18

1.5K 247 31
                                    

"Muthe, Teh Shani-nya mana?" tanya Aran ketika mendapati Muthe hanya seorang diri di taman belakang, "Tadi kata Bunda kamu ajak Teh Shani ke taman ini?"

"Teteh tadi jalan kearah ladang, katanya mau lihat pemandangan sawah." jawab gadis berusia 7 tahun itu seraya menunjuk kearah luar taman.

Aran mengikuti arah jari telunjuk Muthe yang mengarah keluar dari pekarangan panti, dan benar, disana pagar belakang rumah terbuka yang artinya seseorang baru saja keluar. "Kok kamu kasih izin, Teh Shani baru pertama kali kesini loh."

"Aku mau temani tapi Teteh bilang mau sendiri aja, aku di suruh jaga disini." Muthe menatap wajah Aran polos, ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang barusan ia lakukan. Apa membiarkan orang kota jalan-jalan sendiri adalah sebuah kesalahan?

Aran mengehela napas perlahan lalu tersenyum mengusap pipi Muthe. Shani gadis yang sangat keras kepala dengan segala kemauan yang harus di turui, dan sudah jelas ini bukan salah Muthe, perginya Shani adalah keinginan gadis itu sendiri.

"Yaudah kamu sekarang masuk kedalam ya, bilang sama Bunda kalau Teh Shani sama Aa lagi main ke ladang, kalau mau makan makan duluan aja jangan nungguin, oke?"

"Oke A, aku masuk duluan ya."

Aran menganggukkan kepalanya. Setelah memastikan adik kecilnya masuk kedalam rumah, Aran langsung bergerak cepat menyusul Shani yang katanya ingin melihat sawah. Shani itu gadis kota, selamanya hidupnya dia nyaris tidak pernah menginjakan kaki di atas lumpur tanah yang basah. Apa gadis itu tidak akan merasa jijik? Entah apa yang di pikirkan Shani saat memutuskan melihat sawah seorang diri, apalagi ini sudah memasuki musim penghujan, sudah dapat di pastikan jika jalanan akan licin. Aran khawatir Shani akan jatuh terpeleset, juga khawatir jika binatang asing yang sering menjadi penghuni sawah itu akan menakutinya, dan yang lebih parahnya lagi akan membuat gadis itu terluka.

"Itu lo lagi dimana Shan? Kok kayak di pegunungan gitu, wah lo muncak gak ngajak-ngajak kita, parah bet dah lo Shan." suara keras dan cukup melengking itu berasal dari mulut Sisca, yang saat ini sedang melakukan telfon via video bersama Shani juga Cindy.

"Gue gak lagi mendaki Fransisca, lo gak lihat ini gue masih di bawah, di sekeliling gue aja ini hijau hijau entah apa namanya," Shani mengubah kemeranya ke belakang, memamerkan pemandangan indah yang ia temukan di belakang panti asuhan Aran. Ada pegunungan yang terlihat dari jauh, mungkin karena itu Siska mengira jika dirinya sedang mendaki.

"Iya itu indah banget, lo lagi dimana sih Shan, gue juga pengen ikut," Cindy menatap antusias wajah Shani yang kembali nampak di layar ponsel, berdiri di tengah hijaunya rumput padi dan pohon jagung membuatnya ingin juga merasakan sensasinya.

"Gue gak tau ini di desa apa tapi gue ini lagi di Garut, ke tempat orang tuanya Aran." Shani terus berjalan kearah dapan. Mendung yang bernaung membuat suasana terasa sangat sejuk, sesekali angin menghempaskan rambutnya yang tergerai. Shani tidak bisa menampik jika pemandangan di sekitarnya sangatlah indah, ia merasa seperti sedang berada di puncak.

"Waah, jadi ceritanya lo lagi kunjungi orang tua Aran sekaligus honeymoon?" Sisca tertawa terbahak dari seberang telfon, "Seru banget sih honeymoon di pendesaan, pasti nanti ada gubuk asmara, romantis banget ya kalian."

"Dih Honeymoon, gue kesini karena terpaksa aja ya. Kalau aja gue gak kalah taruhan mungkin gue juga ogah kesini, ngapain juga gue harus ke kampung ini." Shani menyahut dengan nada yang tidak terima. Lalu setelahnya ia berdecak, pertandingan yang ia rencana sendiri dua hari yang lalu berujung sial, dan itu cukup membuatnya menyesal.
Jika saja Aran tidak memberikan dua pilihan yang rumit sebagai hukuman, mungkin ia tidak akan pernah menginjakan kaki di sawah ini. Tapi ya lebih baik ia disini daripada harus menyerahkan aset berhargnya kepada pria yang tidak akan pernah ia cinta.

WHY SHOULD LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang