Lupa alur? Baca ulang solusinya!
***
"Dokter Maya, bisa saya ketemu Dokter Steven? Di-di ruangnya saya cari tidak ada siapa-siapa." di tengah keridor rumah sakit, dengan napas tersengal Aran berhasil menemukan Dokter Maya yang juga ikut bekerja sama menangani papanya, "Saya mewakili keluarga besar sudah membuat keputusan untuk menerima tawaran Dokter William, tolong segera jadwalkan oprasi papa saya dok,"
"Mohon maaf Pak Aran, tapi saat ini-"
"Saya yang akan mendonorkan jantung saya, dan keputusan itu sudah di setujui oleh seluruh anggota keluarga kami," kedua mata itu menyorot penuh pengharapan, meski nanti duanianya akan berakhir setidaknya Aran tidak harus menangisi kepergian orang yang paling ia sayangi. Namun harapan itu berangsur hilang kala Dokter perempuan di depanya hanya diam, Aran bisa melihat bahwa saat ini Dokter Maya seperti sedang mengasihaninya.
"Dok, ada apa? Apa tawaran itu sudah tidak berlaku lagi? Papa udah ada pendonor Dok?"
"Saya sudah menduga bahwa kamulah yang nantinya akan mendonorkan jatung. Banyak yang menangisi keadaan Tuan Keynal, tapi hanya kamu yang paling merasa sakit." Dokter Maya mendekat, tanpa ragu tanganya bergerak mengusap bahu Aran yang saat ini hanya terbalut kemeja putih sedikit lusuh, "Pak Aran, saya turut berduka cita ya,"
Untuk beberaa saat Aran merasa dunia sedang mengitarinya, kupingnya berdengung, ucapan domter Maya terus berulang mengitari isi kepalanya tanpa tau apa maksudnya.
"Pa-papa saya baik-baik saja kan dok?"
"Sepuluh menit yang lalu, Dokter Steven bersama dokter William termasuk saya dan rekan rekan berjuang menyelamatkan nyawa Tuan Keynal, namun Tuhan lebih menyayanginya. 8 Menit setelahnya Tuan Keynal di nyatakan meninggal dunia, saya disini sudah membawa rekam medis berserta tanggal kematian beliau."
Binar pengharapan itu lenyap dalam hitungan detik, tatapan Aran kini berubah kosong sejak telinganya mendengar ungkapan duka. 10 menit yang lalu berarti saat Aran baru sampai di rumah sakit, Aran terlambat, ia kehilangan papanya sebelum sempat mendonorkan jantungnya.
"Pak Aran, anda baik baik saja?" Dokter Maya menahan lengan Aran yang teehuyung ke belakang membentur dinding rumah sakit. Dokter maya melihat itu, duka yang teramat besar dari seorang anak yang di tinggal oleh orang tuanya.
Aran menggekengkan kepalanya, isi kepalanya masih sibuk menerka apa yang bisa ia lakukan untuk menghidupkan papanya kembali. Namun kematian, siapa yang bisa mengubahnya tanpa izin tuhan?
"Kita sebagai manusia tidak bisa menghindar dari yang namanya kematian, suatu saat entah itu dalam waktu lama ataupun dekat kita pasti akan bertemu dengan takdir itu. Saya minta Pak Aran untuk tetap tenang ya, jangan menyalahkan diri sendiri, sekali lagi saya turut berbela sungkawa,"
Aran menundukkan kepalanya, kali ini ia merasa dunianya tidak lagi berputar melainkan berhenti untuk waktu yang lama. Mendung itu akhirnya menurunkan hujan, tanpa bisa di tahan Aran meloloskan air matanya begitu saja tanpa ingin repot menyekanya. Kalimat dokter maya sema sekali tida membuatnya tenang, yang ada hanya semakin menyesakkan dadanya. Aran telah kehilangan pilar dalam hidupnya.
Dengan langkah gontai Aran menuju kamar rawat papanya, kakinya yang bergemetar itu terus di paksa berjalan sampai tiba di ruangan. Aran membuka mulut untuk tetap bisa bernapas saat kain putih itu telah menutupi seuruh tubuh papanya, Aran menangis tertahan, tanganya mengepal sekuat kuatnya.
"Kak Aran, Papa udah gak ada Kak,"
Aran masih membeku bahkan setelah Ratu memeluknya dengan erat, isak tangis perempuan itu memenuhi isi ruangan sekalipun itu akan mengganggu petugas disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY SHOULD LOVE [END]
Fanfiction"Bersamamu adalah kesalahan yang tidak pernah aku inginkan." "Apapun itu, kamu tanggung jawab aku mulai sekarang."