Petaka Datang

26 1 0
                                    


"Gak habis pikir gua ma lu Na. Apa yang lu sembunyiin dari gua?" Aurora menekan gigi. 

Aurora melihat Juli tampak ramah dan senang menyambut Ina muncul. Kemudian Ia memasukkan motornya ke dalam. Juli memastikan tidak ada orang yang melihat mereka lalu menutup gerbang rapat-rapat.

Aurora berjalan di ujung kegelapan menghampiri gerbang itu sambil mengendap. Di dalam terjadi percakapan antara pria jahat dan perempuan yang tertekan. Aurora menempelkan kupingnya di gerbang. Terdengar Juli sedang berbicara dengan Ina.

"Ina, gua gak nyangka lu bakalan memenuhi undangan gua," Juli hendak memeluk Ina. Tetapi Ia berkelit, ia menjauhi lelaki tersebut.

"Udah, sekarang apa mau lu?" Ina memandang wajah Juli yang cengengesan.

"Hehe.. jangan galak-galak dong, kita ngomong di dalam yuk!" Juli lebih dulu melangkah. Ina berjalan dengan penuh rasa was-was, ia memegang tali tasnya sambil mengikuti langkah Juli.

Juli menuju ruang depan dan duduk di sofa.

"Duduk!"

"Mau minum apa?" Juli tampak ramah.

"Gak usah repot-repot, sekarang gua udah ke sini, apa mau lu?"

Ina tak ramah, sesekali memperhatikan area ruangan tersebut yang membuat Ina merinding. Juli tak menjawab pertanyaan Ina, Ia justru berjalan mendekati Ina dengan penuh hasrat. Ketika dekat Ina melotot, sementara Juli tak peduli gelagat Ina lagi.

"Lu mau apa?" Ina membuang tangan Juli yang hendak menyentuh pipinya.

"Ina, lu tau kan gua punya video kita waktu itu."

Plak!

Ina menampar Juli dengan keras. Wajah Ina telah merah dengan tatapan dendam. Juli hany diam dan senyum sembari memegang pipi. "Gua pengen Na, Gua pengan lakuin itu lagi," kata Juli.

"Lu gak usah munafik Na, gua tau lu juga mau kan ngelakuin itu semua. Meski pun lu teriak, melapor polisi dan gua di penjara tidak akan mengembalikan keperawanan lu. Hehehe."

Ucapan itu membuat Ia hendak menampar Juli namun cowok tersebut mampu menangkisnya. "Kalo lu nolak gua bakal sebaran semua video itu di media sosial, dan gua bakal bilang kalo lu cewek murahan," ancam Juli.

"Ayolah Na!" Juli mulai menyentuh wajah Ina. Sedangkan Ina telah menangis menggigil. Juli semakin gila dengan aksi hingga membuat Ina tak tahan, Ina memberontak, wanita itu lalu menendang kemaluan Juli dengan keras.

"Aw, awas lu ya!"

Juli memegang benda keramat dengan wajah meringis. Ina berlari menjauhi Juli, ketika Ina mencoba keluar, Juli malah melempar kepala Ina dengan guci.

Kelontang! Terdengar suara benda pecah. Benda yang terbuat dari keramik tersebut membuat Ina tak mampu melanjutkan aksinya.

"Aduh!"

Ina merintih kesakitan, Ia menyentuh kepala belakang. Tangisan perasaan takut makin mencekam. Ia memperhatikan telapak tangan yang penuh darah. Kepalanya Ina mengucurkan darah segar bagaikan mata air, aliran darah itu kini membasahi tubuh Ina. Ia menangis dan merangkak berusaha menjauh dari hadapan Juli. Juli justru tampil layaknya malaikat pencabut nyawa, ia berdiri sambil ketawa-ketiwi.

"Lu mau kemana hah? Kan kita belum seneng-seneng?" Juli menggerakan kepala ke kiri sembari melotot sedangkan mulutnya ketawa lebar.

"Juli, tolong jangan lakuin itu, gua mohon." Suara tangis Ina menjadi. Ketakutan Ina semakin tak karuan ketika ia telah merasa pusing. Pandangannya mulai kunang-kunang, kedua tangan Ina memegang ke wajah dan kening. Dalam sekejap wajahnya penuh dengan bercak darah. Juli mendekat lalu menatap Ina sambil jongkok.

"Lu harusnya nurut aja, kan jadi begini akhirnya."

Ina sedikit-sedikit bergerak menjauhi meski kondisinya memprihatinkan. Sesekali tangannya menghalau tubuh Juli yang terus mendekat. Hingga beberapa bercak darah mengenai lengan Juli.

Jalur PeletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang