Aran memandang surat perjanjian antara dirinya dengan Shani tanpa ekspresi, surat perjanjian di atas meterai yang sudah tertanda tangan atas nama Shani Indira diatasnya. Aran tidak mengerti, apa Shani jauh-jauh datang ke kesini hanya untuk tanda tanganya?
"Ternyata tujuan kamu kesini ingin aku segera menandatangani surat perjanjian," Aran tersenyum hambar, apa yang ia harapkan sebenarnya?
"Iyalah, ngarep banget mau aku dampingi di pernikahan Indah," Shani duduk diatas kasur busa tanpa divan, usulanya yang ingin satu kamar dengan Cindy tertolak lantaran Aran sudah menyiapkan kamar untuknya.
Aran meraih bolpin diatas meja kamar, tak butuh waktu lama coretan tanda tanganya sudah menghiatasi kertas di atas meterai, dengan kata lain mereka sudah sama-sama sepakat atas perjajian yang sudah mereka buat.
"Akan aku simpan suratnya, jangan khawatir, aku gak akan ingkar," Aran melipat suratnya untuk ia simpan di tas laptopnya, memandang sebentar pada Shani yang seakan tidak memperdulikan keberadaanya, "Seperti yang sudah tertulis, aku juga bisa nuntut kamu jika terjadi sesuatu pada anak aku, jadi jaga diri kamu baik-baik,"
Aran tidak butuh jawaban Shani untuk keluar kamar. Sekalipun Shani setuju untuk tidur di kamarnya bukan berarti perempuan itu mengizinkannya untuk tidur dalam ruangan yang sama, karena itu Aran lebih memilih untuk ke dapur menyiapkan segelas kopi sebagai temanya begadang malam ini.
"Mau bikin kopi? Aku kira kamu udah tidur."
Sebisa mungkin Aran bersikap tenang rlsekalipun ia terkejut dengan kedatangan Chika yang tiba-tiba.
"Selamat ya atas kehamilan Ci Shani, impian kamu buat jadi Papa akan segera terkabul,"
Aran yang sudah beraiap menuang air panas kedalam gelas jadi terurung lantaran mendengar ucapan Chika. Aran berbalik, mendapati Chika yang terus saja menundukkan pandangan, namun dari suarnya Aran tau bahwa perempuan itu sebisa mungkin menahan tangis.
"Aku senang keingina kamu sebentar lagi terjadi tapi aku juga sedih karena bukan aku yang mewujudkan impian kamu," Chika tidak tau harus apa, sekelibatan ucapan Aran waktu itu yang menginginkan dirinya sebagai ibu dari anak-anaknya tidak mudah Chika lupakan, Chika terus mengingatnya walau hatinya terasa sakit.
Pandangan Aran menyapu ke segala sudut panti, memastikan tidak akan ada orang yang melihat mereka atau bahkan mendengar ucapan Chika barusan.
"Kamu janji bakal lupain aku Chik,"
Chika masih menunduk, tak berani menatap Aran atau mungkin malu menampakkan diri di depan Aran sementara ia belum bisa menepati janjinya untuk melupakan mantan kekasihnya.
"Yessica," sedikit ragu Aran meletakan kedua tangan di bahu Chika, "Kita udah janji buat sama-sama bahagia,"
"Tapi nyatanya kita sama-sama gak bahagia kan Ran, kita terjebak dan terluka dengan pernikahan kita." Chika menepis tangan Aran dari bahunya kemudian mendongak memberanikan diri membalas tatapan Aran, "Kamu gak sadar atau gak mau tau kalau kita udah sama-sama terluka?"
Aran terkejut melihat mata perempuan itu sembab, namun Aran jauh lebih terkejut lagi ketika Chika menunjukkan sebuah cincin yang Aran tahu adalah bagian rencana terbesarnya dengan Chika di masalalu.
"Chika, darimana kamu-"
"Uma yang ngasih karena kamu gak pernah bisa untuk buang cincin ini, cincin yang harusnya bisa menyatukan kita dalam ikatan yang suci," Chika mengenggam kuat cincin di tanganya, bibirnya beegetar menyaksikan Aran yang berjalan mundur memberi jarak untuk mereka, dari cincin ini Chika jadi tahu bahwa Aran tida benar-benar bisa merelakan kisah mereka, yang Aran lakukan selama ini hayalah pasrah kemudian belajar menerima.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY SHOULD LOVE [END]
Fanfiction"Bersamamu adalah kesalahan yang tidak pernah aku inginkan." "Apapun itu, kamu tanggung jawab aku mulai sekarang."