33

1.8K 267 42
                                    

Terhitung sudah seminggu lamanya Keynal di rawat, meski sudah di pindahkan dari ICU ke ruang rawat tak ada perubahan yang signifikan terhadap kesehatanya, Keynal masih di nyatakan koma meski sudah melewati masa kritis empat hari lalu.

Dalam ruangan VVIP ini suasanya begitu mencekam, hanya terdengar suara dari alat medis pemantau detak jantung walau disana ada beberapa orang yang menunggu. Veranda, sejak hari pertama sampai hari ini tidak pernah meninggalkan suaminya. Shani, Zee, Ratu, Gito, bahkan Chika juga kompak menemani dalam ruangan. Chika meruntuhkan egonya sendiri ketika mendengar mertuanya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, meski belum ada kata baikan antara dia dengan Gito nalurinya berontak ingin menenangkan pria itu yang sudah pasti bakalan kacau.

Chika sudah tiga hari bergantian jaga namun sekalipun ia tidak menemukan adanya Aran. Tidak ada satupun dari mereka yang membahas Aran, jangankan membahas mengobrol satu sama lain saja tidak.

"Emm, maaf, Aran emang gak pernah kesini ya?" Chika melihat Ratu orang pertama yang menatapnya ketika pertanyaan itu terlontar begitu saja, "Ini hari libur, gak mungkin Aran kerja."

"Kenyataanya dia emang kerja kok, kesempatan buat dia ambil apa yang dia mau disaat kondisi Papa lagi kayak gini."

Veranda memejamkan matanya lelah, memilih untuk diam dan tidak menyimak perdebadan yang tiada ada habisnya.

"Bisa berhenti bicara buruk tentang Aran?" Gito menyerongkan tubuhnya ke kanan  hingga menghadap Shani yang duduk sendiri di sudut ruang, "Semenjak Papa di rawat kondisi kantor pusat maupun cabang ikut gak baik-baik saja, pekerjaan banyak yang terbengkalai dan, Aran, suami kamu itu berjuang mati-matian untuk menstabilkan keadaan perusahaan." Gito menekan setiap kata yang terucap.

"Kenapa harus Aran? Kenapa bukan Kakak saja yang handle perusahaan, Kak Gito yang anaknya Papa bukan pria itu, Aran bukan siapa siapa."

"Yang kamu bilang bukan siapa-siapa itu suami kamu, Shani Indira Natio," Veranda yang sedari tadi diam kini angkat bicara, matanya yang sembab kini menatap tajam putrinya, "Kamu gak kasihan sama Mama, sama Papa? Udah berapa kali kamu nyakitin Aran dengan kata-kata kamu itu? Aran emang gak pernah protes tapi apa kamu tau kalau itu juga nyakitin buat Mama apalagi Papa, Aran itu juga anak Mama, Papa sangat menyayanginya, Shani."

Ratu mengenggam lembut tangan tantenya, lalu beralih menatap Ci Shani yang kini sudah membuang muka, "Sekalipun Kak Aran gak pernah absen untuk nengokin Om Keynal, sesibuk apapun dia, walau cuma sebentar dan melihat dari kaca luar," Ratu tidak berbohong, beberapa kali ia memergoki pria itu berdiri di luar ruangan. Orang orang rumah bahkan bilang kalau Aran tidak pernah pulang, Ratu berpikir seringnya Aran tidur di kantor atau bahkan tidak tidur sama sekali karena harus bolak balik rumah sakit ke kantor.

Chika menghela napas di samping Gito, ia menyesal sudah mengutarakan rasa penasaranya pada keluarga sensi ini. Seharusnya tadi Chika diam saja, rasa penasaran itu biarkan nanti ia tanyakan pada orangnya langsung.

Shani menangkupkan sepasang tangan di wajahnya, haruskah ia mempercayai ucapan Ratu yang mengatakan bahwa setiap hari Aran menjenguk papanya? Tapi jika iya kenapa pria itu tidak masuk? Sejak hari itu dimana ia memarahi Aran habis habisan dan menyalahkan pria itu atas sakitnya papa, Shani tidak lagi melihat Aran. Sebenarnya itu bagus karena Shani tidak perlu merasa kesal melihat wajahnya, tapi ini berbeda, kekesalanya jauh leih parah ketika tidak melihat pria itu.

Mungkin karena Shani berpikit Aran tidak peduli pada papanya yang bahkan siap memberi segalanya pada Aran, ya mungkin seperti itu.

"Besok dokter dari singapure sampai untuk memeriksa papa, kemungkinan kita tidak bisa dulu ketemu Papa." ucap Ratu.

"Jangan suruh Mama pulang, Ratu, Mama masih mau temani Papa,"

"Besok kita semua pulang, istirahat, dan Mama juga butuh istirahat di rumah," ucap Gito tegas seperti tidak menerima penolakan.

WHY SHOULD LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang