Setelah sarapan selesai, Widya berdiri lebih dulu untuk membereskan piring dan gelas bekas yang mereka gunakan, tetapi Cakra langsung melarangnya dan menyuruh Widya untuk duduk. Kata-kata romantis dengan nada lembut yang Cakra ucapkan, membuat Dimas bergidik geli.
Pemandangan romantis dari pasangan suami istri itu, seharusnya sudah bisa membuat Dimas terbiasa karena baik Cakra maupun Widya tidak pernah segan-segan memperlihatkan kemesraan mereka di depan Dimas. Namun, namanya jomblo, Dimas jelas merasa geli.
"Kalian boleh nggak kalau mau mesra-mesra jangan di depan aku?" gerutu Dimas sambil memajukan bibirnya.
"Bilang aja kalau lo sirik," balas Cakra.
Dimas pun hanya mengangkat alisnya dan berdiri. "Hari ini aku izin nggak ke kantor dulu, ya. Aku ada janji sama pasien lama."
Semenjak Cakra menjalankan perusahaan barunya, Dimas adalah karyawan pertama sekaligus tangan kanan dari Cakra. Seperti halnya Widya, Dimas juga berperan penting dalam menjalankan perusahaan Cakra dari awal dirintis.
"Apa nggak bisa siangan gitu? Soalnya aku mau nemenin Widya ke dokter."
"Ke dokter? Emang WIdya sakit apa?" tanya Dimas yang langsung berbalik dengan wajah panik.
"Nggak pa-pa, kok, Dim. Aku cuma mau—"
"Ngecek kandungan. Soalnya dari semalam Widya muntah-muntah kayak orang hamil."
"Hah? Beneran? Jadi Widya hamil?" Raut wajah Dimas langsung berubah sumringah.
"Ya, belum tau. Makannya ini mau langsung ngecek ke dokter. Doain, ya ..," ucap Cakra.
Dimas langsung mengangguk dan menepuk pundak Cakra. "Ya, udah. Kalau gitu nanti aku re-schedule aja pertemuan sama pasien. Nanti langsung kabarin ke aku, ya, kalau udah tau hasilnya." Ucapan Dimas langsung mendapat anggukan dari Cakra dan Widya. Dimas juga langsung menyuruh mereka untuk segera bersiap-siap dan membiarkan urusan piring bekas padanya.
Sebagai seseorang yang sudah mengabdikan diri dan kehidupannya untuk keluarga Cakra, Dimas sama sekali tidak keberatan jika hidupnya tersita untuk membahagiakan mereka. Setiap kali Cakra atau Widya membutuhkan bantuan, Dimas akan dengan cepat mengulurkan tangan. Ia yakin, jika Putri masih ada, wanita itu pasti akan melakukan hal yang sama.
Cakra dan Widya hanya bisa menghela napas dan berulang kali berterima kasih pada Dimas atas semua kebaikannya selama ini. Dalam diam, mereka juga selalu mendoakan yang terbaik untuk pemuda itu. Terutama Cakra. Ia berharap, pemuda yang sudah dianggap seperti adik sendiri, akan menemukan kebahagiaannya suatu hari nanti.
***
Widya dan Cakra menunggu giliran untuk dipanggil. Karena datang lebih awal, mereka mendapat nomor antrean ketiga. Keduanya sama-sama antusias dan tidak sabar untuk masuk ke dalam dan berkonsultasi dengan dokter. Saat di perjalanan menuju dokter kandungan, Widya sudah mengatakan keresahan hatinya.
Widya tidak ingin terlalu berharap. Ia juga ingin Cakra melakukan hal yang sama, supaya jika harapan mereka tidak sesuai kenyataan, kekecewaan tidak begitu besar.
"Mas, kalau nanti ternyata aku nggak hamil, nggak pa-pa, ya?"
Ucapan Widya mendapat anggukan dari Cakra yang saat itu sedang fokus menyetir. "Nggak pa-pa, Sayang. Tapi, Mas yakin banget kalau kamu beneran hamil."
"Mas ..."
"Iya, iya. Kalau emang belum, ya, nggak pa-pa. Kita konsultasi sama dokter aja untuk jalanin program kehamilan. Gimana?"
"Kamu mau?"
"Ya, mau, dong, Sayang."
Percakapan mereka membuat Widya sedikit lega. Jika saja keresahannya tidak dibicarakan dan ternyata ia belum hamil, Widya pasti akan merasa bersalah karena sudah membuat Cakra kecewa. Apalagi, suaminya itu rela meninggalkan pekerjaan untuk menemani Widya.
"Ibu Widya Atmaja," panggil petugas.
Cakra dan Widya langsung berdiri dan mengikuti arahan petugas. Keduanya masuk ke sebuah ruang bernuansa putih yang di dalamnya terdapat seorang wanita memakai jas putih yang tersenyum ramah ke arah mereka.
"Silakan duduk, Pak, Bu," ucap dokter kandungan yang dari papan namanya tertulis dokter Imel.
Dalam ingatan Cakra dan Widya, ini bukan pertama kali mereka bertemu dokter Imel karena di kehidupan sebelumnya, Widya memang pasien dari dokter tersebut. Meski begitu, keduanya sama-sama bersikap seolah-olah itu adalah pertama kali mereka mengunjungi dokter kandungan, terutama Widya.
Widya menjelaskan tentang mual dan muntah serta sakit perut yang ia rasakan sejak semalam. Ia juga menjawab beberapa pertanyaan dari dokter Imel.
"Saya periksa dulu, ya."
Dokter Imel berdiri dan mengarahkan Widya untuk naik ke tempat tidur agar bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Selama pemeriksaan, Cakra menunggu dengan sangat antusias. Tangannya sangat dingin. Dalam hati, ia sangat berharap jika Widya benar-benar hamil.
Setelah beberapa menit melakukan pemeriksaan, Widya dan dokter Imel menemui Cakra. Widya tersenyum dan langsung duduk kembali di samping suaminya yang memasang raut penuh tanya.
"Selamat, ya, Pak, Bu. Ibu Widya benar-benar hamil dan kandungannya saat ini berusia 5 minggu."
"Beneran, Sayang?" tanya Cakra yang mendapat anggukan dari Widya. Spontan, pemuda itu langsung memeluk istrinya dan melupakan keberadaan dokter Imel.
"Mas ..," panggil Widya.
"Eh, maaf, maaf, Dok. Saya terlalu senang."
Dokter Imel tersenyum. "Nggak pa-pa, Pak. Saya mengerti."
Cakra dan Widya sangat fokus mendengarkan penjelasan serta arahan dari dokter Imel. Meskipun penjelasan yang diberikan masih melekat diingatan keduanya, tetapi Cakra dan Widya tetap mendengarkan dengan saksama seolah-olah itu adalah pertama kali mereka mendengarkan.
Setelah mendapat banyak ilmu tentang kehamilan dari dokter Imel, akhirnya Cakra dan Widya kembali pulang. Namun, saat di perjalanan ponsel Cakra berdering. Panggilan dari Dimas yang sudah kesekian kali karena Cakra sengaja meninggalkan ponselnya di mobil, membuat Cakra mau tidak mau harus mengangkatnya.
"Halo, Dim. Kamu nggak sabaran banget, sih. Ini aku sama Widya baru selesai. Kamu bakalan ada ponakan, Dim. Widya hamil," ucap Cakra dengan antusias dan wajah penuh senyuman.
Widya yang mendengar dan melihat antusias suaminya, ikut tersenyum dan bersyukur. Namun, seketika raut wajah Cakra berubah.
Cakra mengangguk dan diam mendengarkan penjelasan Dimas. Dari perubahan wajah Cakra, Widya bisa tahu ada sesuatu yang buruk sedang terjadi.
"Kenapa, Mas?" tanya Widya penasaran.
"Kantor, Wid."
"Kantor kenapa?"
Cakra tidak menjawab. Ia langsung menyalakan mobil dan perlahan keluar dari tempat parkir.
"Kita ke kantor dulu, ya."
"Mas, ada apa, sih?"
Cakra terus menyetir. Pemuda itu seolah melupakan kehamilan istrinya yang baru beberapa menit lalu membuatnya tersenyum bahagia. Cakra semakin menambah kecepatan sampai membuat Widya memegang kuat sabuk pengaman.
Widya tahu, tidak ada gunanya ia menanyakan sebab perubahan sikap Cakra yang tiba-tiba. Pasti ada hal buruk yang sedang terjadi sampai membuat suaminya seolah melupakan keselamatan Widya dan juga kandungannya.
Namun, semakin Cakra menambah kecepatan, semakin teringat jelas kejadian kecelakaan yang mereka alami di kehidupan sebelumnya. Hal itu membuat Widya panik dan berusaha berbicara dengan Cakra agar mengurangi kecepatannya.
"Diam dulu, Widya!" bentak Cakra untuk pertama kali.
Widya seketika diam dan menutup mata. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha menyingkirkan ingatannya terhadap kecelakaan yang mengakibatkan ia meninggal dunia. Widya mengelus perutnya dan berkata pelan, "maafin Ayahmu, ya, Nak. Dia nggak bermaksud buat kamu sama Ibu takut."
To be continue...
☆☆☆
Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi 👋☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [END]
רומנטיקה[Naskah ini dikutkan dalam event GMG Writers 2022] Nomor Urut: 066 Tema: Marriege Life Cakra Adiguna yang berbulan-bulan hidup dalam penyesalan, mendapat kesempatan untuk memperbaiki masa lalunya. Meski begitu, tidak semua hal akan berjalan seperti...