Siapa Sosok Itu?

29 1 0
                                    


Juli bergerak pelan, matanya sayup-sayup memperhatikan waktu pada layar smartphone. Juli melepas cincin lalu meletakkan di meja, Kemudian ia kembali fokus pada HP. Juli terkejut ketika melihat tulisan di layar benda elektronik tersebut.

"Minggu, 26 April 2014."

Padahal terakhir kali ia ingat bahwa sebelum ia tidur masih hari Jumat, 24 April 2014.

"Bujug! Gua tidur ampe dua hari," serunya.

Juli mengucek mata lalu menaruh HP di meja, ia berdiri lalu mengambil handuk, ia membersihkan badan, bau badan bagaikan racun jika ia berendam di kolam ikan pastilah akan mati mengapung. Usai membersihkan badan, Juli masak mie instan di dapur, setelah mengisi perut Juli sempat berpikir yang terjadi beberapa terakhir belakangan ini.

"Kenapa cincin itu pecah dan selalu ketika menatap Aurora kepalaku pusing?"

Juli mengambil segelas air putih. Ia minum seraya memperlihatkan wajah bingung. Ia kembali duduk dan memperhatikan bekas cincin di jari manisnya. Tak lama ia melihat keluar dari jendela, terlihat wajah sang rembulan masih bersinar. Juni menutup jendela kembali, ia mematikan semua lampu lalu menata tempat tidur, Juli kembali tidur.

Di rumah Aran, Darwis duduk di depan sambil menikmati secangkir kopi. Aran muncul dan merapat di samping Darwis.

"Yah, Aran alami kejadian aneh yang belum pernah Aran alami. Apa mungkin ada kaitannya dengan kakek?"

"Hah maksud kamu? Coba ceritakan kejadiannya." Darwis sedikit penasaran.

"Jadi gini, semalam Aran sama cewek namanya Aurora, pas kita lagi berdua, tiba-tiba Aran kaya ada yang dorong setelah itu gak sadar lagi. Kata temen Aran, Aran dan Aurora mengalami hal aneh, katanya sih kelakukan, suara dan tatapan wajah beda. Aran juga gak sadar itu."

"Apa? Ayo lanjutin," minta Darwis.

"Aran cekik Aurora. Tapi, Aran gak sadar kok, kalo sadar ngapain coba la dia cewek cantik, Aran juga suka sama dia," ungkap Aran. "Aran sempat dengar raungan harimau gak jelas sih," tambah Aran. Penjelasan Aran membuat Darwis diam, ia berpikir sejenak. Tak lama ia menoleh pada anaknya.

"Ayah kurang yakin, jika itu adalah penjaga warisan dari kakekmu," lafal Darwis.

"Penjaga?"

"Iya, Ayah pernah cerita sama kamu kan, kalo kakek itu dulu getol banget masalah begituan, karena hal semacam itu bisa turun ke anak kalo gak ke cucunya. Tapi Ayah gak tau sama sekali soal itu," terang Darwis.

"Tapi kenapa dia marah pada sosok ya mungkin itu bukan Aurora? Mungkin sosok lain, sampai ia mengambil kendali tubuh Aran dan mencelakai tubuh Aurora."

"Mustahil!"

"Kenapa?" Aran mengerutkan wajah.

"Bisa jadi, makhluk itu punya niat jahat atau semacamnya, hingga penjaga kamu tidak terima. Mungkin saja, asumsi Ayah aja itu." Darwis mengambil kopi lalu meminumnya. "Kamu harus bicara dengan cewek itu, siapa namanya? Aurora ya itu, siapa tau dia juga menyembunyikan sesuatu," saran Darwis.

"Baik Ayah," sahut Aran kemudian dia masuk ke dalam. Di kamar Aran mengambil ponsel, ia melakukan panggilan kepada Ina.

"Halo!"

"Halo Ina, ini gua Aran, gua mau ngomong sama lu," ucap Aran. "Ya udah ngomong aja," tutur Ina spontan.

"Gak di di telpon, gua pengen kita ketemu, ini masalah semalam penting." Aran terlihat cemas. "Hem.. oke tapi gua yang nentuin tempatnya. Dateng ke rumah gua sekarang," tandas Ina.

"Oke."

Hanya hitungan menit Aran sudah sampai di halaman rumah Ina. Mereka duduk berdekatan dengan di tengah-tengah terdapat meja sebagai pembatas.

"Sepertinya ada sesuatu yang terjadi gua sama Aurora."

"Maksudnya? Emang semalam lu sama Aurora aneh kan." Ina belum paham. Aran melihat area sekitar dan memastikan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.


"Waktu kejadian malam itu, itu bukan gua. Itu pendamping yang mungkiran warisan dari kakek gua," ungkap Aran.

"Maksudnya pendamping?"

"Jadi gini, kakek gua dulu seorang yang suka ngelakuin semacam puasa mutih, tapa, dan pokoknya ngerti soal tirakat gitu dah." Aran meremas kepalan tangan.

"Dan menurutu bokap gua, pada saat itu pendamping itu gak terima ada sosok yang mencoba mengganggu gua. Sosok itu masuk ke tubuh Aurora atau Aurora sendiri menyembunyikan sesuatu," kalimat Aran membuka pikiran Ina.

"Sesuatu? Aurora sempat bilang katanya dia juga punya rahasia gitu sih, tapi masa soal yang aneh-aneh gitu, apa lagi jaman udah modern masa dia bisa gitu?"

"Maksud lu?"

"Ya masa Aurora pasang susuk atau pengasihan gitu, kalo pesugihan jelas gak mungkin, dia kerja," jawab Ina.

"Soalnya beberapa waktu lalu ia sempat aneh, dia bohong sama orang tuanya, katanya mau jalan sama gua tapi gua sendiri juga gak tau, dia juga keceplosan puasa gitu tapi pas hari Rabu, dan alasannya bayar hutang. Setahu aku dia puasa banyak bolongnya, tapi dia bilang cuma tujuh hari. Gak biasa banget pokoknya," papar Ina.

"Ya kita harus cari tau Na, lu gak pengen kejadian tempo hari terulang lagi. Kita sama-sama gak sadar waktu itu. Gua kan udah cerita sama lu, sekarang Aurora." Aran melirik Ina sebentar. Ina tidak membalas ucapan Aran, gerak-geriknya terlihat aneh hingga Aran penasaran.

"Lu kenapa?" Aran balik badan.

"Gak apa-apa. Kayaknya pala gua pusing, gua masuk ke dalem," ucap Ina mengusir halus. "Oh, ya udah kalo gitu gua pamit pulang sekarang." Aran melangkah pergi. Tak berapa lama Ina menyelinap masuk. Ketika Ina pergi Aran sempat curiga dengan Ina yang tiba aneh-aneh setelah ingin mencari informasi soal Aurora.

"Dia kenapa sih? Kok malah dia yang aneh," katanya sambil menggunakan helm.

Usai itu Aran tancap gas. Sementara Ina mengintip dari balik jendela, ia terlihat tertekan sambil meneteskan air mata. Tak berapa lama ia duduk di ranjang sambil memperkeras tangisan, suara pilek beberapa kali terdengar. Kebetulan Ibu Ina, Sulis muncul dan memperhatikan anaknya sedang berlinang. Ia kaget kemudian dengan gercep sang ibu menemui anaknya.

"Sayang kamu kenapa kok nangis?" Ibunya duduk sambil memegang pundak Ina.

"Gak apa-apa Bu, Ina cuma gak tega liat Aurora sakit." Ina berkelit.

"Lho, sakit kan sudah lumrah Ina, setiap manusia pasti sakit, kamu juga pernah sakit kan?"

"Iya Bu." Ina melanjutkan tangisan yang mulai mereda di pangkuan sang ibu. Sedangkan ibunya membelai rambut Ina yang terurai hitam lebat dan panjang.

Jalur PeletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang