Dari arah kiri muncul Juli melintas."Hei!" Juli melambaikan tangan.
Aurora dan Ina membalas dengan tatapan sinis. Jelas sekali para wanita ini tidak menyukai dengan model seperti Juli. Padahal Juli itu termasuk pria tampan, setidaknya memang tidak jelek-jelek amat. Tentu saja bak menelan pil pahit, tak mendapat respon positif dari dua wanita tadi. Adegan itu hanya angin lalu bagi dua wanita tadi, tetapi tidak bagi Juli.
Selang beberapa menit Juli lewat, tiba-tiba Aurora merasakan perutnya tidak enak. Baru saja melewati pemandangan tak sedap, Aurora bereaksi, seperti orang hamil muda, tetapi bukan itu yang terjadi. Tentu saja hal aneh bukan? Fenomena langka, Aurora tak terpikirkan jika hal tersebut karena bentrok energi.
"Kenapa tiba-tiba kepala gua pusing ya? Aduh." Aurora menyentuh kening.
"Kenapa Au?"
Ina menyentuh pundak serta kepala sahabatnya. Melihat itu, sebagai sahabat Ina turut prihatin, dia lantas bereaksi pula. Dia pun telah melakukan penyelidikan tentang apa yang terjadi. Namun, belum mendapatkan jawaban yang pasti. Sebab, semula baik-baik saja kini berubah aneh, bahkan mereka pun tidak tahu sama sekali penyebabnya.
"Kagak tau, kepala gua pusing terus perut gua mual-mual gini," cakap Aurora.
Huak, huwek!
Aurora tutup mulut kemudian berlari ke belakang. Beberapa menit kemudian Aurora muncul sambil memegangi perut. Disambut Ina yang kawatir. Dia beri kalimat selidik lagi. "Lu habis makan apa sih? Udah makan belum?" Ina terlihat tak tenang. Malahan Aurora yang tampil tenang.
"Gua gak makan yang aneh-aneh, gua juga cuma sarapan seperti biasa Na, gak ada yang lain," tegas Aurora. "Mungkin lu sakit? Mending pulang aja, nanti gua izinin sama Pak Johar," saran Ina.
"Gak usah! Gua gak apa-apa kok," pungkas Aurora.
Sementara itu, Juli yang tengah menuju ruang kerjanya juga merasakan kliyengan. Tak hanya Aurora yang bereaksi aneh, Juli pun cukup aneh. Meski dia tidak seperti Aurora yang mual-mual. Juli justru berbeda, dia merasakan tak enak di bagian kepala.
"Kenapa kepala gua pusing gini ya?"
Juli berpegangan pada tembok, terlihat wajahnya menderita. Terasa berat di kepala. Layaknya membawa batu kali, kepalanya pusing, berat serta keram bagian leher. Bahkan wajahnya sedikit panas, panas seperti tersengat kobaran api. Jelas, karena wajahnya tiba-tiba berubah merah, hampir menyerupai tomat merah. Ia mencoba untuk bertahan lalu melanjutkan perjalanan.
Di ruang kerja Aran.
Dia marah-marah. Marahnya bukan tanpa alasan, meski berbeda jabatan tetapi jika ada salah satu ada yang bersalah tetapi saja meluap amarahnya. Siapa lagi jika bukan dengan Angku, penyebab marahnya Aurora ia pikir berasal dari tukang bersih-bersih tersebut.
"Ini semua gara-gara lu." Aran menunjuk Angku.
Aran menunjuk seakan Angku adalah biang keladi dari semua perkara yang telah ditimpanya. Meski tak terima dengan tindakan yang telah dilakukan Angku, lawan bicaranya malah merasa tak berdosa, sepertinya lelaki ini punya solusi untuk menghadapi Aran.
"Kok saya, siapa yang ngajak ngomong?" Angku menatap Aran sambil menyelipkan nampan di ketiak.
Pertanyaan jitu dan tepat Angku lontarkan tepat di depan mata Aran. Dua manusia lajang tersebut bertengkar seperti berebut sepotong kue lumpia. Lantas lantaran semua berawal dari Aran, Angku merasa tak bersalah.
"Gua."
Terlihat wajah bingung, Aran menunjuk diri sendiri penuh tanda tanya. Dia ingin meyalahkan Angku, tetapi dia lupa bahwa semua adalah ulahnya sendiri sehingga Angku menjadikan ingatan sebagai senjata untuk melempar baik kesalahan.
"Terus siapa yang ngajak ngomong bisik-bisik?"
Angku terus menekan, dia keluarkan semua jurus andalannya agar Aran bertekuk lutut dan mau mengakui kesalahannya sendiri. Wajah Angku tenang, tidak ada tanda-tanda cemas, khawatir atau takut sekalipun. Dia punya ingatan tajam, teliti dan kemampuan melihat kesalahan orang lain.
"Gua juga." Aran menunjuk wajahnya.
"Ya udah salah siapa?" Angku pergi.
Kalimat telak. Pertanyaan terakhir yang mengakibatkan Aran harus buka mulut. Dia sadar bahwa semua karena dirinya sendiri. Tapi tak semudah itu, bukannya mengakui dia justru buncah.
"Salah gua." Ucapannya mantap.
"Lah kok gua sih?"
Dia belum sadar juga. Mukanya gelisah, apalagi melihat Angku angkat kaki dengan santai. Angku benar-benar tak memikirkan apa pun, dia pergi begitu saja karena merasa tak bersalah. Hampir sepuluh detik berdiri seraya mencari kesalahannya sendiri, barulah dia sadar, pergi dengan semua penyesalan, sedikit malu di depan Angku tetapi dia cepat melupakan.
Aran duduk di kursi, menatap komputer dan fokus pada Wifi yang memperlihatkan kekuatan sinyal sampai tiga batang. Tatapan seperti melihat es buah yang segar ketika sedang puasa dengan wajah lesu.
***
Dari jauh sosok pria yang tak lain adalah Juli, berjalan sedikit cepat. Mukanya risau, merasa ada yang ganjil. Langkahnya pergi ke kamar mandi. Area toilet sedang sepi, dia menyelinap di pintu beruliskan 'Khusus Pria' dengan tulisan hitam. Dia menatap cermin, memantulkan cahaya dan pantulan gambar dirinya. Heran, tak percaya dengan apa yang terjadi. Lantas beberapa kali membasahi wajah.
"Kenapa setelah menatap wajah Aurora, badan kayak ada yang aneh?" Juli menatap cermin.
Pria itu kemudian keluar, kebetulan ketika hendak keluar, ia berpapasan dengan Aran. Dua orang ini hanya saling tatap sebentar namun langsung melanjutkan. Namun setelah melangkah lima meter. Kedua orang ini sontak merasakan sesuatu yang aneh. Baik Aran dan Juli berhenti sejenak. Mereka merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding.
"Ada apa ini?" Juli berpikir dalam hati.
Aran hanya celingukan karena merasa ada orang lain selain mereka berdua di ruangan tersebut. Mereka secara serentak balik badan dan saling berhadapan dengan tatapan bingung. Mereka melihat area tersebut namun tidak ada yang ganjil. Aran menundukkan kepala sambil tersenyum pada Juli. Kemudian ia masuk ke toilet, sementara Juli membalas dengan senyuman pula, ia pun langsung keluar.
Aran mengintip ke luar, namun Juli sudah tidak ada. Ia merasa bingung dengan situasi barusan karena seakan ada yang aneh pertemuan dengan orang baru itu. "Kok ada yang aneh sih perasaan?" Aran memegang pundak beberapa kali. Tak lama ia melupakannya lantas mengucurkan air seni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalur Pelet
Horror"Kamu tidak perlu menggunakan cara ini karena aku sebenarnya juga suka sama kamu Aurora!" Aurora terpaksa menggunakan ajian Jaran Goyang untuk mendapatkan Aran, namun tindakannya justru membawa petaka hingga melukai dirinya sendiri. Selain itu Juli...