35

1.5K 291 37
                                    

"Shani, Aran, ada apa lagi kalian?" Veranda yang menerima info kegaduhan dari pembantu di rumah langsung bergegas ke kamar putrinya, dan benar, sesampainya disana Veranda bisa menangkap ketegangan di dalam kamar, "Aran, kamu kenapa?" Veranda heran, untuk pertama kalinya perempuan tua itu menangkap kekecewaan di wajah menantunya.

"Mama tau Shani hamil?" Aran bertanya tanpa sedikitpun melepas pandangan dari Shani.

"Iy-iya,"

"Zee, sama Kak Gito juga tau Shani hamil?"

"Aran, kita-"

"Kalian semua tau Shani hamil dan gak ada satupun dari kalian yang ngasih tau Aku?" pandangan Aran beralih pada mamanya, sorot mata kekecewaan itu berubah berkaca-kaca. Aran tau, bahkan sangat mengerti perasaan mereka yang sedang berduka, tapi bukankah ia adalah suami Shani, seorang yang sudah seharusnya menerima kabar kehamilan istrinya sendiri?

"Jangan nyalahin Mama aku, aku sendiri yang gak mau kamu tau kehamilan aku." Shani mendorong tubuh Aran.

"Kenapa, apa karena kamu ingin membunuh anak aku?"

"Aran, apa maksudnya membunuh?" Veranda terlihat begitu terkejut.

Aran tersenyum sendu seraya mengangkat botol obat dalam tanganya, "Jika saja aku telat sedikit, aku pasti kehilangan anak aku bahkan sebelum aku menyadari keberadaanya."

"Shani, kamu mau bunuh cucu Mama?"

"Iya benar, aku emang sengaja ingin meniadakan bayi ini. Aku gak pengen dia ada di dunia ini Ma, aku gak mau dia ada di dalam perut aku."

Plak...

Aran memejamkan matanya saat tangan Veranda melayang begitu keras menampar pipi Shani, hatinya bergetar, rasanya begitu sakit seakan dirinya yang kena tampar.

"Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Kamu ingin jadi pembunuh untuk anak kamu sendiri?" Veranda menggeleng tidak percaya, segila itukah pikitan anaknya?

Pipi Shani terasa perih, untuk pertama kalinya ia menerima tamparan dari mamanya sendiri. Kepala Shani mendongak saat air matanya telah merembes keluar, hatinya begitu terasa sakit, "Asal Mama tau aku gak pernah ingin jadi pembunuh, tapi aku benar-benar tidak mau dia ada,"

Aran memalingkan wajah, kalimat yang berusan ia dengar bagai batu besar yang menghantam hatinya.

"Bayi yang ada di perut aku ini hanya akan tumbuh dan menyusahkan sama seperti papanya."

"Tapi bayi itu juga anak kamu Shani, dia hidup bergantung sama kamu,"

"TAPI AKU GAK MAU DIA ADA MA, AKU BENCI KEHADIRANNYA."

Veranda bergerak cepat menahan tangan Shani yang hendak memukul perutnya kemudian mendekap menenangkanya, "Tenang dulu ya, kamu gak boleh kayak gini," Veranda melirik Aran yang baru saja menyeka air mata, entah sudah separah apa hati pria itu, yang putrinya lakukan sudah barang pasti menciptakan pecahan kaca yang siap membuat hati Aran berdarah darah.

"Yang Mas Aran dan Nyonya Ve lihat hari ini sehenarnya bukan pertama kalinya Non Shani ingin menggugurkan kandunganya. Satu hari setelah kematian Tuan Keynal diam diam Non Shani meracik ramuan penggugur kandungan, mungkin karena ramuan itu tidak begitu berpengaruh Non Shani akhirnya membeli obat itu, maaf saya baru bilang hari ini." Mbok Jum, ibu dari sahabat Aran itu menunduk usai mengatakan kalimat panjaynya, kali ini perempuan setengah baya itu sudah tidak lagi takut kena marah atau bahkan pecat.

"Aku pengen bicara berdua sama Shani, Mama bisa tolong keluar sebentar."

Veranda mengangguk, mereka memang perlu berbicara empat mata, " Selesaikan baik-baik ya, Mama gak mau kalian sama-sama saling melukai," Veranda menghapus air mata putrinya, melempar senyum tipis kearah Aran sebelum melangkah keluar kamar di ikuti oleh Mbok Jum.

WHY SHOULD LOVE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang