Mendengar itu, Aurora langsung celingukan, kemudian berbicara lebih ringan dan pelan. Ponselnya ditutup dengan telapak tangan. "Heh, dimana Ina, lu apain temen gua hah?" Aurora mengeluar suara mengancam namun dengan nada tertekan.
"Hehehe Ina ada sama gua, dia aman kok."
"Awas lu apa-apain temen gua, gua bakal bikin perhitungan, lu dengar!"
"Aurora, lu tuh terlalu baik buat Ina."
"Maksud lu?" Aurora menyingkir dari meja kerja dan mencari tempat sepi.
Aran tak sengaja melihat Aurora sedang berbicara dengan seseorang dengan telepon di ruang fotocopy. Dari gelagatnya Aurora terlihat cemas, namun Aran saat itu ada keperluan hendak keluar. Aran keluar dari kantor, sedangkan Aurora masih berceloteh dengan Juli.
"Udah lupain aja! Kalo pengen temen lu selamet temuin gua sendirian nanti malam. Ingat jangan bilang siapa-siapa termasuk Aran, keluarga lu dan polisi. Kalo sampe lu lakuin itu nyawa Ina dalam bahaya."
"Heh, apa maksud lu? Awas lu apa-apain teman gua, gua hajar lu."
"Udah, lakuin apa yang gua mau atau temen lu mati." Terdengar sambungan telepon terputus. "Halo, halo, ih mau apa lagi sih dia?" Aurora membetulkan rambutnya dan memperlihatkan wajah geram.
Prak!
Aurora menepuk atas mesin fotocopy. Aurora mengetahui kebusukan Juli yang telah menyandera Ina sebagai bahan agar Juli bisa bertemu dengan Aurora. "Bisa-bisanya dia bikin ulah." Aurora gigit jari.
Tak lama Aran muncul kemudian menghampiri Aurora. "Hei, kamu kenapa?" Kalimat Aran terdengar pelan. Aurora menyembunyikan kebenaran. "Aku gak apa-apa kok, aku cuma sebel sama tukang cendol langganan aku udah seminggu dia gak jualan," ucap alasan Aurora.
"Tapi wajahmu cemas banget lho aku perhatian dari tadi. Beneran gak apa-apa?" Aran memegang kedua tangan Aurora.
"Iyaa!"
Aurora memperlihatkan wajah manja dan mengeluarkan senyuman. Meski di dalam hati tengah gundah, ia tak ingin Ina mengalami hal buruk sehingga berusaha menuruti semua kemauan cowok brengsek itu. "Ya udah aku tinggal ya. Bener gak apa-apa kan?" Aran melepas tangan Aurora. Ketika Aran pergi mukanya sesekali melihat ke belakang, sedangkan Aurora berusaha tersenyum bohong.
Setelah Aran pergi, Aurora balik badan dan ekspresinya berubah 360 derajat. Wanita itu dirundung kekacauan, pikirannya selalu terlintas nama Ina. Aurora berjalan dengan langkah takut-takut, mulutnya gigit jari sementara pandangannya seperti orang hilang. Dia duduk tak tenang, beberapa kali Aurora melepaskan nafas panjang.
"Ina, apa yang terjadi ma lu sih, kenapa jadi begini?" Aurora memperhatikan meja kerja Ina yang tengah kosong melompong.
Setelah pulang Aurora masih terlihat resah, ia berulang kali mondar-mandir lalu duduk sambil melihat smartphone. Ia dikagetkan oleh suara panggilan dari Juli lagi. Kemudian ia mengangkatnya lalu memastikan pintu kamarnya tertutup rapat.
"Halo!"
"Gua tunggu sekarang, datang ke alamat yang gua kirim. Ingat nyawa temen lu tergantung lu, mau lakuin apa yang gua mau atau gak?"
Telpon langsung terputus. Kemudian muncul suara pesan yang mengirim lokasi Juli melalui google map. Aurora memegang kening kemudian membuang muka ke samping. Aurora kemudian mengambil tas, ia turun tangga, suara sepatu Aurora terdengar oleh Darman yang kala itu sedang duduk di sofa bawah.
"Kamu mau kemana Au?" Darman menoleh ke belakang. Aurora cengengesan lalu lontarkan kalimat alasan.
"Aku mau ke rumah Aran Pa, kita mau jalan sebentar. Aku pergi dulu ya, dah!"
Darman hanya memperhatikan Aurora yang terlihat aneh gelagatnya. Perempuan itu mengendarai mobil lalu langsung melesat. Sembari fokus pegang kendali, Aurora sesekali memperhatikan layar smartphone yang menunjukan titik lokasi tujuan. Setelah sejam berlalu, Aran menghampiri rumah Aurora. Ia memarkir motor di depan pintu, kemudian mengetuk pintu depan. Saat itu Minto membuka pintu, kemudian ia melapor pada Darman.
"Maaf Pak ada temannya Non Aurora, katanya pengen ketemu."
"Siapa?"
"Aran," jawab Minto mantap.
"Hah?" Darman bangkit dengan wajah tak tenang. Ayah Aurora itu mendekati Aran yang berdiri di depan pintu. "Aran, bukannya Aurora ke rumah kamu? Soalnya dia tadi pamit mau jalan sama kamu," kata Darman.
"Aurora mau ke rumah saya?" Aran mengerutkan wajah.
Aran dan Darman sama-sama tidak mengerti, informasi yang tidak tahu kebenaran itu membuat tanda tanya dari kedua manusia itu termasuk Minto.
"Saya gak ada janji apa pun sama Aurora Pak," ungkap Aran. Ungkapan Aran membuat Darman menjadi cemas.
"Waduh, jangan-jangan terjadi sesuatu dengan dia!"
"Biar saya telepon dia Pak," kata Aran sambil sedikit menyingkir.
Aran mencari nomor kontak Aurora kemudian melakukan panggilan suara. Terdengar suara panggilan dari Aran, namun HP Aurora tertinggal di mobil dan tidak mendapat respon dari pemiliknya. Berkali-kali Aran menghubungi pacarnya tetapi tidak mendapat balasan. Ia menghampiri Darman dengan wajah penyesalan.
"Aurora tidak bisa dihubungi Pak," tuturnya pelan.
"Saya khawatir terjadi sesuatu, Ina belum ketemu ini Aurora lagi," kata Darman telah panik. Tak berapa lama Sayuh muncul dengan pakaian tidur. Ia terusik dengan kegaduhan yang terjadi hingga ia harus turun ke bawah.
"Kenapa Pa?" Sayuh ucapkan kalimat dengan wajah datar.
"Aurora berbohong, katanya mau ke rumah Aran, sedangkan Aran justru ke sini. Dia juga tidak bisa dihubungi."
"Ya ampun Aurora," sahut Sayuh menutup mulut sambil berlinang air mata. Darman kemudian menenangkan istrinya. Sedangkan Aran terlihat bingung hendak mencari ke mana pacarnya yang tidak tau keberadaannya itu. Muncul Bi Ijah dan datang dari belakang, dia hanya diam namun tampak kekhawatiran di wajah soal Aurora yang tengah dibicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalur Pelet
Horror"Kamu tidak perlu menggunakan cara ini karena aku sebenarnya juga suka sama kamu Aurora!" Aurora terpaksa menggunakan ajian Jaran Goyang untuk mendapatkan Aran, namun tindakannya justru membawa petaka hingga melukai dirinya sendiri. Selain itu Juli...