-06-

96 38 7
                                    

Seperti dua orang yang saling jatuh cinta, Cakra dan Widya tidak ingin waktu bersama usai begitu saja. Namun, hari sudah semakin sore. Baik Cakra maupun Widya, memiliki alasan masing-masing untuk segera kembali.

Setelah menghabiskan bakso mereka, Cakra sebagai laki-laki berinisiatif membayar. Namun, ternyata satu mangkok bakso yang mereka makan tadi seharga lima belas ribu.

Cakra diam-diam mengeluarkan sisa uangnya dari dalam celana dan berbisik pada tukang bakso, “Mas, uang saya kurang sepuluh ribu. Saya ngutang dulu, ya. Saya janji, besok saya ke sini lagi.”

“Eh, nggak bisa begitu, Mas. Saya ini jualan, udah sering ada yang bilang begitu tapi malah nggak datang-datang.”

Suara tukang bakso cukup keras, membuat Widya berbalik. Ia berdiri dan mendekat ke arah Cakra.

“Kenapa?”

“Eh, ini.. nggak pa-pa—“

“Nggak pa-pa gimana? Bayar dulu, Mas. Kalau mau pacaran, minimal punya uang,” ejek penjual bakso yang membuat Cakra kesal.

Widya tidak sengaja melihat Cakra mengepalkan tangan, ia langsung memegang tangan pemuda yang membuat pemiliknya refleks menatap ke arah Widya. Widya tersenyum dan menggeleng, memberi isyarat pada Cakra untuk menahan emosinya.

“Berapa semuanya, Pak?” tanya Widya dengan ramah.

“Semuanya tiga puluh ribu, Mbak.”

Widya mengeluarkan dompet dan menyerahkan uang lima puluh ribu. “Kembaliannya untuk Bapak, aja.”
“Bener, Mbak?”

Widya mengangguk tersenyum. Ia sama sekali tidak keberatan jika harus membayar makan untuk laki-laki yang mengajaknya makan terlebih dulu.

“Kami permisi, Mas. Terima kasih makanannya.”

Widya langsung menarik tangan Cakra untuk pergi dari tempat itu, padahal Cakra ingin mengatakan sesuatu pada penjual bakso tadi. Cakra hanya bisa menahan kekesalannya dan membiarkan wanita itu membawanya sampai tiba di depan halte bis.

“Aku pulang naik bis. Kamu?”

Cakra mengalihkan pandangan karena malu. Saat ini, ia sama sekali tidak punya uang karena sudah diserahkan pada tukang bakso tadi. Niatnya, Cakra ingin mengambil kembali uang yang ia berikan agar bisa digunakan sebagai ongkos pulang, tetapi Widya terlanjur menarik tangannya.

Cakra juga merasa malu untuk mengatakan pada Widya, bahwa ia tidak punya dan memang sudah berencana akan pulang jalan kaki saat mengajak Widya makan bakso tadi. Meskipun, Cakra sudah tahu pada akhirnya Widya yang akan membayarkan uang bisnya, ia tetap saja malu.

“Ayo,” ajak Widya ketika bis yang ditunggu telah tiba.

“Kamu duluan aja. Mas masih ada urusan di sekitar sini.”

Saat Cakra hendak berbalik, Widya kembali menarik tangannya. Wanita itu tersenyum dan mengajak Cakra untuk masuk ke dalam bis. Keduanya mendapat tempat duduk paling belakang.
Dengan perasaan malu luar biasa, Cakra berbisik pada Widya, “Wid, Mas sebenarnya nggak punya uang.”

Lagi-lagi, Widya hanya tersenyum. Widya terlalu peka untuk sekadar tahu bahwa saat ini Cakra sedang tidak punya uang.

“Mas pinjam dulu, ya. Nanti diganti.”

“Janji?”

Widya mengangkat jari kelingkingnya yang membuat Cakra sedikit terkejut. Kejadian saat Widya menarik tangannya dan membayarkan uang bis, memang ada dalam ingat Cakra. Namun, bukan percakapan ini yang mereka bicarakan. Saat itu, Widya langsung mengangguk dan menyandarkan kepalanya di lengan Cakra.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang