-79-

35 8 3
                                    

Seolah melupakan keberadaan Widya, Cakra langsung turun dari mobil ketika tiba di kantornya. Bohong kalau Widya tidak merasa kecewa. Setelah Cakra mengabaikan permintaannya untuk menurunkan kecepatan mobil dan Widya harus menahan ketakutan selama perjalanan, sekarang ia harus menelan kekecewaan karena diabaikan.

Widya mencoba tersenyum dan menelan ludah yang terasa seperti batu. Ia berusaha menata hati agar lebih kuat dan menolak emosi buruk yang mungkin berasal dari hormon sebagai Ibu hamil. Widya berjalan sedikit cepat, berharap ia bisa menyusulnya.

Dari lantai dua, Dimas melihat Widya yang kebingungan mencari Cakra karena pemuda itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Dimas pun mencoba memanggil Widya meskipun usahanya sia-sia karena Widya tidak mendengarkan panggilannya.

Dimas pun mendapat ide untuk menelepon Widya. "Halo, Wid. Kamu lihat ke atas, deh."

Widya menengok ke atas dan mendapati Dimas yang melambai ke arahnya dengan senyuman. Wanita itu mencoba tersenyum untuk menghargai Dimas yang tampak antusias dengan keberadaannya.

"Aku bisa ke lantai dua?"

"Eh, nggak usah. Aku aja yang ke sana, ya. Kamu tunggu disitu."

Dimas langsung memasukkan kembali ponselnya dan turun ke lantai bawah untuk menemui Widya. "Widih .. banyak-banyak selama, ya, Wid. Aku senang banget karena bentar lagi bakalan jadi Paman."

Widya tersenyum. Namun, tujuan ia masuk ke dalam kantor Cakra adalah menemui suaminya itu.

"Dim, Mas Cakra di mana? Tadi aku ke sini sama dia. Tapi dia turun duluan. Di jalan dia juga kayaknya lagi panik. Emang ada masalah di kantor?"

Dimas menghela napas. Ia bingung harus menjawab apa. Saat ini, kondisi Widya sedang hamil. Jelas Dimas harus menjaga agar Widya tetap baik-baik saja. Entah secara fisik, maupun mental.

"Dim," panggil Widya lagi.

"Kita duduk dulu, yuk."

Widya mengangguk dan menuruti saran Dimas. Keduanya duduk di sofa yang disediakan kantor Cakra untuk tamu yang datang. Dari sikap Dimas yang menautkan kedua tangannya dan ditopangkan di atas paha, Widya tahu kalau pemuda itu sedang menyembunyikan sesuatu.

"Dim, pasti ada yang nggak beres, kan? Nggak pa-pa, kamu cerita aja ke aku. Siapa tahu aku bisa bantu."

Dimas menatap Widya dan meluruskan posisi duduknya. "Tapi kamu harus janji satu hal."

"Apa?"

Widya mendengar suara helaan napas panjang dari Dimas. "Begini, Wid." Dimas memegang kedua tangan Widya dengan penuh kekhawatiran.

"Widya, saat ini Kak Cakra lagi berurusan sama KPK. Dia dituduh menggelapkan dana perusahaan Samudra sejak beberapa bulan terakhir. Dia terancam dipidana dan semua fasilitas yang saat ini dinikmati, juga kemungkinan besar akan disita kalau tuduhan itu terbukti benar."

Widya langsung membelalakkan matanya karena terkejut mendengarkan informasi dari Dimas. "M-maksud kamu ..." Widya tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Mas Cakra korupsi?"

Dimas mencoba menenangkan Widya. "Sekarang masih dalam penyelidikan, Wid. Kak Cakra sekarang masih di ruang sedang negosiasi dengan petugas agar bisa diberi waktu."

Widya langsung memegang tangan Dimas yang perlahan akan lepas. "Apa ini ada kaitannya dengan proyek yang dia tangani sama Anastasya?"

"Proyek? Maksud kamu?"

Dimas memang sudah tahu tentang seluk beluk pekerjaan Cakra. Namun, Cakra menyimpan rapat-rapat tentang pekerjaan yang ia ambil dari Anastasya. Hanya Widya yang tahu tentang hal itu. Itupun, Cakra tidak pernah menjelaskan secara detail tentang kerja sama yang ia lakukan dengan Anastasya.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang