Chapter 9 : Loyalty

211 27 6
                                    

Seharusnya Vierra tahu sejak awal bahwa diam-diam mengikuti seorang pembaca pikiran yang juga berasal dari Klan Navarro menuju kamar kapten bajak laut bukan lah hal yang bijaksana. Jika saja dirinya tidak sedang mabuk dan dapat berpikir jernih, dia tentu takkan pernah coba-coba melakukan hal yang saat ini sedang dia lakukan. Dia berdiri di depan pintu kabin Elyan yang sedikit terbuka. Melihat Elyan dan Estelle berdiri berhadapan di dekat meja bundar tempatnya makan malam sebelumnya.

Aku sedang mencari tahu apa yang disembunyikan mereka dariku, Vierra meyakinkan dirinya sendiri. Mereka mungkin tahu di mana Leonora berada saat ini. Mereka mungkin akan membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan keberadaan Leonora.

"Sekali saja. Hanya kali ini saja. Kumohon..." pinta Elyan pada Estelle. Dia sama sekali tak terdengar seperti kapten bajak laut yang sok berkuasa. Dia terdengar tak berdaya di hadapan Estelle. Dia bahkan tertunduk di hadapan Estelle yang kini tampak lebih berkuasa darinya. Ruangan itu berpenerangan temaram. Elyan sepertinya sudah akan tidur saat itu karena dia sudah mematikan beberapa lentera. Tapi bahkan dari jarak itu, dengan pencahayaan yang tak memadai, Vierra dapat melihat dengan jelas bahwa Elyan tampak lesu dan pucat.

Estelle melipat tangannya di depan dada, "Sudah kubilang, ini bukan karena aku tak mau. Aku akan melakukan apa pun untukmu." Dia mendekat ke arah Elyan hingga tak ada jarak lagi di antara mereka, menangkupkan kedua tangannya pada wajah Elyan. Mata mereka bertemu, "Aku sepenuhnya milikmu, Elyan. Tapi kau yang akan menyesal setelah ini. Besok pagi kau akan bersikap canggung denganku dan bahkan tak sanggup menatapku apa lagi bicara denganku. Kita sudah pernah melakukan ini sebelumnya."

"Estelle... kumohon..." Suaranya melirih. Lebih terkesan menggoda dengan cara yang paling lembut dan manipulatif. Tatapan matanya hanya terpaku pada Estelle. Tangan Elyan meraih pundak Estelle dan perlahan melepas jaket kulitnya. Estelle hanya berdiri diam, tak bergerak sedikit pun. Dia bahkan tak bereaksi sama sekali. Namun Vierra lah yang merasa seluruh sel dalam tubuhnya terbakar. Jika Vierra berada di posisi Estelle, dia mustahil dapat menolak apa pun yang Elyan inginkan terlebih jika dia memohon dengan nada suara seperti itu. Sambil mengelus pundak telanjang Estelle, Elyan berbisik di telinganya, "Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku menginginkanmu."

Seharusnya Vierra tak bisa mendengar semua itu. Tapi nyatanya, dia memang dapat mendengar semuanya. Entah kabin menjadi sangat sunyi hingga suara bisikan pun dapat terdengar, atau dia tiba-tiba saja memiliki kemampuan untuk mendengar suara kecil sekali pun.

Estelle mendesah, "Hanya sebentar."

"Hanya sebentar." Elyan menyepakati. Matanya kini berkilat-kilat. Dia tak lagi terlihat lesu meski masih pucat.

Vierra tahu harusnya dia tak melihatnya. Tahu bahwa ini bukan hal yang patut untuk ditonton. Dia harusnya segera pergi menjauh dari sana, kembali ke pesta dan minum banyak rum, dan melupakan segalanya. Tapi kakinya seolah tak dapat digerakkan. Tangannya terkepal erat di samping hingga kuku-kukunya merobek kulit telapak tangannya sendiri. Kepalanya terasa pusing dan badannya mulai oleng. Kedua kakinya tak mampu menahan tubuhnya berdiri tegak lagi. Dia harus berpegangan pada sesuatu agar tidak ambruk.

Dia melihat semuanya.

Elyan mendekatkan bibirnya pada leher jenjang Estelle yang hanya diam dan memejamkan matanya. Untuk sesaat, Vierra sangat yakin Elyan akan menciumnya. Sesuatu dalam dirinya seperti terbakar entah bagaimana. Marah dan kesal bukan lah emosi yang harusnya dia rasakan di situasi saat ini, tapi memang itulah yang dia rasakan. Mungkin itu efek rum. Atau mungkin dia memang merasa marah dan kesal dan ingin membakar seisi kapal.

Tapi bukan itu yang terjadi.

Elyan tidak menciumnya.

Bukan bibir lembutnya yang menyentuh leher Estelle, melainkan taringnya yang lebih tajam dari belati mana pun.

Empire Of The Seven SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang