Setelah menjalani tiga hari berada di rumah sakit, Widya akhirnya diperbolehkan pulang. Cakra setia mendampingi Widya, bahkan ia tidak segan-segan tidur di sofa. Cakra memang sengaja belum menceritakan masalahnya pada Widya sampai wanita itu benar-benar sembuh sepenuhnya.
Namun, bukan Widya namanya kalau tidak penasaran dan perhatian terutama pada orang yang kemarin mengikat janji dengannya. Widya yang tidak sabar menunggu Cakra menyelesaikan urusan administrasi, langsung menggandeng tangan pemuda itu ketika selesai. Keduanya berjalan keluar rumah sakit dan tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang memandang iri pada mereka.
“Kamu kenapa, sih? Takut aku diambil orang?” tanya Cakra bercanda.
Tidak biasanya Widya akan mau bergandengan tangan di depan umum seperti saat ini. Biasanya, Cakra yang harus memberi usaha lebih agar mereka bisa bermesraan saat ada orang lain.
“Ada yang mau aku tanyain. Tapi sambil makan, ya.”
“Kamu lapar? Gimana kalau kita makan di kafe rumah sakit aja.”
“Isss .. nggak mau. Aku udah bosan sama makanan rumah sakit. Kita cari bakso aja, ya.”
“Bakso? Tapi, kan, kamu baru sehat. Nggak boleh makan yang aneh-aneh dulu, Sayang,” tutur Cakra dengan nada membujuk.
“Perasaan tadi dokter nggak ngasih larangan makanan. Katanya aku dirusuh banyak istirahat.”
“Iya, sih. Tapi—“
“Itu ada bakso. Ayo, Mas.”
Dengan antusias Widya menarik tangan Cakra menuju bakso yang berada di seberang jalan. Saking antusiasnya, Widya sampai tidak melihat-lihat ke kanan dan ke kiri saat menyeberang.
“Awas!” pekik Cakra yang langsung menarik tangan Widya ketika sebuah motor hampir saja menabrak wanita itu.
“Kamu ini apa-apaan, sih?! Kenapa nggak liat-liat dulu mau nyebrang? Kalau ditabrak gimana? Hah?!”
Widya terdiam. Ia benar-benar syok dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Ditambah suara Cakra yang meninggi membuat Widya tidak bisa berkata-kata.“Widya, Sayang? Kamu nggak pa-pa, kan? Mas minta maaf. Mas nggak bermaksud mau marahin kamu. Tadi Mas khawatir banget takut kamu kenapa-kenapa. Mas minta maaf, ya, Sayang.”
Widya mencoba mengendalikan diri. Ia menatap wajah Cakra yang sangat khawatir. Seketika, kepalanya terasa sakit. Terbayang wajah Cakra yang menangis tersedu-sedu dengan dara di wajahnya.
“Sayang! Kenapa? Kamu kenapa?” tanya Cakra yang semakin khawatir melihat Widya memegang kepalanya.
“Kepala aku sakit, Mas.”
“Ayo kita ke rumah sakit lagi. Petugas, Pak!” teriak Cakra pada satpam yang berdiri di depan gerbang rumah sakit.
“Nggak usah, Mas. Aku, aku udah nggak pa-pa.”
“Tapi, Sayang—“
Widya mencoba mengatur napasnya dan berdiri tegak agar Cakra yakin kalau ia baik-baik saja. Wanita itu tersenyum mencoba mengusir dengungan yang terdengar tidak menyenangkan. Ia juga berusaha menepis bayangan Cakra.
“Beneran udah nggak pa-pa?” tanya Cakra memastikan.
Dua orang petugas keamanan yang mendengar suara Cakra, berlari ke arah mereka dan bertanya, “Mas, ada apa? Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Nggak pa-pa, Pak,” jawab Widya dengan cepat.
Cakra menutup mata sejenak. “Maaf, ya, Pak. Tadi calon istri saya ini katanya sakit kepala. Jadi saya khawatir dan langsung teriak. Tapi sekarang katanya udah nggak pa-pa. Iya, kan, Sayang?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua [END]
عاطفية[Naskah ini dikutkan dalam event GMG Writers 2022] Nomor Urut: 066 Tema: Marriege Life Cakra Adiguna yang berbulan-bulan hidup dalam penyesalan, mendapat kesempatan untuk memperbaiki masa lalunya. Meski begitu, tidak semua hal akan berjalan seperti...