-35-

45 17 3
                                    

Hampir satu jam Widya menunggu kedatangan Cakra dengan perasaan gelisah. Hatinya tidak tenang seolah mengetahui sesuatu tentang Cakra. Ditambah lagi, Cakra sengaja mematikan ponselnya, padahal sudah berjanji akan menemui Widya.

“Mas Cakra ke mana sih?” gerutu Widya yang mulai bosan di ruangannya.

Widya memutuskan untuk turun dari ranjang dan mengambil infus dari gantungannya lalu berjalan keluar ruangan. Ia benar-benar tidak tahan seharian terkurung di dalam kamar rumah sakit. Apalagi, Widya masih belum puas dengan cerita Dimas tentang kematian Putri.

Widya memberanikan diri untuk berjalan-jalan sendiri. Tidak satu pun orang berlalu lalang di lantai tiga tempatnya dirawat. Meskipun sedikit takut karena sebenarnya ia bukan pemberani dan sering kali merasa parno, Widya terus melangkah meninggalkan ruangannya.

Wanita itu berbelok ke kanan dan mendapati sebuah ruangan. Ia berjinjit untuk mengintip ke dalam ruangan. Beberapa saat kemudian, Widya menarik garis bibir membentuk senyuman ketika melihat sepasang suami istri yang sudah tua renta bermesraan di antara pasien lainnya.

“Semoga aku dan Mas Cakra bisa panjang umur seperti mereka,” batin Widya.

Saat Widya akan berbalik menuju kamarnya, ia sangat terkejut ketika Cakra langsung memeluknya. Pemuda itu memeluk Widya sangat erat sampai-sampai ia kesulitan bernapas.

“M-mas,” ucap Widya mencoba melepaskan diri.

Cakra melepas pelukannya dan sedikit menunduk untuk melihat Widya dari jarak yang sangat dekat. Ia juga meletakkan kedua tangannya di pipi wanita itu dan mengamati wajah wanita yang sudah membuatnya khawatir sampai rela menelusuri lantai tiga.

“Kamu nggak pa-pa, kan? Ada yang sakit?” tanya Cakra cemas.

Widya tersenyum. Tanpa menjawab, ia langsung memeluk Cakra.

“Aku nggak pa-pa, Mas,” ucap Widya dalam pelukan.

“Mas dari mana aja? Kenapa HP-nya nggak bisa dihubungi?”

Cakra melepas pelukannya dan memegang kedua tangan Widya. “Maafin Mas, ya. Mas ada sesuatu yang harus diurus dulu.”

Widya hanya diam. Kali ini, ia yang menatap penuh selidik wajah dan tatapan Cakra yang menggambarkan kesedihan. Dengan inisiatif yang besar, Widya menarik lembut tangan Cakra untuk kembali ke ruangannya. Cakra tidak menolak atau bertanya ke mana Widya akan membawanya. Satu yang pasti, ia membutuhkan Widya saat ini.

Ketika mereka tiba di ruangan, Widya langsung menyuruh Cakra duduk di kursi sofa. Cakra sama sekali tidak menolak. Kalaupun menolak, ia yakin Widya pasti akan bersikeras menyuruhnya menurut.

Tanpa Cakra duga, Widya membuatkannya teh chamomile yang merupakan teh kesukaan Cakra. Sejak bersama Widya di kehidupan mereka sebelumnya, wanita itu sangat perhatian tentang kesehatan Cakra. Setiap kali Cakra ada masalah atau lelah dengan pekerjaannya, teh chamomile buatan Widya akan selalu menjadi penawarnya.

Cakra melupakan alasan ia menjadi suka dengan teh itu. Karena sebagai orang tak berpunya, jangan minum teh saat stres, minum air hangat saja kadang tidak terpikirkan.

“Ini minum dulu, Mas. Dulu, Ayah pernah bilang kalau lagi capek, lagi ada masalah atau apapun itu yang bikin pikiran kita nggak tenang, coba minum teh. Kebetulan, aku nggak terlalu suka teh tapi suka sama aroma chamomile.

Cakra mengangguk tersenyum dan membantu Widya meletakkan nampan yang berisi satu teko dan dua cangkir di atas meja. Ia juga tidak lupa membantu Widya duduk di sampingnya dan meletakkan infus Widya di tempat gantungan infus yang memang disediakan di samping sofa. Setelah memastikan Widya duduk dengan nyaman, barulah Cakra menuangkan teh ke dalam masing-masing cangkir.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang