-63-

35 8 1
                                    

Manusia memang bisa berpura-pura dan mengabaikan pikirannya lalu bersikap seolah semua baik-baik saja. Namun, semua yang kepura-puraan sifatnya sementara. Sepandai apapun Widya berusaha menyembunyikan perasaannya, tetap saja ia hanya manusia biasa yang biasa.

“Wid, kamu kenapa?” tanya Ibu menghampiri Widya yang setelah makan malam memilih untuk menyendiri di luar.

Sementara itu, di sisi lain Cakra berusaha sendiri mendekati keluarga besarnya. Meskipun suaminya itu tampak seperti tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pendekatan, tetapi tetap saja Cakra membutuhkan Widya di sampingnya.

Namun, Cakra juga menyadari perasaan Widya sedang tidak baik-baik saja. Ia ingin menjadi suami yang baik dengan memberikan ruang untuk berpikir pada istrinya.

Widya berbalik dan mengamati wajah Ibu yang mulai menua. Wajah cantik yang dulu selalu ia banggakan di depan teman-temannya karena memiliki Ibu secantik itu, kini mulai memperlihatkan kerutan-kerutan kecil. Meskipun tersamar di balik riasan, tetapi Widya bisa melihat jelas ada tanda-tanda penuaan yang tidak bisa dibayangkan.

Ucapan Keysha tentang Ibu memutar dalam kepala. Saling bergantian dengan kenangan manis yang pernah Ibu berikan. Rasanya, Widya tidak ingin mempercayai jika seorang wanita yang ia panggil Ibu, dengan segala pelajaran tentang berbuat baik yang diajarkannya dan terus Widya pegang sampai dewasa, tega merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan kematian.

Ibu mendekati Widya dan tersenyum seperti biasa. Tidak ada tanda kejahatan di matanya. Widya hanya menangkap tatapan teduh khas Ibu yang dulu. Widya menyalahkan diri sendiri. Sudah sejauh mana jarak yang ia buat, sampai membuat dirinya sebagai putri tidak lagi mengenal Ibu kandungnya?

Atau, sebenarnya Ibu memang seperti itu, tetapi ia hanya berpura-pura? Widya tidak tahu. Satu yang pasti, ia sangat kecewa jika ucapan Keysha benar adanya.

“Wid, kenapa? Kok, gitu ngelihat Ibu? Ada yang salah?”

Widya tersenyum dan menggeleng. Ia menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengusir pikiran buruknya tentang Ibu. Hanya untuk saat ini. Widya ingin percaya dan menganggap Keysha berbohong padanya.

Widya meletakkan tangannya di atas pundak ibu. “Bu, duduk di depan, yuk. Widya udah lupa kapan terakhir bisa ngerasain hal-hal kayak gini."

Ibu tersenyum dan mengangguk. Tanpa melepaskan tangannya dari pundak Ibu, Widya menuntun ibunya keluar rumah. Ibu dan anak itu duduk bersampingan sambil memerhatikan bulan yang sedang bulat sempurna.

Menit-menit berlalu. Baik Widya maupun Ibu, tidak berbicara dan hanya menikmati pemandangan malam yang menenangkan.

Terlepas dari suara berisik dari dalam, rasanya Widya benar-benar ingin menikmati waktu ini lebih lama. Dengan keluarganya, meskipun tidak begitu akrab. Apalagi, menyadari ada Cakra dalam momen berharga kali ini.

“Bu ..,” panggil Widya tanpa mengalihkan pandangannya dari bulan.

“Widya bisa nanya sesuatu?” Widya mengalihkan pandangannya menatap Ibu yang juga menatapnya dengan penuh kasih sayang.

“Mau tanya apa, Sayang?”

“Ibu kenapa mau nerima Mas Cakra? Apa benar jawabannya demi kebahagiaan Widya? Atau, Ibu punya maksud lain?”

Tatapan hangat Ibu berubah menjadi datar dan sulit diterjemahkan. Senyuman yang tadi mengembang, berubah menjadi wajah yang sulit dideskripsikan maksudnya.

“Kamu kenapa nanya begitu?”

Widya menghela napas. “Bu, kalau Ibu nggak suka Mas Cakra atau pernikahan kita, tolong Ibu lihat dulu seberapa bahagia Widya bersama Mas Cakra.”

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang