Senyuman Veranda tidak luntur sejak kepulangan Aran dan Shani ke rumah, bahkan sampai mereka telah menghilang masuk kedalam kamar.
Veranda sangat bahagia, setelah sekian lama ia melihat ada sedikit kemajuan dalam rumah tangga putrinya.
Zee yang sejak tadi ikut duduk di samping Veranda di buat aneh dengan sikap Mamanya, kenapa harus bersikap berlebihan melihat pasangan suami istri pulang bersama?
"Shani sama Aran udah mulai akur ya, Mama seneng lihatnya." pandangan Veranda tertuju pada bingkai besar foto keluarga yang di ambil ketika pernikahan Shani dan Aran sewaktu di bali. Disana, suaminya, Keynal, tersenyum begitu lebar seraya merangkul bahu Shani dan Aran, seolah olah bangga telah menyatukan dua insa itu, "Kalau aja Papa masih ada dia pasti yang paling seneng lihat kedekatan mereka."
Ungkapan Veranda membuat putra bungsunya berhenti mengherankan sikap mamanya, Zee sekarang faham dan mengerti kenapa mamanya begitu sangat bahagia melihat kedua kakaknya pulang setelah seharian berpergian, dan Zee sempat lupa bahwa akurnya mereka adalah impian papanya sejak lama.
"Ma, apa dengan Cici hamil perasaanya bisa luluh sama Kak Aran?"
"Mungkin, ikatan batin antara anak dan ibu itu nyata, bisa jadi hal itulah yang membuat Cicimu mau menerima Kak Aran lalu mencintainya,"
"Kak Aran baik ya Ma, dia masih mau menemani Cici dan menjaganya meskipun berkali-kali Cici menyakiti. Kalau aku ada di posisi Kak Aran kayaknya aku udah ninggalin Ci Shani sejak lama, lagipula apa yang Kak Aran lakuin sebanding dengan apa yang pernah Papa kasih, dan seharusnya Kak Aran gak perlu ngerasa hutang budi."
Pandangan Veranda beralih dan kini memandang lekat putranya. Veranda diam selama beberap detik sebelum akhirnya menganggukkan kepala, setuju dengan kalimat panjang yang barusan putranya sampaikan.
Helaan napas Veranda terdengar, secara tiba-tiba perasaanya berubah jadi resah, ada sedikit rasa bersalah di kabut matanya.
"Ma, Mama kenapa?" dan ternyata Zee sepeka itu untuk tau perubahan sikap sang mama.
"Gak kok sayang, Mama cuma keinget Papa aja,"Veranda kembali tersenyum manis, sekarang ia bingung harus pada siapa berbagi cerita setelah kepergian suaminya.
Aran menunggu Shani sampai perempuan itu selesai dengan rutinitas malamnya. Tak sedikitpun perhatianya teralih, dari Shani memakai skincare, body lotion, hingga menyemprot kamar dengan pengharum ruangan. Dari dulu Shani memang menyukai wewangian, orang yang samgat bersih yang pernah Aran temui.
"Ngapain masih disini, sana keluar aku mau tidur."
h
Hingga pada seruan itu barulah Aran beranjak pafa sofa yang di dudukinya, melangkah mendekat pada ranjang dimana Shani sudah bersiap untuk beristirahat, "Jangan lupa susunya di minum,"Shani mendenggus, sudah kali ke 5 Aran mengucapkan hal yang sama.
"Iya Aran gak akan lupa, udah sana keluar."
Bukanya segera keluar Aran justru malah ikut duduk di ranjang bersebelahan dengan Shani, tanpa permisi Aran setengah berbungkuk hingga kepalanya berada tepat di depan perut Shani.
"Mau ngapain Aran?" Shani waspada, tanganya terangkat keatas bersiap untuk memukul kepala Aran jika pria itu berani macam-macam.
Aran meraih tangan Shani dan menurunkanya kembali, dengan lembut Aran tersenyum. "Ngobrol sama Arju, boleh? Gak lama kok,"
Shani membalas tatapan Aran, ingin rasanya menolak namun ia di sadarkan oleh perjanjian itu. Dimana itu tertulis bahwa Aran bebas untuk mengobrol dengan bayinya.
Dan Arju, nama yang Aran kasih untuk julukan Aran Junior, sedikit aneh dan sempat protes namun Aran tidak memperdulikanya.
Sekitar kurang lebih 5 menit Shani membiarkan Aran berbicara dengan Arju, dan kali ini Shani benar-benar merasa aneh ketika Aran mulai berani dengan mengusap perutnya, anehnya kenapa justru ia hanya diam dan sama sekaki tidak menepis tangan pria itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
WHY SHOULD LOVE [END]
Fanfiction"Bersamamu adalah kesalahan yang tidak pernah aku inginkan." "Apapun itu, kamu tanggung jawab aku mulai sekarang."