Chapter 6 : Undersea

234 24 0
                                    

Saat Vierra masih kecil—sekitar delapan atau sembilan tahun dia tak benar-benar ingat, ibunya pernah berkata, "Ayahmu begitu mencintai kita sampai dia rela mati untuk menyelamatkan kita berdua."

Vierra tentu saja percaya. Tak perlu dikatakan pun dia tahu betapa ayahnya sangat mencintainya. Tapi dia tak pernah melihat langsung bukti bahwa ayahnya rela mati demi cinta itu. Karena saat Vierra masih kecil, kematian adalah hal yang paling mengerikan hingga tak mungkin ada orang yang dengan sukarela mati demi orang lain. Jadi dia menanyakan pada ayahnya apakah benar Sang Ayah rela mati untuknya dan Ibunya.

Mata ayahnya, yang sama persis dengan matanya, berkilauan di depan perapian yang menyala saat mengenang masa lalu. "Aku pernah mati untuk kalian, Permata Hatiku." Kata Ayahnya sambil memeluk Vierra kecil di pangkuannya. "Dan aku sudah berjanji takkan melakukannya lagi."

Dekapan ayahnya selalu terasa hangat, mengalahkan udara dingin nan membekukan di Istana. Sejak dulu Vierra tahu itu bukan hanya karena beliau adalah Naga Api Agung, tapi juga karena begitu lah cinta semestinya: menghangatkan, melindungi dan menenangkan. Ayahnya selalu mengajarkan bahwa api yang Vierra miliki sejak lahir bukan lah suatu bahaya, kutukan maupun ancaman. Itu bukan sesuatu yang digunakan untuk merusak, menghancurkan maupun membinasakan, melainkan untuk melindungi orang-orang yang dia cintai. Api itu adalah simbol cinta Ayahnya padanya. Sedemikian besarnya cinta sang ayah untuknya hingga Vierra dapat memiliki api itu untuknya sendiri.

"Kenapa? Apa karena rasanya menyakitkan, Ayah?"

"Tidak. Bukan itu." Jawab ayahnya, "Kematian tidak ada rasanya, putriku. Semua menjadi gelap dan kau menjadi tiada, tapi kau juga memperoleh kedamaian. Bagi mereka yang mati, kematian hanya lah akhir dari sebuah kehidupan. Tapi bagi mereka yang ditinggal mati, kematian adalah penjara duka seumur hidup. Perbuatan paling kejam yang pernah kulakukan pada ibumu adalah membuatnya merasakan penjara duka itu."

Vierra tak berkedip saat memperhatikan ayahnya. Mengamati kesedihan yang terbit di mata emerald ayahnya saat mengatakan kalimat terakhir itu. Vierra menggenggam tangan besar ayahnya dengan kedua tangannya yang mungil, menyalurkan kehangatan dari api miliknya untuk sang ayah. "Tapi ayah melakukannya untuk melindungiku dan Ibu, kan?"

Ayahnya tersenyum dan mengangguk, "Aku melakukannya karena aku sangat mencintai kalian."

"Apa itu cinta, Ayah?"

Ayahnya tampak terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Membuatnya tampak terlihat jauh lebih muda dari usianya. Bukan berarti ayahnya sudah tua. Orang-orang sering mengatakan betapa ayah Vierra selalu tampan tidak terlihat menua meski sebenarnya, menurut Vierra, ayahnya justru terlihat lebih tua dari Grand Duke yang adalah kakak laki-laki dari ayah Vierra. Grand Duke memang tidak bisa menua dan hidup abadi, tapi ayah Vierra awet muda meski tetap menua dengan cara yang mengagumkan.

Tatapan ayahnya melembut, senyuman penuh kasih terbit di wajahnya. Dia membelai lembut rambut merah Vierra, rambut yang dia warisi dari ibunya.

"Menurutku, kau tidak bisa mendefinisikannya dengan satu pola pemikiran, Sayangku." Jawab ayahnya, "Tapi jika kelak kau mencintai seseorang—seperti kau mencintai ayah dan ibu, jangan mati untuknya. Melainkan hidup lah untuknya, bertahan hidup lah demi dirinya, dan tetap lah hidup bersamanya. Dengan hidup, kau dapat terus mencintai."

Kenangan itu entah bagaimana muncul dalam benaknya saat Vierra terjebak dalam gelapnya rongga mulut monster laut yang membawanya masuk ke kedalaman Laut Mimpi Tanpa Harapan. Ketika harapannya mulai sirna sesuai dengan nama laut itu, kenangan itu menyeruak masuk, memberinya harapan baru.

Dia ingin tetap hidup. Dia ingin terus mencintai orang-orang yang dia cintai. Saat itu, teringat satu-persatu wajah yang dikenalnya. Ibunya yang selalu penuh kasih, ayahnya yang senantiasa menyebutnya Permata Hati, adik-adiknya—Leonora, Edward, Arianne, Alexander, Anabella dan adik kecilnya yang belum lahir. Dia juga teringat pada pamannya, Grand Duke Leon Winterthur yang pasti mengkhawatirkannya karena dia sudah pergi dari Istana cukup lama. Juga pada neneknya, Jenderal Irene Winterthur yang saat ini sedang bertugas di wilayah Schere, yang meski tak seperti nenek lainnya yang gemar membuatkan kue untuk cucu-cucunya, tapi mengajari Vierra cara bertarung dan memimpin pasukan.

Empire Of The Seven SeasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang