Kapten kapal Raja Lautan memerintahkan seluruh awak kapalnya untuk turun dari kapal dan meninggalkan kapal itu dalam keadaan kosong. Sang Kapten meyakinkan anak buahnya bahwa kapal mereka akan aman dan tak akan ada yang mencuri maupun menghancurkannya. Jadi sesuai dengan perintah, mereka semua pergi meninggalkan kapal untuk memijak daratan. Saat semua awak kapal Raja Lautan sudah meninggalkan laut dan mulai menguasai jalanan, Vierra mengamati masih ada satu orang yang tetap tinggal di dalam kabinnya. Elyan.
Dia duduk di belakang meja kerjanya, mengenakan kacamata sambil mengamati Kompas Samudra dan peta Pervaya Karta yang dia gelar di atas meja. Raut wajahnya tampak serius. Elyan tak pernah terlihat seserius itu sebelumnya. Bahkan sepertinya baru pertama kali ini Vierra melihatnya mengenakan kaca mata. Dan meski tak ingin mengakuinya, tapi Elyan memang tampak tampan bahkan meski sedang mengenakan kacamata. Aura yang terpancar seperti seorang pelajar teladan sedang memecahkan rumus matematika rumit. Atau seorang pengajar muda yang mempesona.
Vierra mengingat-ingat kembali masa saat mereka masih belajar bersama. Ingatan masa kecil mereka samar-samar muncul di benaknya. Oh, benar! Dulu saat masih kecil dan kami belajar bersama di perpustakaan Istana, Elyan lebih sering mengenakan kacamata. Dulu dia tampak imut dan manis saat sedang serius membaca buku dengan kacamata yang kebesaran. Vierra melihat Elyan kecil, sepupunya yang manis, saat melihat Kapten bajak laut itu berkonsentrasi penuh pada petanya. Hal itu membuat Vierra enggan mengganggunya, tapi pada akhirnya itu lah yang dia lakukan.
Vierra mengetuk pintu yang terbuka lebar, membuyarkan konsentrasi Elyan. "Kau tidak mau mulai berburu di pulau? Ada banyak darah dan daging berkeliaran di atas daratan dari pada di atas kapal." sindir Vierra dengan nada bicara sedatar mungkin.
Elyan hanya meliriknya sebentar sebelum kembali berfokus pada kompas dan petanya. "Mereka bukan makanan."
"Aku juga bukan. Semua awak kapalmu bukan makanan."
Elyan melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja, punggung disandarkan ke sandaran kursinya, "Tapi kau dan awak kapalku adalah manusia. Sedangkan mereka bukan." Elyan menujukan kalimat terakhirnya pada penduduk asli pulau. Vierra tak benar-benar tahu apa maksudnya. "Kalian memiliki darah, daging dan aroma yang lezat. Terutama kau." Elyan memberi jeda sejenak, mata biru itu mengamati Vierra dengan intens, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Mereka berbau seperti bangkai busuk." katanya sambil mengedikkan kepala ke arah jendela yang menghadap langsung ke keramaian dermaga.
"Apa maksudmu?"
Vierra turut melihat ke arah jendela. Di luar sana, suasananya sangat ramai. Bahkan dari dalam kabin, Vierra masih dapat mendengar suara burung camar, lonceng-lonceng bangunan, keriuhan para pedagang yang menjajakan barang yang mereka jual serta beberapa suara perkelahian para pendatang yang mabuk. Dermaga penuh sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang, saling menyapa atau saling menyumpah. Para pelaut yang baru turun dari kapal mereka, para kurir yang membantu mengangkat barang-barang mereka sambil menggerutu, para nelayan yang ingin ikut berlayar, pedagang yang memberikan harga tak masuk akal, dan pembeli dari berbagai kalangan dan usia. Awalnya Vierra mengira bahwa Pulau Terlarang akan sepi tanpa penduduk, mungkin juga tanahnya berwarna hitam kelam, dipenuhi kabut tebal serta tak ada tumbuh-tumbuhan, tak ada tanda-tanda kehidupan. Dia salah.
Pulau Terlarang tampak jauh lebih normal dari yang dia bayangkan. Jauh lebih biasa saja daripada namanya yang ditakuti orang-orang. Lebih mirip seperti pelabuhan Eze di hari libur, namun alih-alih dipenuhi bangsawan berpakaian mewah yang sedang berlibur, pelabuhan di Pulau Terlarang dipenuhi para nelayan, pedagang ikan dan pembeli yang kebanyakan berasal dari kalangan ibu dan anak gadis mereka.
Secara keseluruhan, Pulau Terlarang tampak begitu hidup. Matahari siang yang terik menerangi setiap sudut kota pelabuhan itu. Para pria bertelanjang dada, tak tahan mengenakan kaos tipis sekali pun dengan teriknya hari. Para wanita mengenakan pakaian minim yang memamerkan kulit perunggu mereka. Lautan di sekitar pulau tampak begitu biru dan jernih hingga ikan-ikan kecil beraneka warna yang berada di sekitar lambung kapal dapat terlihat jelas begitu pun dengan koral dan batu-batuan. Meski dipenuhi dengan bangunan pertokoan dan kedai kecil, pelabuhan itu juga dihiasi dengan berbagai macam tumbuhan tropis yang tak Vierra ketahui namanya karena tak pernah dia lihat sebelumnya. Tapi semua pohon itu berbuah dan berbunga tampak sangat cantik dan penuh warna. Semuanya begitu indah sampai membuat siapa pun akan melupakan nama pulau tersebut dalam sekejap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Empire Of The Seven Seas
FantasySeorang Ratu dalam pencarian, Seorang Bajak Laut yang kesepian, Dan Putri yang menghilang di antara tujuh lautan. Ketika takdir sedang mempermainkan mereka dan menyatukan mereka dalam petualangan untuk menemukan apa yang hilang dari diri mereka masi...