-55-

37 8 1
                                    

Hampir tiga puluh menit Widya tak sadarkan diri. Cakra yang sejak tadi tidak pernah melepaskan genggamannya, semakin merasa bersalah ketika melihat wajah Widya yang begitu teduh dengan mata tertutup. Meskipun kata dokter tidak ada yang parah, tetapi tetap saja Cakra tidak bisa melepaskan kekhawatirannya.

“Maafin Mas, Sayang. Harusnya Mas nggak maksa kamu naik wahana. Harusnya, Mas—“

Ucapan Cakra terhenti ketika tangannya merasakan pergerakan dari tangan Widya. Cakra langsung berdiri dan memegang kepala Widya dengan tangan satunya.

“Sayang, Sayang. Kamu dengar Mas, kan? Widya ...”
Cakra langsung berbalik. “Dokter, suster!” panggil Cakra dengan panik.

Beberapa saat kemudian salah satu perawat mendatanginya. “Ada apa, Pak?”

“Suster, ini calon istri saya tadi tangannya gerak. Tapi pas saya panggil-panggil nggak ada respon.”

“Oh, begitu. Tunggu, ya, saya periksa dulu.”
Cakra menepi untuk mempersilakan perawat memeriksa kondisi Widya. “Mbak, Mbak bisa dengar saya, kan?”

Tangan Widya bergerak sekali lagi. Dengan sigap Cakra langsung memegang tangan itu dan tidak peduli dengan perawat yang masih membutuhkan ruang lebih banyak untuk melakukan pemeriksaan.

“Sayang, ini Mas. Kamu bangun, dong.”

Mata Widya perlahan berkedip. Beberapa detik kemudian wanita itu membuka mata sepenuhnya. Hal pertama yang Widya lihat adalah wajah Cakra. Meskipun samar, tetapi keberadaan pemuda itu bisa membuat Widya tersenyum.

“Syukurlah Mbak udah sadar. Pak, saya panggil dokter dulu, ya.”

Cakra tidak menjawab sampai perawat itu keluar dari ruangan. Hal yang Cakra pedulikan saat ini adalah Widya.

“Mas ...” panggil Widya dengan nada yang masih lemah.

“Iya, Sayang. Mau apa?” Cakra meletakkan tangan Widya di pipinya dan merasakan kehangatan yang wanita itu berikan.

“Maafin aku, ya .. gara-gara aku pingsan, semua rencana kamu berantakan.”

Cakra dengan cepat menggeleng. “Enggak, Sayang. Yang harus minta maaf itu Mas bukan kamu. Harusnya Mas nggak maksa kamu naik wahana, harusnya Mas nggak biarin kamu duduk di kuda-kuda sendirian. Harusnya—“

“Sssstt ...” Widya meletakkan telunjuknya tepat di depan bibir Cakra. Ia tidak ingin mendengar pemuda yang sudah membuatnya sangat bahagia, menyalahkan diri sendiri.

“Mas nggak usah ngerasa bersalah. Aku senang, kok, akhirnya bisa coba hal baru. Kalau Mas nggak ngajak aku naik kuda-kudaan itu, seumur hidup aku kalah sama anak kecil, dong.”

“Tapi, kan, gara-gara itu kamu jadi jatuh dan sakit.”
Widya tersenyum. Tangannya yang berada di pipi Cakra mengelus lembut pipi pemuda itu. Ia benar-benar merindukan sentuhan langsung seperti ini.

“Mas, banyak hal baru yang aku lakukan ketika kenal kamu. Emang nggak semua bisa buat aku ketawa. Tapi dibandingkan hal yang buat aku luka kayak gini, aku lebih banyak bahagia ketika kenal kamu. Aku yang tadinya terlalu takut untuk mencoba, punya keberanian karena aku percaya kamu akan selalu ada.”

Cakra bernapas lega dan tersenyum. Ia menurunkan tangan Widya dari pipinya dan mengecup berulang kali sebagai tanda syukur karena Tuhan menghadirkan wanita sebaik Widya dalam hidupnya.

♡♡♡

Setelah beristirahat di rumah sakit dan mendapat persetujuan dokter, Cakra langsung mengantarkan Widya pulang ke rumah. Sekalian, ia ingin menyampaikan niat baiknya secara langsung pada ibu Widya. Selain itu,  Cakra juga perlu menjelaskan situasi yang menyebabkan Widya tidak pulang semalaman sebagai bentuk tanggung jawab karena Cakra masih merasa berasalah.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang