-76-

41 11 1
                                    

Cakra dan Widya memutuskan untuk pulang lebih awal sehari dari rencana kepulangan mereka karena Cakra memiliki pekerjaan mendadak. Selain itu, mereka juga mendapatkan kabar dari Dimas bahwa Ibu panti ingin pulang. Meskipun sedikit kecewa karena pulang lebih cepat, tetapi baik Cakra maupun Widya sama-sama lega setelah saling jujur tentang perasaan mereka.

Setidaknya, saat ini Cakra sudah tahu kalau dia harus dua kali lebih berhat-hati dari sebelumnya setelah mengetahui bahwa Widya sudah mengingat semuanya. Cakra harus lebih waspada atas segala kemungkinan yang bisa saja menimpa mereka.

Dimas sudah menunggu pasangan kedua pasutri itu di bandara Soekarno-Hatta. Pemuda itu tanpa malu membawa papan yang menampilkan foto Cakra dan Widya dengan tulisan yang membuat Widya dan Cakra merasa geli.

"Astaga, anak itu." ucap Cakra sambil menutup wajahnya karena menahan malu. Sementara itu, Widya yang juga merasakan hal yang sama hanya bisa tertawa untuk menghargai usaha Dimas menyambut kedatangan mereka.

"Udah, ah. Turunin. Malu-maluin tau," gerutu Cakra.

"Yeayyy .. pengantin baru!" teriak Dimas yang mendapat perhatian dari orang-orang di bandara.

"Dimas ..." panggil Cakra sambil mencubit kecil lengan pemuda.

"Aduh! Sakit, Mas. Lagian, Widya juga nggak pa-pa. Iya, kan, Wid?"

Widya hanya tersenyum dan mengangguk. Ia juga tidak enak kalau berkata sejujurnya tentang perasaannya.

Setelah keluar dari bandara dan menghampiri mobil, barulah Dimas menurunkan papan yang ia bawa. Padahal, berulang kali Cakra menyuruhnya untuk berhenti. Namun, Dimas merasa gemas melihat wajah kesal Cakra dan tawa Widya yang terdengar renyah. Keduanya tampak benar-benar bahagia. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Dimas bisa merasakan, bahwa Cakra dan Widya sama kali ini tertawa sangat lepas.

"Makasih, ya, Dim."

Ucapan Widya mendapat anggukan dan senyuman dari Dimas. Atas permintaan Widya, Cakra duduk di depan untuk menemani Dimas, meskipun sebenarnya Cakra ingin duduk bersama istrinya.

Selama perjalanan, Dimas banyak bertanya mengenai hal-hal yang mereka lakukan di Bali. Pemuda itu juga aktif menceritakan tentang hari-hari yang ia lalui tanpa kehadiran Cakra dan Widya. Meskipun Cakra berulang kali memintanya untuk diam, tetapi Widya terus merespons dengan baik.

"Makasih, ya, Dim," ucap Widya.

"Makasih buat apa, sih, Yang? Emang dia udah nyelamatin dunia gitu? Kan, enggak."

"Apaan, sih, Kak. Bilang aja kalau iri karena Widya senang sama aku. Iya, kan?"

"Matamu," ucap Cakra menyapu wajah Dimas yang membuat pemuda itu menghindar.

"Kak, gimana kalau kecelakaan?"

Cakra hanya merespons dengan tawa. Meskipun Dimas sering kali membuatnya malu, sering kali memicu Cakra untuk merasa kesal dan marah, tetapi tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran Dimas dalam kehidupan Cakra banyak membantunya. Banyak hal yang mungkin tidak akan bisa Cakra lakukan, jika bukan karena bantuan Widya.

Saat tiba di rumah, mereka disambut dengan sangat meriah oleh Ibu dan Ibu panti. "Selamat datang," ucap dua wanita paruh baya tersebut dengan ceria.

"Wah ..." Widya langsung memeluk ibunya dan Ibu panti secara bersamaan.

"Makasih banyak, Bu."

Kedua wanita paruh baya itu mengangguk dan mengelus lembut punggung Widya. Setelahnya, Cakra bergantian mengambil pelukan hangat dari dua orang wanita yang sudah menyambutnya.

"Aku enggak dipeluk, nih?" tanya Dimas dengan wajah berpura-pura kesal.

Ibu Widya dan Ibu panti tersenyum lalu bersama-sama merentangkan kedua tangan mereka menyambut Dimas. Tanpa segan, Dimas langsung menyambut pelukan itu dan menikmati kehangatan dua orang Ibu yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.

"Udah, mendingan kita makan dulu, ya," ajak Ibu panti. Semuanya mengangguk karena sama-sama merasa lapar.

Setelah makan siang dan menikmati waktu bersama, Cakra dan Widya pamit untuk istirahat. Cakra yang paling tidak suka naik pesawat karena membuat tubuhnya sangat lelah, langsung berbaring di tempat tidur.

"Mau aku pijitin?" Widya menawarkan diri karena tahu tentang kebiasaan Cakra yang selalu kelelahan setelah perjalanan menggunakan pesawat.

"Nggak usah, Sayang. Kamu juga pasti lelah, kan?"

"Nggak pa-pa. Bentar, ya. Aku mau bersih-bersih dulu."

Setelah mendapat anggukan dari Cakra, barulah Widya masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekitar tiga puluh menit digunakan wanita itu untuk bersih-bersih. Saat Widya keluar dari kamar mandi, ternyata Cakra sudah tertidur karena kelamaan menunggunya.

"Astaga, kasihan banget."

Widya pun segera mengenakan baju rumah yang nyaman dan mengeringkan rambutnya. Barulah setelah itu, ia naik ke tempat tidur dan menatap wajah Cakra dengan tatapan bahagia. Sama halnya dengan Cakra yang bersyukur memiliki Widya bahkan di kehidupan keduanya, Widya pun sama. Ia juga benar-benar bahagia karena bisa memiliki Cakra kali ini juga.

Ponsel Cakra berbunyi. Awalnya Widya berusaha mengabaikannya, tetapi karena ponsel itu terus berdering, akhirnya Widya memberanikan diri mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal.

"Halo, Pak Cakra? Apa sudah di Jakarta?"

Suara penelepon tersebut adalah suara yang Widya kenal. Itu adalah atas suaminya sekaligus mantan dosen Widya dulu, yaitu Samudra. Pak Samudra. Ini saya Widya. Mohon maaf, Pak. Suami saya sedang tidur. Apa ada sesuatu yang penting? Nanti saya kasih tahu sama suami saya, Pak."

Dari seberang telepon, Samudra hanya tersenyum mendengar Widya memanggil Cakra dengan sebutan suami. Widya seperti memberi tahu agar Samudra tidak lagi menganggunya, meskipun tanpa diperlakukan seperti itu, Samudra akan dengan sadar menjauhi Widya.

"Apa Pak Samudra bisa ke kantor hari ini?"

Widya menatap Cakra yang sangat lelap dalam tidurnya. "Mohon maaf, Pak. Apa nggak bisa besok aja? Suami saya kayaknya lelah banget."

Terdengar suara helaan napas panjang dari seberang telepon. Samudra mengangguk dan berkata, "baiklah. Kalau begitu tolong sampaikan sama Pak Cakra kalau besok semuanya harus udah selesai, ya. Proyek yang dia tangani harus secepatnya jalan sebelum bulan ini selesai."

"Baik, Pak. Terima kasih pengertiannya."

"Widya tunggu ..," ucap Samudra dengan terburu-buru sebelum Widya mengakhiri panggilan.

"Iya, Pak? Ada lagi?"

"K-kamu, baik-baik aja, kan? Cakra baik, kan, sama kamu?"

Widya diam sejenak dan tersenyum. "Bapak nggak usah khawatir sama saya." Dialihkannya pandangan pada Cakra yang masih lelap dengan tidurnya.

"Sekarang, saya jauh lebih baik dari sebelum menikah. Saya punya sesuatu yang bisa bikin saya senyum tiap hari, dan semangat untuk bangun pagi. Saya sangat-sangat baik. Suami saya? Bapak tidak usah khawatir. Dia sangat baik sampai saya nggak tahu harus membalasnya gimana."

Widya mengelus lembut rambut Cakra. "Saya minta tolong, untuk kedepan-kedepannya, tolong jangang peduli tentang kami, ya."

Samudra mengangguk dan tersenyum kecut. "Baiklah, kalau begitu. Saya bersyukur karena kamu baik-baik saja bersama Cakra. Tapi, saat dia bikin kamu nangis, saya orang pertama yang akan membalasnya."

"Terima kasih perhatiannya, Pak. Saya tutup teleponnya."

Widya langsung menekan tombol merah dan meletakkan ponsel Cakra di atas meja samping tempat tidur. Ditatapnya kembali wajah Cakra yang masih lelap dalam tidurnya. Widya yakin, Cakra tidak akan membuatnya menangis lagi.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi 👋

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang