Nyi Pingit

27 1 0
                                    


Aurora tampak gelisah, ia berjalan bolak-balik sembari menopang dagu. Tingkah Aurora tiba-tiba berubah seakan ia telah menemukan ide cemerlang. Perempuan itu mengambil ponsel.

"Halo."

"Sayang aku punya ide gimana caranya bisa nemuin Ina," ungkap Aurora.

"Gimana-gimana?"

"Kamu ke sini ya, nanti aku jelasin."

Aurora menoleh ke jendela sebentar. Tangannya bermain seperti menggigil. Ia berdiri kemudian ganti pakaian, Usai itu Aurora membuka alat make up.

Aurora terlihat buru-buru hingga ia tak sadar lipstik melintasi pembatas bibir. Ia keluar menuju pintu depan. Ia berdiri di depan sesekali wajahnya tolah-toleh, sementara tangannya menenteng helm. Tak berapa lama terdengar suara motor.

"Hai."

"Hai." Aurora membalas.

"Ya udah kita langsung berangkat," kata Aurora sambil memakai helm.

"Kemana?"

"Ke rumah dukun!"

"Dukun? Sayang, ngapain lagi ke dukun lagi?" Aran justru turun dari motor dengan wajah shock.

"Tanya keberadaan Ina. Siapa tau di tau dengan segala ilmunya itu," kata Aurora.

"Haduh, dukun lagi, dukun lagi," suara Aran mengeluh.

"Tunggu!"

Tingkah Aran membuat Aurora bingung. "Tisu!" Aran meminta tisu pada Aurora. Tak lama Aurora mengeluarkan tisu dari tas. Wajah Aurora masih bingung, melihat Aran memperhatikan wajahnya.

"Kalo mau pergi jangan buru-buru dong, lipstiknya melewati pembatas nih," ucap Aran sambil menghapus jejak lipstik seperti coretan.

"Hehehe... Maaf ya, jadi jelek ya?"

"Nah, udah. Gini kan syantik pacarku," kata Aran merayu. Aurora hanya tebar senyuman malu sembari menepuk badan Aran.

Tak lama mereka pun melesat menuju ke rumah dukun yang dipercaya Aurora. Wanita itu cukup tenang. Namun, Aran tidak begitu yakin, sesekali ia menatap spion melihat wajah cantik Aurora. Setelah sampai di depan rumah. Mereka berdiri sebentar melihat pemandangan rumah si dukun. Aran yang merasa asing dengan tempat tersebut malah celingukan.

"Kamu yakin dengan dukun ini?"

"Yakin."

Aurora melangkah menuju gerbang utama. Tak berapa lama muncul wajah datar. Melihat penampakan tersebut Aran langsung berkomentar.

"Dia dukunnya? Datar amat mukanya kaya lapangan futsal."

"Bukan, dukunnya cewek."

"Cewek? Cantik gak?" Pertanyaan itu tidak dijawab, ia balik badan, melototi kemudian menampar Aran.

Plak!

"Jangan coba-coba ganjen ya, nanti aku suruh dia santet kamu biar hamil duren," katanya geram.

"Wah!"

Aurora kembali melanjutkan langkahnya ke dalam. Aran malah bengong di tempat. Tangan menyentuh pipi yang terlihat memerah. Si muka datar muncul di depan Aran lalu berhenti.

"Hahaha!"

Pria aneh itu ketawa lebar melihat tingkah Aran barusan. Usai itu muka datar berhenti ketawa, ia kembali ke ke ekspresi semula lalu masuk pula.

"Bisa ketawa juga?" Aran mengikuti dari belakang.

Di suatu ruangan, Aran dan Aurora berhadapan dengan Nyi Pingit. Aran heran melihat wanita itu sedang bermain ponsel.

"Dukun milenial, modern, tapi ngomong-ngomong cantik juga," bisik Aran.

Kalimat Aran membuat Aurora geram, ia menatap Aran tajam dengan penuh amarah. Wajah Aurora cemberut lalu berkata keras.

"Nyi, tolong buat si otong dia biar gak bisa berdiri lagi. Biar tau rasanya hilang harga diri sebagai cowok."

Aran melotot, lalu menutup mulut Aurora. Aran mendekatkan mulutnya lalu berbisik lebih jelas. "Aku sayang kamu, masa cemburu sama dukun." Aran lalu kembali duduk.

"Heh, kalo mau mesra-mesraan jangan di sini," bentak Nyi Pingit.

"Maaf Nyi, kami kelepasan," sahut Aurora.

"Ya sudah, apa mau kalian?" Dukun wanita itu mematikan HP dan meletakkan di bawah kolong meja.

"Jadi gini, saya punya teman namanya Ina, Dia hilang sudah beberapa hari ini. Terakhir saya lihat dia pergi sendirian. Sepertinya dia dibunuh karena saya nemuin darah di tempat dia terakhir. Tetapi sampai sekarang dia menghilang."

"Setelah secara sengaja membuang ajian terhebatku, sekarang kau memintaku lagi," sindir Nyi Pingit. Aurora hanya diam dan memandangi Aran yang terlihat anteng.

"Baiklah, sebentar saya cek dulu." Nyi Pingit memejamkan mata. Aran melongo melihat aksi dukun wanita itu. Aurora menepuk pundak Aran yang bereaksi berlebihan.

"Apakah tempat terakhir temanmu di rumah penuh pohon-pohon dan hutan?"

"Betul," jawab Aurora singkat.

"Sebelumnya kamu melihat ada seorang laki-laki, apa betul?"

"Betul, namanya Juli."

Tak lama Nyi Pingit membuka mata kemudian tersenyum sambil menaburkan menyan. Seketika itu ruangan tersebut penuh dengan asap dan bau menyengat.

Uhuk!

Aran batuk tak tahan dengan bau asap tersebut. Ia menutup mulut dan hidung dengan kaos yang dia pakai. Nyi Pingit menatap sinis kemudian lontarkan informasi.

"Tampaknya dia masih hidup, tapi bukan bersama pria yang kau lihat. Ia berada di rumah hijau tak jauh dari tempat terakhir yang kamu lihat."

"Yang bener Nyi?"

"Ya, itu menurut penglihatan saya, percaya tidak percaya itu urusanmu," jawabnya gampang. Nyi Pingit mengambil ponsel dan fokus di layar 7 inch tersebut.

"Maaf Nyi, bisa kasih tau jalannya atau petunjuknya biar kami mudah mencarinya," cetus Aran tiba-tiba seakan tanpa dosa. Nyi Pingit menatap Aran berang, "Heh, itu sudah saya kasih tau, kurang apa lagi?"

"Ya kalo cuma rumah hijau. Di dunia ini banyak rumah hijau. Kalo jelas alamatnya kan bisa kita cari pake google map," kata Aran polos.

"Kamu pikir aku Tuhan?"

Nyi Pingit membuang HP lalu mendekatkan wajahnya ke Aran. Aurora merasa bersalah lalu menutup. "Husss Kamu ngomong apa sih? Mending diam aja," kata Aurora lirih.

"Maafkan pacar saya Nyi!"

"Saya ini dukun, bukan Tuhan yang selalu tau dengan segala hal. Saya dapat klue hanya seperti itu. Sudah cari saja apa yang saya katakan, usaha jangan main instan."

Penjelasan Nyi Pingit membuat keduanya bungkam. Nyi Pingit menghela nafas lalu mengusir mereka pergi. "Gak minta bayaran Nyi?" Aran ajukan pertanyaan.

"Gak usah, saya lagi gak mood cari duit, sudah pergi sana!"

Usai itu Aurora menarik tangan Aran keluar, sementara Nyi Pingit meraba-raba mencari ponsel. Di luar Aurora memarahi Aran yang bertingkah aneh yang membuat Aurora malu di depan Nyi Pingit.

"Kamu tuh ya kelewatan, gak sopan lagi. Kok kamu jadi gini sih?" Aurora heran.

"Ya maaf, aku cuma gak tau. Ya setau aku dukun bisa tau segalanya kaya Tuhan yang bisa mengetahui masa depan, kan aku baru pertama kali ke sini."

"Dasar kamu ya. Gak ada dukun yang bisa melihat masa depan, itu hanya ramalan. Dan ramalan itu belum tentu kebenarannya," jelas Aurora kesal.

"Kalo kamu pakai ilmu pemikat kenapa?"

"Karena aku udah gak percaya diri." Aurora melipat tangan balik badan.

"Ya aku paham."

Aran menghampiri Aurora lalu memeluknya. Dekapan hangat dari kekasihnya tersebut membuat Aurora nyaman. "Maafin aku ya!" Aran mengelus kepala Aurora yang terlihat menikmati.

Jalur PeletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang