena makan makanan dari seorang penitip yang tidak diketahui identitasnya. Sejak saat itu,  perusahaan menerapkan aturan untuk tidak mengizinkan pihak luar memberi makan karyawan yang sedang bekerja.

Cakra melepas jasnya dan memakaikan pada Widya. Ia benar-benar tidak tega dan merasa bersalah ketika melihat wanita itu tampak kedinginan karena hanya memakai kemeja hitam yang tipis.

“Nggak usah. Aku nggak ngerasa dingin, kok. Mending, Mas aja yang pakai,” tutur Widya ingin melepas jas Cakra, tetapi pemuda itu menahannya.
“Nggak dingin gimana? Ini pipi kamu udah merah begini.”

Widya tersenyum dan membiarkan Cakra memakaikan jasnya. Widya mengangkat tangannya bergantian agar Cakra lebih mudah memasukkan jasnya.

“Oke, udah. Sekarang, ayo pulang.”

“Bentar, Mas belum makan, kan? Gimana kalau kita makan dulu.”

“Makan bubur ?” tanya Cakra melihat ke arah kantong putih yang sebenarnya berisi bubur pesanannya tadi.
“Ini buburnya udah dingin. Nanti biar aku kasih ke kucing jalanan aja. Kita makan bakso di depan aja. Tadi aku lihat ada bakso di dekat sini.”

Cakra tersenyum dan menggenggam tangan Widya. Keduanya berjalan mencari tempat bakso yang Widya maksud tadi.

Sejenak, kebersamaan dengan Widya membuat Cakra melupakan keresahannya. Saat ini, ia ingin menghabiskan waktu berdua bersama Widya. Bagi Cakra, mungkin kehidupan kali ini terasa dua kali lebih berat ujiannya. Namun, ia akan berusaha untuk melewati setiap prosesnya asal itu bersama Widya.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi 👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang