Vierra memegang pedangnya di tangan kanan dan apinya berkobar di ujung-ujung jemari tangan kirinya. Mata emeraldnya terpaku pada sesuatu di hadapannya. Seekor makhluk buas berbulu putih salju bermata biru dingin. Deretan gigi taring terpampang menyimbolkan kematian paling menyakitkan. Makhluk itu adalah salah satu Serigala Winterthur, Vierra tahu itu karena dia sudah sering melihat mereka dalam wujud serigala. Tapi Serigala Winterthur selalu patuh padanya dan takkan pernah memperlihatkan taring mereka padanya. Serigala Winterthur menjadi serigala-serigala jinak jika berada di hadapan pemimpin mereka, pemegang takhta dan pewaris takhta. Tapi yang satu ini berbeda. Dia jelas-jelas sedang menantang Vierra.
Serigala itu melangkah perlahan ke arahnya, masih dengan taring-taring yang putih berkilau di bawah cahaya rembulan. Matanya tak beralih dari Vierra, bahkan tak repot-repot melirik ke arah api di tangannya. Padahal api bisa menjadi kelemahan serigala. Serigala itu harusnya lari melihat api, bukannya mendekati sumber api dan menggeram padanya.
Vierra tak mundur. Dia dilatih langsung oleh pemimpin Serigala Winterthur. Dia tahu cara melawan serigala. Dan dia sudah siap untuk mengakhiri nyawa serigala itu.
Pedang terhunus. Api berkobar. Dan jantung Vierra bertalu-talu saat adrenalin mengaliri seluruh pembuluh darahnya. Nalurinya untuk bertarung dan melawan tak pernah terasa sehebat ini sebelumnya.
Dia tak tahu ada di mana. Dia tak memperhatikan waktu dan tempat sama sekali karena segala yang dia lihat hanya lah serigala yang ada di hadapannya. Dan mata serigala itu yang kini menatapnya dengan intens.
Mata itu begitu manusiawi. Vierra tak yakin, tapi sepertinya dia mengenali sorot mata itu. Bukan cuma warnanya yang serupa samudra yang dikutuk untuk membeku sepanjang keabadian. Melainkan cara serigala itu menatapnya. Bukan kekejian yang diperlihatkan dalam sorot mata itu. Melainkan sesuatu yang lebih mirip seperti ucapan salam dan penghormatan. Hal itu membuat Vierra menurunkan senjatanya dan memadamkan apinya.
Serigala itu kian mendekat dan Vierra telah menjatuhkan pedangnya. Apinya lenyap. Tak ada lagi keinginan untuk menghabisi nyawa serigala itu. Vierra hanya menatap mata si serigala seolah hanya itu yang bisa dilihat olehnya.
Di mata itu, Vierra bisa melihat dirinya sendiri seperti sedang bercermin. Meskipun dia yakin sekali sebelumnya Vierra tampak waspada, tapi di mata serigala itu dia terlihat tenang seolah siap menerima takdir yang menantinya. Bukan keputusasaan. Melainkan kepercayaan. Dia tampak tenang karena percaya pada serigala itu meski serigala itu bisa saja membuatnya lengah hanya untuk berpura-pura sebelum mulai menerkamnya. Tapi Vierra memutuskan untuk mempercayainya.
"Kenapa diam saja?" Tanya sebuah suara yang sudah tak asing lagi.
"Elyan?" Vierra tak mungkin salah mengenali suara Elyan kali ini. "Ini kau?"
Serigala itu menyeringai, kembali memperlihatkan deretan taring panjang yang siap merobek-robek kulit Vierra dalam sekali terkam. "Jangan percaya pada siapa pun, Vierra."
"Bahkan padamu?"
"Terutama padaku." Jawab si serigala dalam suara Elyan. "Kau hanya boleh memercayai dirimu sendiri." Serigala itu semakin dekat dengannya hingga kini sepasang mata biru es itu berada tepat di hadapan mata emerald Vierra. "Sekarang, bangun lah."
Bersamaan dengan itu, si serigala membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap Vierra.
***
Vierra bangun dalam keadaan dipenuhi keringat dingin dan napas yang tersengal-sengal seolah dia baru saja lari dari maut. Rambutnya yang panjang menempel ke dahi dan tengkuknya yang berkeringat. Pakaian curian yang dia kenakan kini basah oleh keringatnya dan dia tak yakin akan bisa menemukan pakaian curian lainnya di kapal ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empire Of The Seven Seas
FantasySeorang Ratu dalam pencarian, Seorang Bajak Laut yang kesepian, Dan Putri yang menghilang di antara tujuh lautan. Ketika takdir sedang mempermainkan mereka dan menyatukan mereka dalam petualangan untuk menemukan apa yang hilang dari diri mereka masi...