-48-

34 12 2
                                    

Selain melalui Anastasya, Samudra adalah sumber paling tepat untuk mendapatkan informasi terkait ibunya. Cakra yang sebenarnya tidak ingin berada satu meja bersama pemuda itu, terpaksa menurunkan egonya dan mengiyakan tawaran Samudra untuk makan siang bersama. Sambil menunggu pesanannya tiba, Cakra sibuk dengan ponselnya dan terus-menerus mengirimkan pesan untuk Widya dengan harapan wanita itu mempertimbangkan tentang hubungan mereka.

Namun, bukannya mendapat balasan, Cakra justru harus menelan kecewa karena Widya ternyata memblokir nomornya. Ia berusaha menghubungi nomor wanita itu, tetapi hanya suara operator wanita yang menginformasikan bahwa Cakra tidak bisa menghubungi nomor yang dituju. Cakra merasa kesal sekaligus sedih. Ia memegang erat ponselnya untuk meluapkan perasaannya.

Samudra yang menyadari hal itu langsung memperbaiki posisi duduknya yang tadi menghadap ke arah jendela, menjadi menghadap Cakra. “Aku udah bilang, kamu nggak usah khawatir. Aku sama Widya nggak ada hubungan apa-apa. Dia udah jelasin semuanya dan minta aku bantuin kalian.”

Cakra yang sejak tadi memandang meja dengan tatapan tajam seolah api akan keluar dari mata dan membakar apapun yang ada di hadapannya, mengalihkan pandangan pada Samudra. Sontak, hal itu berhasil membuat Samudra bergidik ngeri. Ia teringat dengan kejadian saat Cakra yang tanpa takut hampir memukulnya di rumah sakit.

“Kamu pikir aku akan percaya gitu aja? Aku tau, kamu suka, kan, sama Widya?”

Samudra menghela napas dan meletakkan tangan di atas meja. “Mau aku sesuka apapun sama ia, Widya nggak akan mungkin mau. Dia nggak bisa lupain kamu,” jawab Samudra dengan perasaan pasrah.

Pagi tadi, Samudra menyanggupi keinginan ibu Widya yang mengatur pertemuan mereka untuk sarapan bersama di sebuah hotel mewah di Jakarta sebelum ibunya balik ke Jogja. Saat tiba, Widya langsung menarik tangan Samudra untuk menjauh dari tempat ibunya berada.

“Pak, saya minta tolong sama Bapak,” pinta Widya dengan tatapan memelas.

Samudra yang terpesona melihat penampilan wanita di hadapannya itu, refleks menganggukkan kepala. Jelas saja hal itu berhasil membuat Widya mengira Samudra menyanggupi permintaannya.

“Pak, tolong saya. Bapak tau, kan, kalau kita dijodohkan. Hari ini, Ibu ingin membicarakan hal itu sama Bapak. Kata Ibu, semua keputusan tergantung sama Bapak. Saya mohon batalkan perjodohan kita. Bapak sendiri tau, saya sangat mencintai Mas Cakra dan kita udah berencana menikah.”

“M-menikah?” Samudra sangat terkejut dengan yang didengarnya.

“Iya. Tapi Ibu nggak mau ngeresetuin hubungan saya dan Mas Cakra karena dia udah jodohin saya sama Bapak.”

Samudra tersenyum remeh. Hatinya tercabik-cabik mendengar permintaan Widya yang jelas saja sulit untuk disanggupi. Samudra tidak tahu, ternyata wanita bisa sangat tidak peka sampai-sampai semua kode yang sudah ia berikan, sama sekali tidak menerangkan perasaannya.

Kalau pun Widya memang sengaja sadar dan sengaja mengabaikan, seharusnya ia tidak meminta Samudra untuk membantunya memperjuangkan cinta atas nama Cakra. Namun, Samudra sudah tidak bertenaga untuk membantah.

Ia terpaksa menyanggupi permintaan wanita itu. Asal dengan syarat, Widya harus berpura-pura menjadi tunangannya selama sebulan ke depan. Ia juga harus menjauhi Cakra sementara karena hampir semua orang di kantor sudah mengenal Widya dan tahu statusnya dengan Cakra.

“Jadi, sebenarnya kalian cuma pura-pura?” tanya Cakra memastikan setelah mendengar penjelasan Samudra.

Samudra mengangguk. “Aku ingin berjuang untuk Widya. Tapi, aku juga tau, terlalu jahat maksain perasaan Widya untuk aku.”

Cakra terdiam. Di satu sisi, ia tidak ingin mempercayakan Widya pada Samudra, tetapi di sisi lain ia tidak memiliki solusi apa-apa.

“Sam, aku nggak tau apa Bapak benar tulus mau bantuin kita atau enggak. Tapi, saat ini aku hanya bisa percaya ucapan kamu. Aku harap, kamu nggak akan nusuk aku dari belakang.”

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang