-73-

39 9 3
                                    

Bibir pantai yang indah dengan kilauan emas kekuningan dari pancaran matahari yang sebentar lagi akan terbenam, menambah suasana romantis dua pasangan yang sedang menyatukan perasaan. Cakra dan Widya sama-sama bersyukur karena saling memiliki untuk saat ini. Meskipun banyak sekali ketakutan demi ketakutan yang sudah mereka lewati, semakin menguatkan hubungan keduanya.

"Sayang, kamu mau ke mana lagi abis ini?" tanya Cakra.

Widya menegakkan kepalanya setelah beberapa menit disandarkan di bahu Cakra. Ia tersenyum dan menatap dua bola mata yang berbinar karena memantulkan cahaya matahari.

"Mas mau ke mana?"

"Lah, kok, jadi nanya ke Mas, sih. Kan, Mas duluan yang nanya ke kamu. kamu mau ke mana habis ini? Waktu kita di Bali tinggal besok, loh."

Widya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke depan. Meskipun sangat singkat, tetapi Bali menjadi saksi tentang bakti Widya sebagai istri. Wanita suci yang tak pernah terjamah oleh laki-laki manapun, kini telah memberikan semua hanya untuk suami.

"Aku pengen besok kita seharian ke pantai ini lagi."

Cakra mengangkat satu alisnya. "Kok, gitu? Emang nggak mau jalan-jalan ke tempat lain? Atau kamu mau shopping aja?"

Widya langsung menggeleng. "Nggak. Mas, kan, tau sendiri aku nggak suka shopping. Kalau Mas tanya aku pengennya ke mana, jujur aja aku nggak tau. Bagi aku, ya .. selama itu sama Mas, ke mana pun aku mau."

Cakra tersenyum dan menatap mata istrinya. Keduanya saling bertatapan mengungkapkan perasaan lewat tatapan mata. Seperti sebuah magnet yang saling tarik-menarik, tanpa sadar wajah Cakra semakin mendekat ke arah Widya. Widya pun tidak menarik diri seperti pertama kali.

Meskipun bukan ciuman pertama, tetapi sensasi istimewa dari sebuah rasa yang tidak bisa didefinisikan, membuat mereka hanya bisa menikmati setiap rasa yang diberikan satu sama lain. Berbeda dengan sensasi panas saat berciuman sebelumnya, kali ini baik Cakra maupun Widya merasakan sensasi tenang. Tidak ada napas memburu yang berlomba-lomba ingin menarik udara sebanyak-banyaknya. Mereka hanya sama-sama sedang mencumbu rindu yang pernah terputus karena permainan takdir.

Detik terus berlalu sampai keduanya sama-sama puas dan tanpa tahu siapa yang saling melepas. Cakra tersenyum ketika menatap Widya, begitupun sebaliknya. Tidak ada perasaan canggung seperti kali pertama.

"Makasih, Mas," ucap Widya.

Cakra mengangguk dan kembali membawa kepala Widya untuk bersandar di bahunya. Sampai matahari benar-benar terbenam dan hanya menyisakan gelapnya malam, kedua insan yang masih ingin terus menggenggam sama-sama berat untuk beranjak.

"Kamu mau di sini aja?" tanya Cakra.

Namun, pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Kepala Widya terasa semakin berat.

"Sayang, kamu, kok, nggak jawab?"

Satu panggilan, dua panggilan hingga tiga panggilan sayang, tidak mendapat respons dari yang dipanggil. Cakra pun menahan kepala Widya dan ternyata istrinya itu sudah tertidur entah dari kapan.

"Astaga," gumam Cakra sambil tersenyum.

Ia pun menggendong tubuh Widya dari pantai menuju kamar hotel. Dengan pelan, Cakra membaringkan tubuh Widya di atas tempat tidur.

Sebagai seseorang yang pernah kehilangan, Cakra tidak ingin ketinggalan satu momen pun bersama istrinya itu. Apalagi di Bali. Tempat yang dulu sangat Cakra benci, kini menjadi tempat yang kembali ia kunjungi.

Alasan terbesar Cakra memilih Bali sebagai tempat mereka memadu kasih, adalah karena Bali adalah tempat yang pernah diimpikan Widya di kehidupan sebelumnya. Tempat yang selalu disebut ketika Cakra sedang tak berpunya. Sebesar apapun rasa benci Cakra terhadap Bali, tempat itu tetaplah menjadi tempat favorit Widya.

Meskipun tanpa Cakra ketahui, yang Widya inginkan bukanlah Bali. Jika bisa bersuara, sejak dulu Widya sangat menyukai Paris. Namun, ia tidak ingin Cakra terbebani hanya untuk menjadikan keinginannya menjadi kenyataan, lalu membuat orang yang sangat ia cintai bekerja banting tulang. Widya tidak se-tega dan se-egois itu menjadikan prianya bekerja untuk memenuhi keinginannya.

Saat Cakra sibuk melakukan kilas balik dengan memandangi wajah Widya, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Cakra sedikit gusar karena karena penelepon yang sudah mengganggu kesenangannya. Namun, mau tidak mau ia harus mengangkat panggilan tersebut setelah membiarkan hingga hampir setengah ponselnya berdering.

"Halo." Suara Cakra sudah mendefinisikan betapa ia sangat kesal di telepon di saat-saat yang tidak tepat.

Kekesalan Cakra semakin bertambah ketika sapaannya tidak mendapat jawaban. Berulang kali ia mengucapkan kata "halo," tetapi berulang kali juga tidak ada jawaban. Namun, ketika Cakra ingin mengakhiri panggilan, terdengar suara dehaman seorang wanita.

"Siapa ini?!" tanya Cakra dengan nada yang mulai meninggi.

"Mas, siapa?" Suara Cakra membuat Widya terbangun. Ia benar-benar kaget dengan suara suaminya yang terdengar marah.

"Nggak tau sayang. Orang iseng. Nelpon tapi nggak ada suaranya."

Widya menghela napas dan turun dari ranjang dan berjalan ke arah Cakra. "Coba ..." Widya mengulurkan tangannya meminta ponsel dari tangan Cakra.

"Mau ngapain? Udah Mas matiin."

"Siniin, Mas. Biar aku aja yang ngomong."

Cakra pun pasrah. Ia meletakkan ponsel ke tangan Widya dan membiarkan istrinya itu mengutak-atik isinya.

"Nomor baru, ya?"

Cakra mengangguk. Widya pun memanggil nomor tersebut tanpa menaruh curiga apapun.

"Nggak diangkat, Mas."

"Udah, Sayang. Nggak usah. Mending kamu istirahat lagi. Kamu pasti capek, kan? Semalam nggak tidur, terus tadi siang kita jalan-jalan seharian."

Widya tersenyum mendengar ucapan Cakra. Saat keduanya bertatapan dan mengerti maksud satu sama lain, tiba-tiba ponsel Cakra kembali berdering. Dengan cepat Widya langsung mengangkatnya. Ia sengaja tidak bersuara dan membiarkan penelepon yang duluan menyapanya.

"Halo."

Ponsel yang sengaja di loudspeaker, membuat Cakra bisa mendengar suara tersebut. Keduanya saling berpandangan. Baik Cakra maupun Widya, sama-sama tidak mengenal suara tersebut.

"Ini siapa?"

Panggilan langsung terputus ketika Widya bertanya. Widya mengernyitkan dahi dan menatap selidik ke arah Cakra.

"Enggak, Sayang. Aku nggak tau itu siapa. Sumpah," ucap Cakra yang langsung mengerti dengan maksud tatapan Widya.

"Terus itu siapa Mas?"

"Mas juga nggak tahu sayang."

Widya pun hanya menghela napas. Cakra pun melakukan hal yang sama tetapi diikuti dengan gerakan bahu dan tangan yang mengisyaratkan ia tidak tahu apa-apa.

"Udah, ah. Malas aku. Mending aku makan malam aja."

Widya pun berbalik dan langsung menuju pintu. Namun, Cakra segera menyusulnya.

"Terus suaminya nggak dibiarin makan?"

"Ya, makan aja sama cewek itu." Widya langsung menepis tangan Cakra.

"Astaga, Sayang ..."

Saat Widya memegang gagang pintu, tiba-tiba saja ia merasakan sakit kepala luar biasa. Widya berusaha menahan rasa sakit itu dengan menggenggam erat gagang pintu.

"Sayang, kamu nggak pa-pa, kan?"

Widya tidak menjawab. Ia menutup mata sekuat-kuatnya dan mengatur aliran napas agar rasa sakit setidaknya akan berkurang.

"A-aku mau istirahat aja, Mas. Aku ngantuk."

Cakra pun mengangguk dan menuntun Widya untuk kembali ke tempat tidur. "Makanannya dibawa ke dalam aja, ya."

Widya mengangguk dan beberapa detik kemudian, ia merasakan kantuk luar biasa sampai akhirnya menutup mata.

To be continue...

☆☆☆

Terima kasih sudah membaca 🙏
Sampai ketemu lagi

☆☆☆

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang