Cakra dan Dimas terlalu bersemangat untuk memberitahu pada Widya tentang keadaan Putri. Mereka melupakan pembicaraan sebelumnya yang sama-sama sepakat untuk tidak menggali ingatan Widya tentang kehidupan masa depan. Cakra yang langsung memeluk Widya tanpa persetujuan wanita itu, membuat Widya sangat terkejut.
“Widya, Putri, Putri selamat, Sayang ...” ucap Cakra.
“Putri?”
Widya melepas pelukan Cakra dan menatap penuh selidik. Mata Cakra merah karena menahan tangis. Widya mengalihkan pandangannya menatap Dimas yang berusaha menyembunyikan tangisannya dibalik wajah yang menunduk.
“Kalian nggak lagi bercanda, kan? Dim, bukannya kamu yang bilang kalau Putri sudah nggak ada? Aku juga lihat dengan mata kepala sendiri, tubuh Putri penuh darah. Sangat nggak mungkin kalau dia masih bisa selamat. Apa jangan-jangan ...”
Ucapan Widya terjeda. Perasaan kaget karena berita yang didengarnya, berubah menjadi perasaan harap. Widya berharap, jika semua yang Putri katakan benar, Cakra akan berakhir sama sepertinya.
“Jangan-jangan apa?” tanya Cakra penasaran.
Kali ini, ia baru teringat perkataan Dimas. Cakra melangkah mundur untuk mensejajarkan posisinya dengan Dimas. Pemuda itu sengaja menyikut lengan Dimas yang membuat Dimas menatapnya.
“Apa jangan-jangan Widya ingat sesuatu?” bisik Cakra.
Belum sempat Dimas mengatakan apapun, Samudra menghampiri mereka. Cakra berbalik dan menggaruk alisnya yang tidak gatal. Sebenarnya, ingin sekali ia mengusir Samudra yang selalu saja datang di waktu tidak tepat dan mengganggu saat-saat penting.
“Pak, karena semua udah di sini, saya mohon permisi, ya,” ucap perawat yang sejak tadi berdiri di samping Widya.
Sebenarnya, bisa dibilang perawat itu takut dengan Cakra. Ia sengaja menunggu Samudra agar bisa bertanya untuk pergi dari ruangan Widya.
Setelah mendapat persetujuan dari Samudra dan memastikan Widya akan melanjutkan sarapannya, barulah perawat itu meninggalkan ruangan.
Samudra mendekat ke arah Widya dan mengambil nampan yang masih berisi sedikit bubur ayam. Ia memang penasaran dengan hal yang dibicarakanCakra dan Dimas. Apalagi ketika melihat Dimas sampai menangis, pasti ada sesuatu yang serius.
Namun, Samudra ingat tujuannya mencari ruangan Widya adalah untuk memastikan wanita itu baik-baik saja.Meskipun ia menyadari hati Widya sudah sepenuhnya untuk Cakra, tetapi Samudra ingin dekat dan menjadi orang yang selalu ada untuk Widya. Siapa tahu, dengan cara itu ia berkesempatan menggantikan Cakra yang dimata Samudra sangat tidak cocok Widya.
Sama halnya Samudra yang buruk di mata Cakra, Cakra pun demikian di mata Samudra. Ia merasa, Samudra terlalu temperamental untuk Widya yang lembut dan sangat penyayang. Widya layak mendapatkan pasangan yang mau menekan ego untuk membahagiakannya.
Samudra tersenyum dan berkata, “Widya, kamu habisin dulu buburnnya, ya. Habis itu baru minum obat. Katanya mau cepat sembuh?”
“Loh, loh!” Cakra merasa sewot dan berjalan mendekati Samudra.
“Apa-apaan ini? Apa kamu lupa saya siapa dan Widya siapa? Kalau kamu lupa, saya pacarnya Widya dan Widya pacarnya saya.”
Widya yang melihat sifat kekanak-kanakan Cakra hanya bisa menghela napas pasrah. Ia menatap Dimas memberi isyarat untuk memisahkan keduanya. Sebenarnya, Widya sudah lelah dan memang ingin istirahat. Namun, bagaimana mungkin ia bisa beristirahat di tengah-tengah keributan ini?
Dimas mengerti isyarat yang diberikan Widya dan langsung memisahkan keduanya. Ia menarik tangan Samudra dan Cakra lalu mendudukkan di kursi sofa dengan posisi berhadapan.
“Pak Cakra, apa Bapak lupa kalau saat ini Widya masih sakit? Pak Samudra juga, sebaiknya sama-sama saling negrtiin keadaan masing-masing.”
Samudra dan Cakra tidak menjawab. Mereka sama-sama mengalihkan pandangan.
Sementara itu, Widya mencoba duduk. Ia mengambil nampan dan langsung menghabiskan semua bubur yang tersisa.
“Udah, kan? Aku udah makan dan tinggal tunggu satu jam baru minum obat. Sekarang aku mau kalian jelasin tentang Putri. Dimas? Apa benar Putri hidup lagi?”
Dimas menghela napas dan duduk di dekat ranjang Widya. “Untuk keadaan pastinya, aku belum tahu karena sekarang dia masih di ruangan operasi. Tapi, satu hal yang sangat aku syukuri.”
“Karena Putri mendapatkan kesempatan lagi?”
Dimas menatap Widya dengan bola mata membulat.
“Kamu?”
Sama halnya dengan Dimas, Cakra juga demikian. Ia merasa terkejut dengan pertanyaan Widya.
“Jadi benar, Mas Cakra dan Putri sebenarnya menukar hidup kalian? Kalau Putri ingin menebus kesalahannya sama Dimas dan harus rela menjalani kehidupan yang mengerikan? Kalau kamu Mas? Apa itu karena aku?”
Cakra terdiam. Tubuhnya membatu. Tiba-tiba saja, ia merasakan dadanya sakit. Jantungnya memompa sangat cepat seperti akan meledak. Cakra mengerang. Samudra yang dari tadi fokus memahami ucapan Widya, terkaget dengan suara Cakra.
“Cakra! Cakra!”
“Pak Cakra!” panggil Dimas yang langsung menghampiri Cakra.
“Aw!” jerit Widya yang merasakan kepalanya seperti mau pecah.
Berbeda dengan Widya yang semakin mengeraskan suaranya karena sakit, Cakra justru tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Bahkan untuk bernapas saja, ia merasa kesulitan. Cakra merasa ada sesuatu yang merebut paksa jantungnya.
“Dimas, panggil dokter. Biar aku yang jagain mereka.”“Baik, Pak.”
Dimas bergegas keluar ruangan dan berlari ke sana ke mari mencari petugas medis. Namun, secara ajaib ia tidak menemukan siapapun di lantai itu. Dimas sampai harus berlari dari ujung lorong ke ujung yang satunya, masuk ke kamar-kamar pasien lain, tetapi tidak satupun petugas medis yang terlihat.
“Sial! Ini pasti ulahnya lagi.”
Dimas menekan tombol lift berulang kali. Namun pintu lift tidak mau terbuka. Dimas akhirnya tidak punya pilihan lain. Ia langsung bergegas ke lantai bawah menggunakan tangga darurat.
“Tuhan, apalagi ini?” ucap Dimas di sela-sela kegiatannya menuruni tangga dengan perasaan khawatir luar biasa.
Saat membuka pintu, Dimas bukannya tiba di lantai bawah melainkan di lantai tiga yang merupakan lantai tempat Putri di operasi. Dimas mengernyitkan dahi. Ia mengusap matanya untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.
Dimas berbalik untuk turun lagi, tetapi tiba-tiba pintu menuju tangga darurat tertutup. Ia berusaha mendobrak tetapi tenaganya tidak cukup kuat.
“Sialan!” umpat Dimas.
Di tengah rasa frustrasi, tiba-tiba sebuah angin kencang membuat tubuhnya terhempas. Dimas terjatuh ke lantai. Punggungnya menumbuh dinding dengan begitu keras hingga rasa sakitnya terasa sampai dada.
Belum sempat ia bangkit, tiba-tiba sebuah cahaya biru membuatnya refleks menutup mata dan menghalau cahaya itu menggunakan kedua tangan. Beberapa saat kemudian, terdengar suara seorang wanita yang sangat ia kenali.
“Dimas ...”
Dimas meneteskan air mata. Sebenarnya ia sudah bisa merasakan cahaya itu perlahan-lahan hilang, tetapi ia enggan untuk melihat siapa yang memanggilnya.
“Dimas ...”
Air mata Dimas semakin banyak menetesnya. Ia benar-benar tidak kuat mendengar suara itu.
“Buka matamu. Mungkin, ini terakhir kalinya kita bertemu.”
Dimas menunduk dan menarik napasnya dalam-dalam. Ia membuang semua kekhawatiran dengan embusan napas yang pelan. Barulah ketika merasa siap, pemuda itu membuka mata.
Seorang wanita bergaun putih dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai, tersenyum sangat anggun padanya. Wanita itu berjongkok dan menghapus air mata di pipi Dimas.
“Dimas, aku pergi, ya.”
“N-nggak, nggak, jangan. Kamu harus di sini. Kamu harus sama aku. Nggak aku nggak mau.”
Wanita itu memegang tangan Dimas yang memegang tangannya. “Orang yang hidup, harusnya tetap melanjutkan hidupnya, kan?”
“Nggak, Putri. Nggak mau ..."
Wanita yang ternyata adalah Putri itu berdiri dan perlahan melepas tangannya. Meskipun Dimas berusaha menahan, tetapi tangan lembut yang ia genggam seperti terlepas sendiri.
Pandangan Dimas mengabur sampai Putri benar-benar hilang. Dimas berdiri dan ke sana ke mari mencari keberadaan wanita itu.
“Nggak!” teriak Dimas yang membuat Cakra dan Samudra kaget.
“Astaga, Dimas. Kamu mimpi buruk?” tanya Samudra yang berada di kursi paling dekat dengannya.
“Mimpi? Jadi semua itu cuma mimpi? Putri? Putri masih hidup, kan?”
Cakra dan Samudra saling berpandangan. Keduanya tidak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Dimas kalau sebenarnya operasi Putri tidak berhasil dan saat ini mereka sedang mengurus pemakaman Putri.To be continue...
☆☆☆
Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [END]
Любовные романы[Naskah ini dikutkan dalam event GMG Writers 2022] Nomor Urut: 066 Tema: Marriege Life Cakra Adiguna yang berbulan-bulan hidup dalam penyesalan, mendapat kesempatan untuk memperbaiki masa lalunya. Meski begitu, tidak semua hal akan berjalan seperti...