Panggilan Tak Disangka-sangka

23 1 0
                                    


Di ruangan Ki Anom, Juli sedang menghadap. Juli terlihat anteng menunggu orang tua itu membuka mata. Tercium aroma menyan, asap telah memenuhi ruangan tersebut, wajah Juli terlihat penuh harap.

"Aku akan memberikan kamu sesuatu yang memang sangat kamu butuhkan."

Ki Anom membuka mata kemudian mengelus-elus janggut. Orang tua ini tampak senyum sambil memperhatikan Juli yang kini tengah menghadapi masalah. "Tapi kamu harus menerima resikonya, jika target sudah kena, maka dia akan segera gila jika tidak segera kamu nikahi," ungkap Ki Anom. Juli memperhatikan dengan serius. Kemudian Juli menyetujui dan bertekad akan menerima apa pun resikonya.

"Saya siap menerima apa pun resikonya Mbah."

"Kekuatan dari pusaka ini lebih ampuh dari cincin yang telah rusak itu," tambah Ki Anom.

"Kamu harus berhati-hati dalam menggunakannya karena energinya sangat besar, jika kamu ceroboh petaka besar siap menimpamu." Ki Anom memperingatkan.

Kemudian Ki Anom mengeluar benda kuning, keris kecil berbentuk Semar lengkap dengan kerangkanya. Ia memberikan benda itu. Juli memperhatikan benda yang terasa asing baginya. Ketika membuka benda itu ia merasakan energi seperti diterpa angin hingga mata Juli kedip-kedip.

"Saya merasakannya Mbah."

Juli menatap Ki Anom yang dari tadi memperhatikan tingkah Juli yang kegirangan setelah menerima pemberian darinya. Juli melebarkan mulut, iya percaya diri akan mampu melancarkan rencananya. Usai menerima benda itu Juli undur diri meninggalkan kediaman Ki Anom.

Aran baru saja keluar dari ruangan tempat fotocopy. Ia melintas di depan Aurora, wanita itu menatapnya sedangkan Aran melambaikan tangan namun langkahnya terus berjalan. Aurora memberikan kecupan tangan lalu memberikan ke arah Aran, pacarnya itu hanya senyum sambil menoleh ke belakang.

Tuk!

Aran membentur pintu. Kepalanya ia usel-usel sementara ia jadi pusat perhatian orang dan ditertawakan. Aurora juga terlihat ketawa geli melihat tingkah pacarnya itu. Merasa malu Aran langsung menuju meja kerja. Baru duduk sebentar dan sesekali mengusap bagian yang sedikit benjol, muncul Angku melapor.

"Mas, kok Mbak Ina belum ketemu ya?" Muka Angku cemberut kemudian duduk di sebelah Aran. Ia tak merespon ucapan dari Angku, Aran sibuk menyentuh kepalanya sambil meringis.

"Mas!" Angku menepuk paha Aran hingga pemuda itu kaget.

"Apa sih Angku, kepala gua benjut nih gak liat?" Aran menatap Angku jengkel.

"Saya gak tau mas, emang kenapa lho?" Angku memperhatikan kepala Aran.

"Dicium pintu, puas?"

Angku diam memangku kedua tangan. Ia hanya memperhatikan dengan penuh rasa bersalah. Melihat wajah jelek Angku, Aran menarik nafas panjang dan merespon pertanyaan Angku.

"Polisi masih menangani kasus ini Ang, lu tenang aja, kemarin gua sama Aurora juga cari dia dekat Ina ilang," ungkap Aran.

"Kok gak ngajak saya Mas? Saya mau lho diajak susah."

Aran malah menatap Angku aneh. "Yang ada kamu nyusahin," balas Aran.

"Ya meski pun saya begini, saya juga mau bantu orang apa lagi temen satu kantor," ucap Angku curhat.

"Saya kan sedih kalo Mbak Ina gak masuk kerja, apalagi udah beberapa hari ini, kantor ini jadi sepi," tambah Angku.

"Sepi gundulmu, liat seisi kantor penuh manusia gini," kata Aran nadanya sedikit keras.

"Marah-marah terus sampean ini, ya udah saya tak kembali ke belakang aja deh," tutur Angku cemberut.

"Ya udah sono!"

Aurora mengambil sejumlah kertas yang keluar dari mulut mesin fotocopy. Ia menatanya kemudian memasukan ke dalam map. Ia kembali ke meja kerja lalu mengambil satu lembar kertas di mejanya dan diletakkan di map tadi. Ia buru-buru ke ruangan Johar. Tak lama Aurora keluar dengan wajah lebih senang dari sebelumnya. Ketika ia duduk, terdengar nada dering, seseorang tengah menelepon dirinya dengan nomor baru.

"Halo!"

"Halo, ini Juli!"

Jalur PeletTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang