10

1.7K 247 47
                                    

Di bawah langit sore Aran duduk seorang diri di kursi panjang pinggir kolam. Pandangan matanya nampak kosong menatap hamparan air yang tenang. Beberapa jam yang lalu ia telah mengambil keputusan yang sangat besar, keputusan yang entah akan membawanya pada kebahagiaan atau pada akhir yang penuh penyesalan.

Hidup memang tidak ada yang tahu, semesta memang terlalu pintar menyembunyikan rahasia. Siapa yang akan menduga jika seorang Shani Indira akan menjadi calon istrinya?

"Kak Aran mau minum? Aku bawa kopi sama lemontea, Kak Aran mau yang mana." Zee datang menawarkan minum yang berada di kedua tanganya, lalu tersenyum saat pria yang sudah di anggap kakak itu menerima salah satunya.

"Kamu suka lemontea, jadi aku ambil kopinya. Terimakasih ya Zee," Aran mengangkat sekilas gelas kopi kecil di tanganya lalu membalas senyuman Zee. Setidaknya kopi yang di bawa oleh Zee akan sedikit meredakan kepusingan yang tengah semrawut di kepalanya.

Zee mengangguk kemudian duduk di kursi samping Aran, ia hanya diam memperhatikan Aran yang tengah meneguk kopinya secara perlahan. Zee tidak tahu pasti, namun ia bisa melihat banyak keraguan di wajah pria itu.

"Kak Aran baik-baik saja?"

"Aku baik kok, kenapa bertanya seperti itu?" Aran meletakan gelasnya di meja samping kursinya.

"Papa bilang Kak Aran dan Ci Shani akan menikah dalam waktu dekat. Kak Aran yakin mau nikah sama Cici, maksud aku Cici kan orangnya gitu."

Aran tidak langsung memberikan jawaban, ia justru malah menerbitkan senyumnnya. Jauh sebelum Zee mengatakan hal itu ia sudah lebih dulu memahami sifat Shani, apapun dan bagaimanapun sikap Shani nantinya itu sudah menjadi resikonya.

"Mungkin suatu saat nanti Shani akan berubah, aku hanya perlu mempersiapkan diri untuk lebih sabar menghadapi sikapnya." ucap Aran bersikap tenang, sampai tak lama ia melihat bayangan seseorang di sebelahnya.

"Aku mau bicara sama kamu!'

Obrolan mereka terpaksa harus terjeda lantaran kedatangan Shani. Aran dan Zee sama-sama menatap Shani dengan pandangan berbeda, di lihat dari wajahnya sepertinya Shani baru saja selesai menangis. Aran mengembuskan napas berat sebelum
beranjak dari duduknya dan berjalan beberapa langkah mendekati Shani, belum sempat ia mengeluarkan suara sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi kirinya.

Zee membulatkan matanya menatap tangan Shani yang begitu ringan menampar Aran.

Aran memaksakan senyumnnya merasakan panasnya tamparan Shani, perlahan ia mengangkat kembali wajahnya tanpa sedikitpun rasa marah. "Mau bicaran apa?" tanyanya lembut, namun terdengar memuakkan di telinga Shani.

"Kenapa kamu terima permintaan Papa. Apa kamu sebegitu bodohnya sampai tidak memiliki kalimat penolakan?" Shani mendorong kasar tubuh Aran hingga tubuh Aran sedikit terhuyung ke belakang, ia akan kembali menampar pipi pria itu namun kalah cepat dengan Aran yang lebih dulu menahan tanganya.

"Terus kamu mau aku bagaimana?"

Shani menyentak kasar cekalan tangan Aran hingga terlepas,
"Aku mau kamu menolak permintaan Papa. Kalau perlu kamu pergi sejauh jauhnya dari keluarga aku, aku akan kasih kamu uang sebanyak apapun kamu mau."

"Siapa kamu bisa menyuruh aku?" Aran tersenyum simpul mendengar permintaan Shani lalu menggelengkan kepalanya, sekalipun Shani adalah anak dari seorang pria yang sangat ia hormati ia sama sekali tidak takut untuk menentang perintahnya.

"Aku berhak untuk menyuruh kamu, jangan lupa kalau kamu cuma pembantu disini, kamu tidak lebih dari sekedar sampah panti asuhan yang terpaksa di pungut oleh keluarga aku."

Aran masih tersenyum miring membalas tatapan Shani yang sangat berapi-api, "Sebenci itukah kamu sama aku sampai penilaian kamu terhadap aku tidak pernah berubah, bahkan setelah bertahun tahun kita tinggal serumah."

WHY SHOULD LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang