-28-

41 17 2
                                    

Cakra tiba di depan rumah Widya. setelah menyerahkan selembar uang seratus ribu, ia langsung bergegas turun. Cakra tidak lagi memikirkan tentang kembalian karena saat ini ia sangat ingin bertemu dengan wanita yang tadi berbicara di telepon.

Namun, sayang seribu sayang. Cakra tidak melihat siapapun di sana. Hanya ada satpam kompleks yang sedang berdiri kebingungan sambil membolak-balik sebuah ponsel berwarna hitam milik Dimas. Cakra langsung mendekatinya, berharap akan mendapat jawaban.

“Pak, apa Bapak lihat perempuan muda, cantik dan tingginya segini,” ucap Cakra sambil mengangkat tangannya di depan dagu untuk menjelaskan tinggi wanita tersebut.

“Saya baru sampe juga, Mas. Pas mau keliling, lihat HP ini di jalan.”

Cakra langsung meraih ponsel Dimas dari tangan satpam. Ia menyalakan ponsel tersebut untuk memastikan bahwa itu benar-benar milik Dimas. Foto Dimas dan Putri yang sengaja digunakan sebagai layar kunci, sudah menjawab pertanyaannya.

“Saya kenal pemiliknya, Pak. Saya pergi dulu, ya.”

Saat Cakra hendak pergi, satpam langsung menghadangnya. “Eh, eh. Nggak bisa gitu. Gimana kalau masnya bohong? Harus ada buktinya dulu kalau Mas beneran kenal sama pemiliknya.”

Cakra menghela napas kasar dan mengeluarkan ponselnya. Ia memanggil nomor Dimas dan memperlihatkan pada satpam layar HP Dimas.

“Puas, kan? Sekarang saya harus pergi.”

“B-baik, Mas.”

Cakra langsung berlari meninggalkan rumah Widya. Langkahnya terhenti ketika melihat ke seberang jalan. Dua mobil polisi dan satu ambulans serta garis kuning polisi, sudah menggambarkan yang terjadi. Kecelakaan parah yang membuat rasa khawatir Cakra semakin bertambah.

Cakra berjalan pelan untuk menyeberang jalan. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat wanita yang ia cari berdiri di seberang jalan dan tersenyum ke arahnya.

Wanita itu tidak berubah seperti pertama kali Cakra menemuinya di kehidupan masa depan. Namun, kali ini wajahnya tampak lebih ceria yang mencerminkan kebahagiaan.

Dengan langkah cepat, Cakra langsung menyeberang jalan tanpa melihat ke kanan dan kirinya. Sebuah mobil yang sejak tadi membunyikan klakson karena merasa remnya tidak berfungsi, hampir saja menabrak Cakra.

Untung saja, dengan secara ajaib tubuh Cakra berpindah ke seberang jalan dan mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi kembali mendapatkan kendali. Cakra yang tadinya memejam karena ketakutan, kembali membuka matanya. Ia langsung berdiri dan melihat sekitar untuk mencari wanita tadi.

Namun, wanita itu menghilang. Padahal jelas-jelas, Cakra melihat wanita itu berdiri di tempatnya berdiri saat ini. Saat hendak berbalik, Cakra menginjak sebuah kertas hitam yang sama seperti sebelumnya.

“Ini belum waktunya..”

Dengan perasaan marah, Cakra merobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Cakra mengangkat rambutnya ke atas dengan satu tangannya karena merasa frustrasi.

Rasa frustrasinya semakin bertambah ketika petugas medis mengangkat jenazah seseorang yang ditutupi kain putih. Kain itu tertiup angin dan menampakkan wajah jenazah yang ternyata adalah Putri, tetapi petugas medis segera menutupnya kembali.

“P-putri?”

Cakra mendekat ke arah petugas medis, tetapi tubuhnya langsung ditahan petugas polisi. Ia dipaksa untuk menjauh dari garis polisi.

“Pak, saya kenalan orang itu. Saya tau dia!” ucap Cakra mencoba untuk menerobos.

“Bapak kerabat korban?”

“Iya, saya kenal dia.”

Polisi memberi isyarat pada petugas medis untuk berhenti dan membiarkan Cakra memastikan bahwa jenazah yang mereka bawa adalah Putri. Ketika kain putih benar-benar di buka sampai terlihat jelas wajah Putri.

“I-ini nggak mungkin ...”

Cakra benar-benar syok sampai kakinya terasa lemas. Kalau saja dua orang polisi yang berdiri di sampingnya tidak menyanggah tubuh Cakra, mungkin tubuhnya sudah terjatuh.

“Apa Anda bisa ke rumah sakit?”

Cakra tidak menjawab. Tubuhnya masih kaku. Ia masih sulit mengalihkan pandangan dari tubuh Putri yang kembali ditutupi kain putih sepenuhnya.

“Pak, Bapak,” panggil petugas polisi lagi.

“S-saya ikut ...”

“Baiklah, silakan ikut mobil ambulans yang akan membawa jenazah, Pak.”

Tubuh Cakra yang masih tidak berdaya, dituntun petugas untuk masuk ke dalam ambulans bersama petugas medis dan jenazah Putri. Cakra duduk di samping petugas medis pria yang berusaha mengajaknya bicara.

“Kalau saya boleh tau, apa hubungan Bapak sama korban? Kami udah berusaha mencari identitas korban tapi belum ketemu."

Cakra diam. Ia sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan tersebut. Cakra jenazah Putri dengan tatapan kosong. Hal yang ia pikirkan saat ini adalah, “apakah Cakra akan berakhir sama seperti Putri?”

“Pak?” panggil petugas medis entah berapa kali.

“Dia sahabat istri saya,” jawab Cakra tanpa mengalihkan pandangannya dari jenazah Putri.

“Sebentar!”

Cakra baru menyadari bahwa Widya juga sedang dalam bahaya. Ia tiba-tiba memegang tangan petugas medis yang berada di sampingnya.

“Ada apa, Pak?”

“Saya harus pergi sekarang. Istri saya dalam bahaya. Tolong minta sopirnya berhenti.”

“Tapi, Pak—“

“Cepat!”

Suara Cakra meninggi dan tatapannya melotot tajam, membuat semua petugas medis yang mendampingi jenazah Putri ketakutan. Namun, mereka semakin takut ketika Cakra memaksa untuk membuka pintu mobil.

“Saya harus pergi!”

Dua orang petugas medis laki-laki berusaha menahan tubuhnya. “Pak, jangan seperti ini.”

“Saya harus temuin istri saya. Dia dalam bahaya.”

Tubuh Cakra yang lebih besar dengan hormon adrenalin yang jelas saja meningkat karena rasa khawatir terhadap Widya, membuat Cakra bisa menghempas dua tubuh petugas medis sekaligus.

Cakra berhasil membuka pintu mobil ambulans yang petugas medis pun tidak menyangka ia bisa membukanya. Tanpa mempertimbangkan apapun, Cakra menjatuhkan diri dari mobil yang sedang berjalan. Tubuhnya terguling-guling dan hampir saja terbentur trotoar yang sengaja dibuat lebih tinggi dari jalan.

Meskipun merasa kesakitan di beberapa bagian, untung saja Cakra tidak mengalami luka parah. Hanya lengan yang tergores aspal karena digunakan untuk menumpu tubuhnya.

Tindakan Cakra membuat orang-orang yang sedang melintas di jalanan, seketika melihat ke arahnya. Bahkan beberapa pejalan kaki menyempatkan diri untuk membantunya bangun.

“Kamu nggak pa-pa?” tanya laki-laki tua yang diperkirakan usianya lebih dari setengah abad.

Pak tua itu membantu Cakra berdiri dan menyingkirkan debu-debu yang menempel di tubuh Cakra. “Kamu tadi saya lihat lompat dari mobil ambulans. Emang kenapa? Kalau celaka gimana?"

"Saya harus temuin istri saya, Pak.”

“Memangnya istri kamu di mana?”

“Saya nggak tau. Saya harus cari dia.”

Pak tua itu mengangguk dan menepuk pundak Cakra. “Hati-hati, Nak. Jangan bertindak gegabah seperti tadi. Kalau mau lakukan sesuatu, harus tau dulu konsekuensinya.”

Cakra tersenyum. “Makasih banyak, Pak.”

Cakra pamit dan meninggalkan Pak Tua serta beberapa orang-orang yang mengkhawatirkannya. Ia berjala dengan sedikit pincang karena kaki kanan sepertinya terkilir. Namun, Cakra tidak peduli. Saat ini yang ia pikirkan adalah Widya.

Ketika Cakra turun melambaikan tangannya untuk menghentikan taksi, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Pengemudi dalam mobil itu menurunkan kaca mobil dan mengajak Cakra untuk masuk.

“Anastasya?”

“Kamu nyari Widya, kan? Ayo.”

Tanpa pikir panjang, Cakra langsung masuk ke dalam mobil Samudra. Hal yang penting saat ini adalah menemukan Widya.

“Kamu tau dari mana aku nyariin Widya?”

“Dari orang kantor. Katanya, kamu tiba-tiba keluar kantor padahal mau lembur. Kalau bukan karena Widya, terus karena apalagi?”

Cakra menatap Anastasya yang fokus melihat jalanan. “Kamu beneran tau Widya di mana?”

Anastasya tersenyum. “Dia di rumah sakit. Tadi waktu aku mau jengukin Papa, aku nggak sengaja lihat dia dibawa cowok ke rumah sakit. Apa Widya selingkuh? Soalnya cowok itu kayaknya panik banget.”

“Itu Dimas.”

Anastasya mengangguk. “Kirain ...”

“Kamu bisa cepat bawa mobilnya? Aku harus temuin Widya.”

“Kamu nggak mau nanya alasan aku ke kantor ngapain?”

“Nggak penting!”

Anastasya tersenyum. “Oke. Besok kamu pasti akan nyariin aku.”

Setelahnya, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Anastasya kembali fokus dengan kemudinya, dan Cakra dengan pikirannya tentang Widya.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca🙏
Sampai ketemu lagi👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang