Prolog

790 53 1
                                    

Sering kali, seseorang membuat keputusan yang salah. Terkadang, seseorang harus membuat keputusan yang salah untuk mendapat hasil akhir yang tepat.

Seperti malam itu, contohnya.

Badai mengamuk malam itu, menghempaskan kapal mewah nan megah yang terombang-ambing di tengah samudra. Para awak kapal sibuk mempertahankan kapal agar tidak hancur, hanyut dan hilang dalam laut. Di bawah kaki mereka, air berpusar, bersiap menelan apa saja yang ada di atas permukaannya. Hujan deras dan petir yang bergemuruh melengkapi suasana menegangkan malam itu. Semua memanjatkan doa pada siapa saja—apa saja—yang bersedia mendengarkan doa-doa mereka yang penuh dosa. Agar mereka dapat melewati malam itu dengan selamat.

Seorang pemuda berdoa pada sesuatu yang tak menerima doa. Sesuatu yang tua melebihi jaman, yang lebih kuno dari bumi itu sendiri. Sesuatu yang sudah ada sejak sebelum daratan ada, jauh sebelum manusia ada, sebelum para Naga berkuasa. Dia telah ada di jaman para Dewa dan Dewi berkuasa. Terkutuk, terasingkan dan tersembunyi di dalam lautan. Si pemuda tahu tak ada yang lebih nista daripada sesuatu itu, tapi dia juga tahu tak ada yang bersedia menolongnya selain sesuatu itu.

Sesuatu itu mewujud di hadapannya. Mengambil paras cantik seorang wanita muda berambut pirang yang sama sekali tak dikenalnya. Sorot matanya sekejam lautan, biru seperti es yang menikam jantung.

"Kau memanggilku, anak muda." Ucapnya dalam bahasa yang tak bisa dimengerti siapa pun kecuali orang yang memanggilnya. Saat dia membuka mulutnya, air memenuhi kabin, menenggelamkan mereka berdua dalam laut ilusi. Tipuan yang terasa begitu nyata.

Ratu Lautan adalah milik lautan.

Pemuda itu tak memprotes saat air laut memenuhi paru-parunya. Dia tahu itu hanya ilusi yang diciptakan oleh wanita yang ada di hadapannya itu. Namun di dalam laut, segalanya menjadi begitu sunyi.

Pemuda itu mencoba menajamkan pendengarannya, mencari-cari suara awak kapal di luar sana yang sedang berjuang menghadapi badai. Seruan-seruan peringatan penuh kata umpatan yang kasar dari para pelaut serta suara-suara doa yang diselingi makian. Dia mencari suara-suara tiang kapal yang mungkin patah karena amukan badai atau suara hujan dan petir, tapi semua itu tak dapat dia dengar. Telinganya kini dimanjakan oleh suara nyanyian para Siren. Lagu penghantar tidur yang mematikan jika dia tak cukup kuat untuk bertahan di kenyataan.

Segala yang ada di hadapannya kini adalah air laut, biru Sapphire dan hijau emerald. Dia tak lagi bernafas dan membiarkan air laut menenggelamkannya semakin dalam. Wanita itu, Sang Ratu Lautan memandanginya penuh kasih.

Pemuda itu memegang sebilah pedang dengan noda darah. Darahnya sendiri. Darah yang dia teteskan demi mendapat pertolongan dari makhluk yang awalnya dia anggap sebagai mitos belaka. Makhluk yang dibenci dan dikecam keberadaannya oleh para Dewa dan Dewi, yang telah lama dikurung di dasar lautan. Lebih licik dari Iblis itu sendiri, lebih berbahaya dari Maut, namun lebih mendengarkan dari Dewa dan Dewi mana pun.

Wanita itu, Sang Ratu Lautan yang mewujud menjadi manusia, melirik ke arah tangan si pemuda yang masih mengeluarkan darah. Kali ini dengan tatapan haus. Darah itu lah yang membangkitkannya, memanggilnya dari lautan paling dalam, membawa badai ke permukaan. Lalu saat tatapannya beralih pada apa yang dipegang oleh pemuda itu, dia menyeringai lebar memperlihatkan deretan gigi taring yang dapat membuat siapa pun merinding saat melihatnya.

"Pedang Sang Raja." Ucap wanita itu dalam bisikan. "Dari mana kau mendapatkannya?"

"Ayahku memilikinya. Aku hanya meminjamnya." Jawab si pemuda tanpa terlihat gentar sedikit pun meski dia baru saja mengucapkan kebohongan di hadapan makhluk paling berbahaya di lautan. "Aku memanggilmu untuk meminta pertolonganmu."

Ratu Lautan meringis, "Meminta pertolonganku..." katanya, "Katakan, pertolongan apa yang kau inginkan dariku, anak muda?"

Pemuda itu pun memberitahukannya. Dia mengatakan semua kebenaran yang telah dia lihat dari bola mata Dewi Kebenaran yang ada di kediaman ayahnya. Kebenaran yang telah meyakinkannya untuk pergi meninggalkan segala kemewahan yang dia rasakan sebagai pewaris tunggal Grand Duke Winterthur. Lalu dia mengucapkan permintaannya pada Sang Ratu Lautan.

Untuk beberapa saat Ratu Lautan hanya terdiam mengamati pemuda itu dengan kedua matanya yang dapat membuat siapa pun menggigil. Tak pernah ada orang yang meminta hal seperti itu padanya.

"Jadi kau bisa melakukannya atau tidak?" Desak si pemuda.

Sang Ratu Lautan menyeringai. Pemuda itu merasakan seluruh tulangnya seperti diremukkan. Dia memang telah mencuri pedang ayahnya dan melakukan ritual paling berbahaya dengan memanggil Ratu Lautan, tapi bukan berarti dia kebal akan rasa takut. Ratu Lautan telah lama menghantui mimpi-mimpinya seolah memanggilnya untuk mendekatinya. Merayunya dan memengaruhinya agar si pemuda bersedia memanggilnya. Dan pemuda itu menanggapi rayuan itu jika itu berarti dia akan memperoleh apa yang dia inginkan. Namun syarat utama jika ingin bernegosiasi dengan Sang Ratu Lautan, dia tidak boleh menunjukkan kelemahannya maupun rasa takutnya. Karena rasa takut dan lemah hati adalah makanan lezat bagi Ratu Lautan.

"Ada harga yang harus kau bayar untuk permintaan itu, anak muda."

"Berapa pun yang kau inginkan akan kuberikan. Tak ada harga yang cukup mahal bagiku."

Sang Ratu kembali memperlihatkan deretan gigi taringnya yang berkilauan di bawah cahaya rembulan yang menembus lautan. "Temukan Tujuh Pusaka dan berikan padaku sebelum bulan purnama ketiga tahun ini."

Si pemuda mengernyit bingung, "Aku belum pernah mendengar tentang Tujuh Pusaka."

"Pedang Sang Raja telah kau miliki." Katanya sambil lagi-lagi melirik ke arah pedang yang sejak tadi dipegang oleh pemuda itu. Sang Ratu mendekat ke arah si pemuda, meniupkan kata-kata berikutnya tepat di telinganya, "Temukan Kompas Samudra dan kau akan dengan mudah menemukan lima pusaka lainnya."

"Aku tak tahu bagaimana bentuk Kompas Samudra. Dan apa saja kah lima pusaka lainnya itu?"

"Diadem Putri Duyung, Trisula Bulan Sabit, Buku Tak Terbaca, Taring Monster Laut dan Hati Sang Pujaan Hati."

Kali ini si pemuda terkekeh, "Bisakah kau meminta hal yang sedikit lebih masuk akal? Sisik Naga Api Agung, misalnya. Kurasa aku bisa memintanya pada paman Xavier."

Tapi mendengar Naga Api Agung disebut-sebut oleh si pemuda, Ratu Lautan terlihat kesal. Dia bahkan mengatupkan rahangnya dan memicingkan mata. Kedua tangannya terkepal di samping seolah sedang menahan diri untuk tidak meledak. Meski begitu, saat meniupkan kata-kata berikutnya, dia terdengar setenang air kolam. "Kalau kau suka membaca dongeng kaummu, kau akan tahu tentang semua benda itu."

"Bagaimana kalau aku tidak berhasil?" Si pemuda tampak menahan ngeri, membayangkan apa yang bisa terjadi jika dia gagal memenuhi persyaratan negosiasi dengan Ratu Lautan yang telah dia panggil dengan darahnya sendiri.

Ratu Lautan tampak berpikir, memperhatikan si pemuda dari bawah ke atas dan atas ke bawah seolah sedang menilainya. "Aku membutuhkan pewaris untuk Lautan. Kau mungkin sesuai dengan kriterianya."

Si pemuda menaikkan sebelah alisnya, meniru kebiasaan ayahnya, "Jadi aku akan menjadi Raja Lautan? Bukan hukuman yang buruk. Aku suka menjadi Raja yang berkuasa."

"Kau akan mengambil alih posisiku di dasar lautan, terkurung di dalam kerangkeng dosa hingga akhir jaman, dan aku akan bebas." Kata-kata yang keluar dari mulut Sang Ratu terdengar seperti kutukan di tengah malam. Dengan mata yang lebih bercahaya dari bintang-bintang namun juga lebih kelam dari janji-janji, dia menambahkan, "Ingat, sebelum bulan purnama ketiga. Hanya itu waktumu."

Lalu Sang Ratu menghilang. Dan si pemuda kembali berada di tengah badai.

***

Empire Of The Seven SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang