44: sea ​​foam

98 5 5
                                    

Hanya mereka yang mengetahui perasaan mereka. Tapi ini hubungan yang di mulai dengan sesuatu yang tak masuk akal.
Bisnis?

Pada kenyataannya mereka menjalankan segalanya seperti saling mencintai. Perasaan mereka terhalang oleh rasa yang belum terbiasa.
Mereka saling menghormati dan belum bisa elastis dalam hubungan ini. Rumit, seperti benang yang terlilit di dalam laci.

Harus ada yang memulainya. Mulai mengurangi kerumitan benang itu dan mulai untuk merajut takdir baru.

Mereka duduk di dalam kapal saat melihat awan yang bergemuruh bergerak mendekat. Akan terjadi hujan dan ia harap pulau yang akan ia datangi tidak di guyur benda cair dari langit itu.

Dan yang di lakukan Arin adalah menatap sataris para gadis di bangku yang ada satu meter di sampingnya.

Mereka menatap Evans sambil tersenyum dan berbisik-bisik.
Jangan mereka pikir Arin tidak tau apa yang mereka pikirkan.
Insting wanita kuat, apalagi dia seorang istri sekarang. Wow, terasa sekali mereka sedang mencari perhatian.

Arin sudah melakukan itu, menatap tajam selama dua puluh menit tanpa berpaling tapi mereka seperti tidak terlalu menggubris. Untuk seorang gadis mereka seharusnya tau malu sedikit.

'Ada apa dengan mereka, dasar gadis gatel. Apa mereka gak bisa lihat aku istrinya. Ya ampun Arin kenapa kamu jadi sensitif'

Evans yang tampan dan itu miliknya mereka membuat dirinya sedikit kesal.
Ya meskipun tak ada larangan untuk mengagumi pria tampan.

Suara Evans yang tertawa kecil kegelian karena hal ini membuat Arin mengernyit bingung.

"Sampai kapan kamu bakal menatap sinis begitu?"

"Aku biasa saja. kenapa, kau terganggu?"

Arin menoleh dan langsung berhadapan dengan wajah Evans. Pria itu tersenyum padanya dalam jarak dekat, dia masih tertawa geli. Kenapa juga ia memiliki suami setampan Evans.

Tatapan tajam sudah hilang, kini raut heran yang mengambil alih wajahnya. Dia jadi sangat lucu.

Evans menyentuh hidung Arin dengan jarinya sambil berkata.
"Lihat hidung mu makin merah. Kamu merasa terganggu dengan mereka?"

Arin berdeham, apa-apaan tadi. Itu membuat Arin malu. Ia tidak boleh tersenyum. Ia tidak boleh salah tingkah sehingga menahan ekspresi.

"Kamu tau kalau mereka terus memperhatikan mu?"
Tanya Arin, ia masih berupaya menutupi perasaan ketika Evans menyentuh hidungnya. Itu membuat jantung nya bergemuruh.

"Huum, mereka memang memerhatikan kita. Dan kamu sepertinya memang terganggu"
Evans meraih tangan Arin dan menautkan jarinya.

Matanya membelalak, apa lagi kali ini.

Tidak, belum cukup sampai di situ sampai Evans mencium punggung tangannya.
Seperti hatinya yang di bom. Ledakan dahsyat. Pria ini bersikap lembut sampai meluruhkan seluruh perangkat di dadanya.

"Mereka akan mengerti kita pasangan. Lagipula mereka hanya orang asing"
Evans menambahkan kata.

Genggamannya yang hangat. Dan irama jantung yang bahkan bisa ia dengar.
Arin mengalihkan pandangannya pada para gadis itu lagi.
Arin ingin menggila seperti berteriak heboh tapi ia tidak bisa.

"Apa untungnya jika mereka tau kita pasangan"
Arin membuang muka.
Apakah Arin senang? Sangat ini perlakuan paling lembut. Lebih lembut dari kue bolu.
Ia membuang muka karena merasa malu.

Tatapan seperti 'lihat dia milik ku, jadi berhentilah menatapnya' Arin lemparkan pada mereka.

Akhirnya kapal bersandar di pelabuhan. Tapi genggaman Evans tidak terlepas. Pria itu berjalan keluar masih terus menggenggam tangannya.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang