-46-

38 17 1
                                    

Setelah keluar dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Cakra akhirnya pulih total. Meski begitu, ia harus menghabiskan obat yang diresepkan dokter. Cakra terbilang cukup bandel dalam hal seperti ini. Kalau bukan Widya yang memasangkan alarm di ponselnya dan tindakan wanita itu yang akan langsung menelepon Cakra saat waktu minum obat tiba, Cakra pasti akan melewatkannya.

Namun, Cakra bukan orang yang akan diam tanpa melakukan apapun. Ia sadar, tidak ada orang yang bisa menjadi tempatnya bergantung. Kalau bukan dirinya sendiri yang mengubah takdir berantakan, ia pasti akan terjebak dalam kesulitan selama-lamanya.
Selain tugas mencari jawaban tentang ibu Samudra, Cakra juga harus mencari pekerjaan demi

keberlangsungan hidupnya. Anastasya memang masih gencar melakukan penawaran-penawaran menggiurkan, baik lewat pesan, telepon, maupun datang langsung ke tempat tinggal Cakra. Namun, tidak satu pun mendapat respons pemuda itu.

Cakra sudah terlanjur kecewa dan tidak ingin percaya lagi pada Anastasya. Terlebih ketika mengetahui alasan pembunuh sepertinya bisa dibebaskan tanpa syarat.

Cakra harusnya sudah tidak kaget jika uang dan kekuasaan bisa membeli hukuman. Namun, yang membuatnya tidak habis pikir adalah cara-cara media menjelaskan tentang pembebasan Anastasya. Pihak kepolisian rela mengorbankan reputasi mereka di depan publik dan menjadi kambing hitam asalkan Anastasya bisa dibebaskan.

Meskipun hal ini tidak adil, tetapi Cakra tidak ingin ambil pusing. Ia ingin fokus untuk mencari jawaban yang berkaitan dengan kehidupannya. Berjam-jam Cakra duduk di depan komputer menatap situs-situs yang menyediakan lowongan kerja. Sesekali, ia membuka email untuk mengecek siapa tahu ada panggilan wawancara. Namun, lagi-lagi Cakra harus menelan kekecewaan karena tidak ada satu pun panggilan yang masuk ke emailnya.

Cakra bersandar di kursi kerja dan merentangkan tangan untuk merenggangkan otot-ototnya. Ia berniat untuk istirahat sejenak sambil menenangkan pikiran. Pandangannya tertuju pada ponsel yang terletak di samping komputer. Cakra meraih ponselnya dan ternyata ia lupa kalau sejak semalam ponselnya tidak di-charge.

Cakra melihat jam dinding dan ternyata waktu minum obat sudah lewat beberapa jam lalu. Ia segera menge-charge ponselnya dan langsung dinyalakan. Ada lebih dari sepuluh pesan dari Widya yang mengingatkannya untuk minum obat. Namun, ada satu pesan yang membuat senyuman Cakra mengembang.

“Aku di bawah. Mas di mana, sih? Kamarnya nomor berapa?”

Cakra langsung bergegas turun ke lantai bawah tanpa melihat waktu Widya mengirimkan pesan itu. Namun, yang Cakra temukan bukanlah Widya melainkan Anastasya yang entah sudah berapa lama menunggu Cakra.

“Akhirnya kamu turun juga,” ucap Anastasya langsung berdiri.

“Kamu? Ngapain di sini? Widya mana?”

“Widya? Tadi pas liat aku dia langsung pulang.”

“Sial!” umpat Cakra meremas rambutnya.

“Eh, bentar,” cegah Anastasya sambil menahan tangan Cakra.

Jelas saja Anastasya tidak terima Cakra langsung pergi begitu saja tanpa berbicara padanya. Ia sudah rela membuang waktu hingga berjam-jam lamanya hanya untuk menunggu Cakra menemuinya.

“Lepasin!”

“Ya, nggak bisa gitu, dong. Kamu tau berapa lama aku nunggu di sini? Hampir tiga jam.”

Cakra yang tadinya tidak ingin bersikap kasar, langsung menghempas tangan Anastasya dengan sangat keras. Hal itu hampir membuat wanita itu terjatuh. Namun, Cakra sedang tidak ingin berbaik hati untuk menolongnya karena yang lebih penting adalah Widya.

Kali Kedua [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang