Chapter 48 : Heart of The Sweetheart

427 25 5
                                    

Vierra terkejut begitu membuka mata dan mendapati langit sudah gelap. Bukan langit malam yang membuatnya terlonjak kaget dari tempat tidur, melainkan bulan purnama yang bersinar indah di atas laut emerald. Dia tak pernah merasa setakut itu melihat bulan.

Tepat saat dia membuka pintu kabin kapten untuk keluar, Elyan telah berada di sana, tersenyum manis padanya seolah tidak ada hal mengerikan yang akan terjadi.

"Bulannya tampak indah malam ini. Mau melihat bulan bersamaku?" dia mengulurkan tangannya seperti hendak mengajak berdansa.

Meski dengan hati waswas dan ragu serta jantung yang berdegup kencang, dia menerima uluran tangan itu. Membiarkan Elyan membawanya ke geladak belakang tempat mereka berlatih tanding tadi siang.

Kapal mereka mengalami banyak kerusakan. Beberapa tiang patah. Kayu-kayu di bagian lambung kapal retak. Dan banyak lagi yang lainnya yang harus segera diperbaiki. Tapi Vierra tak melihat satu pun awak kapal Raja Lautan yang bekerja atau sekedar minum-minum di pinggiran. Kapal tampak sepi malam itu. Sepi yang mencekam alih-alih menenangkan.

"Kita belum pernah berdansa bersama sebagai pasangan, kan?" Tanya Elyan saat mereka berdua sudah berdiri berhadapan di geladak belakang. Ombak tampak tenang di bawah kaki mereka. Angin berhembus pelan seperti musik balad yang mengalun lembut. Dan bulan purnama di atas kepala mereka tampak sangat indah. "Kurasa malam ini cukup indah untuk dansa pertama kita."

"Dansa pertama kita akan diadakan di Istana, di hari pernikahan kita." Kata Vierra. "Kau baik-baik saja, Elyan? Kau kelihatan pucat. Tidakkah kau seharusnya berburu malam ini? Di mana Nezha dan serigala lainnya?"

"Aku mengusir mereka semua." Elyan menariknya mendekat, meletakkan satu tangannya di pinggang Vierra. Memulai dansa mereka.

"Aku seharusnya mengenakan gaun yang cantik kalau tahu kau akan mengajakku berdansa. Aku baru bangun tidur. Rambutku berantakan. Wajahku tidak mengenakan riasan apapun." Vierra membiarkan Elyan memandu dansa mereka. Hembusan angin dan debur ombak menjadi musik mereka. Cahaya bulan purnama menjadi pengganti lampu kandelir. Layar-layar robek, tiang-tiang patah serta drum-drum berisi rum adalah saksi dansa mereka.

"Kau selalu cantik mengenakan apa pun." Dengan berbisik, Elyan menambahkan, "Tanpa mengenakan apa pun juga kau cantik."

Vierra memelototinya, hampir berhasil menginjak kaki Elyan dengan sengaja. Tapi Elyan pandai berdansa, jadi dengan cepat dia menghindar.

Dansa mereka terus berlanjut dan malam semakin larut. Hanya ada mereka berdua, langit malam, rembulan dan laut. Vierra menikmati dansa itu, menikmati setiap momen bersama, tapi Elyan terlihat kalut.

Jadi Vierra mengalungkan lengannya pada Elyan, berbisik seolah ada orang lain di sana, "Apa dia di sini? Apa dia sudah datang?"

"Belum." Jawab Elyan. "Dia tidak akan datang sebelum aku memanggilnya. Dia masih menunggu."

"Kalau begitu panggil dia sekarang. Aku siap."

Elyan menghentikan langkahnya. Dansa mereka terhenti, namun dia masih memeluk Vierra dengan erat seolah itu adalah untuk terakhir kalinya. Seolah jika dia melepaskannya, dunia akan berakhir.

"Elyan?" Ulang Vierra. "Panggil dia sekarang."

Maaf... Ucapnya dalam ikatan pasangan jiwa mereka. Begitu pelan sampai Vierra berpikir dia hanya mengkhayalkannya.

Dengan enggan, Elyan melepaskan pelukannya. Dia berbalik, memunggungi Vierra. Punggung yang biasanya tegak, penuh percaya diri seolah seluruh dunia ada pada genggamannya, kini tampak membungkuk. Seolah beban dunia ada padanya. Elyan berjalan semakin menjauh dari Vierra hingga sampai di pinggir kapal. Dia kemudian mengeluarkan pedang Raja Zuidlijk dari sabuknya. Logam berusia ratusan tahun itu berkilau di bawah cahaya bulan purnama. Dengan gerakan cepat, dia menyayat tangannya sendiri dengan pedang itu, dan menjatuhkan tetes-tetes darahnya ke lautan.

Empire Of The Seven SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang