-42-

38 16 4
                                    

Selama perjalanan menuju asrama Widya, Cakra dan Widya hanya saling diam. Keduanya hanyut dengan pikiran masing-masing tentang kejadian yang mereka lihat di rumah Samudra tadi siang. Tidak terasa, taksi yang mereka tumpangi mulai memasuki gerbang kampus. Widya dan Cakra baru tersadar dari pikiran masing-masing.

“Pak stop di sini aja,” ujar Cakra.

“Masih jauh asramanya, Mas.”

“Ada yang harus kita bicarain sebelum kamu balik ke asrama. Boleh, ya?”

Widya hanya bisa menghela napas pasrah ketika taksi mulai memelankan lajunya dan beberapa saat kemudian berhenti. Kali ini, Cakra yang membayar ongkos taksi. Keduanya berjalan tanpa bergandengan tangan menuju asrama Widya.

“Kita bicara di sana aja, ya,” tunjuk Cakra pada sebuah pohon rindang yang di bawahnya terdapat rerumputan hijau.

Tempat itu memang sering digunakan mahasiswa untuk mengerjakan tugas atau bersantai. Widya memberi anggukan atas saran Cakra lalu melangkah malas mengikuti pemuda itu yang berjalan lebih dulu. Keduanya langsung duduk lesehan dengan posisi saling berhadapan.

“Mas mau ngomong apa? Aku nggak bisa lama-lama.”

“Ini soal Anastasya dan Samudra, juga tentang hubungan kita.”

Widya menutup mata sejenak dan mengangguk. “Sebelum Mas jelasin, aku juga pengen ngomong tentang alasan aku ninggalin Mas di luar tadi dan langsung masuk ke dalam.”

Cakra mendengar dengan serius. Karena sebenarnya, ia juga penasaran dengan hubungan Widya dan keluarga Samudra. Tidak mungkin Widya menangis dan berlari panik jika mereka tidak memiliki hubungan erat.

“Om Tio itu sahabat akrab Ayah. Sejak kepergian Ayah, Om Tio selalu jagain aku selama di Jakarta. Dia yang bantuin aku ngambil rapor waktu SMA dan yang nemenin aku saat ulang tahun. Tapi, tiba-tiba Om Tio nggak pernah lagi datang ke rumah dan nggak bisa dihubungi. Aku nggak tau kalau selama ini Om Tio koma di rumah sakit selama bertahun-tahun dan baru aku tau tadi.”

Widya menarik napas panjang dan berusaha mengatur perasaannya. Ia benar-benar sedih kehilangan sosok Ayah untuk kedua kalinya.

“Tapi kamu tau kalau Cakra dan Anastasya itu anaknya?”

Widya menatap Cakra dan menggeleng. “Aku emang tau Om Tio punya dua anak cewek, tapi aku nggak tau kalau itu Anastasya.”

“Wajar kalau kamu nggak tau. Anastasya pernah bilang, Samudra itu saudara tiri mereka dari wanita simpanan ayahnya.”

“Anastasya bilang begitu?”

Cakra mengangguk. “Mas belum selesai cerita, kan, kenapa Mas bisa sampai terlibat sama Anastasya?”
Kali ini, Widya yang mengangguk.  “Nggak sampai selesai tadi.”

“Jadi, Anastasya nawarin Mas supaya bantuin dia dapatin haknya. Mas nggak begitu tau masalah dalam keluarga itu kayak gimana, tapi yang jelas masalah antara Samudra dan Anastasya sangat besar.”

“Terus? Mas mau?”

“Nggaklah. Mas nggak mau ikut campur sama urusan mereka. Apalgi, Mas dipecat gara-gara Anastasya.”

“Kok, bisa?”

“Mas difitnah nyuri mobil yang mau diuji coba itu. Ya, emang Mas juga salah. Kalau dari awal Mas kasih tau rencana Anastasya, semuanya pasti nggak akan kayak gini.”

“Kenapa dia bisa jahat sama kamu, sih?!” Widya menggerutu karena tidak habis pikir dengan tindakan Anastasya yang menurutnya sangat keterlaluan.

“Udah nggak usah pikirin.” Cakra memegang tangan Widya dan tersenyum.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang