Telah dua kali tukang bersih-bersih itu mengejutkan dan membuat Aran jantungan. Aran mengatur nafas, ia menepuk lantai namun justru telapak tangannya kesakitan."Aw!"
Tatapannya sangat jengkel, ia meraba-raba mencari ponselnya yang baru saja dibuang. Setelah mendapat benda persegi itu Aran bangkit kemudian melangkah sambil merapikan pakaian. Tak berapa lama Angku muncul, ia mengalami hal yang sama, pria itu juga merasakan merinding.
"Kok merinding?" Angku melangkah.
Setiba di rumah, Aran disambut ayahnya, Darwis di depan pintu. Ibunya meninggal tahun lalu karena sakit parah. Aran termasuk sosok pekerja keras dan sangat sayang terhadap orang tua tunggalnya. Aran memasukkan motor di garasi depan.
"Ayah sudah masakin kamu sup ayam, kamu cobain ya!" Darwis menariknya. Justru Aran malas mencicipi makanan tersebut. Wajahnya terlihat tak sedap sementara tubuhnya mengikuti Darwis bagai kerbau ditarik dari moncongnya.
Aran menerima suapan dari sang ayah, Terlihat wajahnya bahagia. Namun, ia beralasan sudah makan setelah pulang dari kantor. Aran berlari meninggalkan Darwis, lelaki itu memasuki kamar lalu membuang sup buatan ayahnya.
"Asin banget, beh."
Berulang kali Darwis menciptakan menu makan yang tidak sesuai harapan. Beberapa waktu lalu sup buatan Darwis terasa sangat pedas karena terlalu banyak merica. Bahkan baru kemarin, ayahnya berinisiatif menggoreng pisang namun menggunakan bumbu rendang instan. Namun, Aran tidak mau memberitahu kepada ayahnya jika masakannya tidak enak karena takut membuat ayahnya sakit hati, Aran memilih diam.
Aran mengelap bibir dan lidah karena rasanya terlalu menggigit di lidah. Ia meletakkan tas di meja lalu duduk lepas di kasur. Ia pun menjatuhkan tubuh dan memejamkan mata. Baru saja sepuluh menit, Aran harus membuka matanya karena terdengar raungan harimau. Ia bangkit lantas memeriksa area tersebut, tetapi tak menemukan apa pun. Ia kembali duduk sambil menyeka keringat yang terlihat mengalir dari kening.
Laki-laki itu membuka baju kemudian meraih handuk, Aran membasahi tubuh dengan air segar. Entah angin apa yang membuat laki-laki itu tiba-tiba sehabis mandi bisa tidur nyenyak hingga pagi hari?
Paginya.
Suara alarm berbunyi terus menerus hingga ayahnya masuk ke dalam kamar. Aran hanya bersuara malas ketika ayahnya mencoba membangunkan seperti membangunkan kucing. Tubuh laki-laki itu berusaha bangkit sempoyongan dengan kondisi rambut seperti sarang tikus.
Sedangkan Aurora telah berada di depan rumah Ina, beberapa kali ia menekan tombol klakson namun sahabatnya itu tak muncul batang hidungnya. Setelah Aurora merasa geram, barulah Ina muncul dengan langkah terbata-bata. Ia membuka pintu mobil dengan aroma semerbak wangi.
"Maaf, aku tadi sarapan dulu." Ina melebarkan senyum. Sementara Aurora hanya diam sambil mulut seperti dikuncir. Ia menarik gas menuju kantor, sementara Ina masih sempat membuka alat make up sambil merapikan eyeshadow.
Sesampainya di kantor, Ina baru menutup alat tersebut. Mereka bersama-sama menuju meja kerja. Tak lama Aran pun muncul, ia menepi di tempat parkir, kemudian masuk. Di depan ia bertemu dengan Angku yang tengah mengepel.
"Gimana Mas semalam tidur nyenyak? Hehehe," ujar Angku, seperti meledek. Aran membalas ekspresi sebal, karena perasaan semalam belum bisa dilupakan.
"Nyenyak apanya?"
Aran berjalan di depan Aurora, wanita itu memainkan pulpen di dagu sementara matanya terpaku.
Sedangkan Ina terlihat gelisah karena hari ini ia lupa membawa ampyang, makanan kesukaannya. Aurora hanya senyum manis belaka membuat Ina heran. Kemudian Ina melambaikan tangan, barulah ia sadar dan kembali bekerja. Ina pergi keluar sebentar, di depan ia bertemu dengan Juli.
Juli melambaikan tangan sembari senyum, namun tak terbalas. Ina pergi begitu saja, Ia sedang mencari makanan kesukaannya karena tanpa itu Ina tidak akan bisa bekerja dengan tenang.
Sementara Ina keluar, Juli hanya melihat kemana perginya Ina. Lalu melanjutkan ke ruang kerja. Ketika berjalan ia justru menatap Aurora dengan tebar pesona. Wanita itu geli melihat tindakan Juli, ia membuang wajah ke samping sementara mulutnya menggerutu.
Sekitar 20 menit berlalu, Ina kembali dengan bungkusan hitam, di dalamnya terdapat dua kotak ampyang. Ia duduk di samping Aurora. Sementara, di depan melihat Juli tengah berjalan bolak-balik seperti orang sibuk. Akibat kelakukan Juli hingga Ina angkat bicara soal laki-laki itu. Ia menceritakan kejadian barusan, Ina pun sungguh tak menyukai dengan pria itu.
Apa yang terjadi?
"Cowok itu bikin pemandangan jelek."
"Namanya Juli, tapi aku juga tidak terlalu suka, aneh sih kayaknya," Aurora melihat sebentar Juli sedang berbicara dengan karyawan lain.
Tiba-tiba wajah ina berseri.
"Nah, ini aku suka!"
Kalimat Ina tinggi sambil melirik Aurora. Terlintas Aran berjalan sambil membawa keyboard rusak. Aurora memanjangkan leher, menjadikan Aran sebagai objek pemandangannya.
Kretak-kretuk!
Ina mengunyah makanan yang terdapat kacang. Sembari mulut mengunyah, tangannya sibuk mengetik enam digit angka di jendela kerja pengolah angka. Aran menghilang terhalang oleh pintu, Aurora tampil seperti orang gila, senyumannya tanpa sebab makin membuat Ina risih.
"Heh! Awas gila." Ina menyentuh lengan Aurora.
Di ruang kerja Aran, Ia membuka keyboard, lalu memeriksa kerusakan, namun tak menemukan ada kerusakan di dalamnya. Justru matanya tertuju pada kabel keyboard yang terkelupas. Kemudian merapikan kabel tersebut. Setelah memberi sentuhan dengan melapisi lakban hitam, tak berapa lama Aran kembali mengantarkan keyboard di salah satu karyawan yang mengharuskan melewati depan meja kerja Aurora.
Usai mengantarkan alat itu, ia bertemu dengan Aurora tepat di depan mata. Aurora baru saja fotocopy lembaran kertas berukuran F4. Awalnya bertatap muka justru terlihat canggung, mereka hendak pergi begitu saja. Namun, tiba-tiba ketika mereka sudah berlawanan arah, Aurora balik badan dan melontarkan kalimat.
"Aran, mau gak makan siang sama aku?" Aurora menggigit bibir. Mendengar kalimat itu, pria itu berhenti lalu menoleh. Aran lemparkan senyuman lalu membalas dengan kalimat penolakan.
"Maaf, kayaknya aku sibuk deh, lain waktu aja ya." Aran pergi.
"Waduh, dia menolak wanita cantik, karma kali ya?" Celetuk Ina tiba-tiba mendekat.
Mendengar kalimat itu membuat Aurora berang, ia duduk di kursi sambil melipat tangan. Sontak Ina sadar kalimatnya membuat Aurora tak nyaman bak disiram air comberan.
Dari jauh Juli memperhatikan aktivitas mereka sejak Aran mengantarkan keyboard. Ia bersandar di dinding dengan senyum jahat. Kemudian salah satu karyawan menyadarkan Juli.
"Mas, ngapain berdiri di situ, bukannya kerja?" Celoteh karyawan bertubuh besar brewokan. Juli langsung sadar dan bergegas pergi, Sebelum pergi sempat menatap sebentar ke arah Aurora yang masih duduk.
Juli bertemu dengan Johar, ketika bertatap muka, Juli bereaksi dengan melontarkan kata-kata indah. Ia mengatakan bahwa dirinya akan bekerja keras dan meningkat hasil pendapatan bulan ini.
"Saya akan berusaha meningkatkan pendapatan perusahaan ini Pak."
"Bagus, semangat seperti inilah yang dibutuhkan oleh perusahaan ini, semoga berhasil." Johar pergi. Sementara Juli masuk ke ruang kerja.
Juli duduk seraya memperlihatkan wajah cemas, ia mengelus-elus cincin permata warna merah yang melingkar di jari manis sebelah kanan. Tak berapa lama dia membuka media sosial, memasukan nama Aurora di mesin pencarian Facebook. Juli mengklik akun yang bernama Aurora, di akun tersebut menampilkan beberapa gambar Aurora sedang berpose dengan manja.
Satu satu foto tersebut discroll ke bawah, sejumlah foto Aurora kemudian didownload oleh Juli. Sebanyak 32 foto berhasil Juli amankan di komputer kerjanya. Kemudian membuat folder baru bernama 'Sayangku' yang disimpan di tempat berkas-berkas kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalur Pelet
Horor"Kamu tidak perlu menggunakan cara ini karena aku sebenarnya juga suka sama kamu Aurora!" Aurora terpaksa menggunakan ajian Jaran Goyang untuk mendapatkan Aran, namun tindakannya justru membawa petaka hingga melukai dirinya sendiri. Selain itu Juli...