Ada beberapa hal dalam dirinya yang perlahan mulai berubah, Shani sudah sadar akan hal itu namun ia masih berusaha untuk menyangkalnya. Beberapa kali Shani sempat berdebat dengan pikirannya sendiri, tak jarang pula Shani merasa kalah dan akhirnya mengakui bahwa keberadaan Aran mulai mempengaruhi hidupnya, mungkin lebih tepatnya keberadaan seorang bayi yang tanpa sengaja Aran titipkan dalam rahimnya.
Bercerai dari Aran, hidup bebas tanpa sedikitpun terjerat oleh peraturan adalah impiannya sejak lama, tapi naasnya, impian itu berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Bagaimana setelah bercerai Aran tidak mengizinkannya untuk bertemu bayinya? Bagaimana jika Aran menceritakan pada anaknya jika mamanya pernah hampir ingin membunuhnya? Bagaimana jika seumur hidupnya harus menerima kebenciannya dari anak yang mulai ia sayangi ini? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai mengusik ketenangannya,
Shani rasa ia belum siap untuk kembali kehilangan. Entahlah, Shani hanya merasa memiliki hak atas bayi yang sedang di kandungnya.Shani membuang napas panjang, tubuhnya bergerak resah diatas kasur, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam dan ia masih terjaga bahkan setelah hampir dua jam ia berusaha untuk tidur.
"Biasanya habis minum vitamin udah ngantuk." tubuhnya menyamping, menatap aneh sisi kosong di sebelahnya, setelah perdebatan mereka Aran menghilang, tidak ingin bertemu dengannya.
Tanpa Shani sadari dia sudah terbiasa menerima perlakuan halus setiap malam dari Aran, menerima elusan di perutnya, pijatan kecil di kakinya, atau mendengar dongengan pria itu setiap malam pada bayi di perutnya, jadi ketika Aran tidak melakukannya Shani merasa ada yang kurang, seperti yang terjadi malam ini.Pada akhirnya Shani menyerah, ia keluar kamar membawa langkahnya ke kamar yang di persiapkan untuk bayinya, tapi ternyata ia malah menemukan Aran yang berdiri tegak menghadap jendela balkon, apa sedari tadi Aran berada disini?
Shani melangkah mendekat, entah lamunan apa yang sedang mengisi kepala Aran sampai pria itu tidak menyadari keberadaannya.
"Kamu marah?" Shani memberanikan diri untuk bersuara meski setelahnya ia harus menghela napas panjang karena tak mendapat respon apapun dari pria itu, "Aran?!"
"Marah kenapa?"
Aran masih setia pada posisinya, sepertinya memang sangat marah meskipun Shani sendiri bingung kesalahan mana yang membawa Aran pada kemarahan sampai seperti ini, Aran begitu dingin, Shani merasa sangat terganggu.
"Udah malam, sebaiknya kamu-" Aran tidak mampu melanjutkan kalimatnya begitu sepasang tangan melingkar di perutnya, di susul oleh kepala yang bersandar di punggungnya, Aran menghela napas berat,"Kenapa kamu lakukan ini?"
"Entah kesalahan mana yang buat kamu semarah ini tapi aku ingin minta maaf." Shani menggigit bibir bawahnya, "Maaf udah nampar kamu juga."
Aran membuang kasar napasnya, menunduk untuk melihat tangan Shani yang memeluknya dari belakang, bukan seperti Shani yang Aran kenal. Tapi, apa yang membuat Shani akhirnya menurunkan egonya? Perlakukan seperti ini sungguh mengejutkannya tapi bukankah Aran harus tetap bersikap tenang?
"Tadi aku ke kamar Ratu, aku lihat tanganya lagi di obati sama Mama."
"Tanganya melepuh karena gak sengaja kejatuhan kuah panas dari mie instan, aku bantuin dia ke kamar karena Mama lagi ngambil obat buat dia."
"Maaf karena udah mikir yang engga-engga sampai buat kamu semarah ini."
"Bagaimana jika aku marah bukan karena itu?"
Shani mundur satu langkah saat pelukannya di lepas secara paksa, kemerahan di pipi kanan Aran membuat hatinya meringis, ternyata benar kata Sisca dan Cindy bahwa ia cemburu melihat interaksi Aran dan Ratu, jika tidak tanganya tidak akan mudah melayang menampar hanya karena kesalahpahaman konyol itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY SHOULD LOVE [END]
Fanfiction"Bersamamu adalah kesalahan yang tidak pernah aku inginkan." "Apapun itu, kamu tanggung jawab aku mulai sekarang."