49...

66 5 5
                                    

Mereka sampai, Arin juga bangun di saat itu dengan keadaan lelah.
Kakinya kesemutan dan pantatnya terasa panas.

Ia juga masih mengantuk. Bahkan di dalam lift ia masih terlihat seperti orang yang tidur dengan mata yang setengah terbuka.

Evans hanya tersenyum melihat raut wajah Arin yang biasanya ceria atau galak, kini terlihat seperti wanita lemah yang menggemaskan.

"Barang-barang mu belum sepenuhnya di pindahkan"
Kata Evans ketika lift terbuka.

Arin mengerutkan dahi lantas menatap ke arah angka lift.
Lantai paling atas?

"Aku tidak kembali ke apartemen ku?"
Tanyanya heran? Apakah mereka menyepakati untuk tinggal satu atap sebelumnya?

"Tidak, kau istriku. Seorang istri harus tinggal bersama suaminya"

Arin mengangguk karena ucapan Evans benar, jadi ia akan apakan apartemen di bawah itu? Mungkin bisa ia gunakan untuk tempat menyendiri. Atau akan ia jual saja jika sudah tidak di perlukan.

Lagipula penthouse milik suaminya sangat mewah dan nyaman. Ia akan senang tinggal di sana.
Arin tersenyum penuh arti kepada Evans. Dalam analisis jika ia menjadi dua kali lipat lebih kaya dari sebelumnya.
Atau tiga kali lipat?

Memikirkan mansion yang di berikan padanya berharga jutaan dollar ia semakin senang. Ia juga tidak mengantuk sekarang.

"Kenapa kamu tersenyum aneh begitu? Apa yang kamu pikirkan?"

Arin tetap tersenyum, kebahagiaan yang tiada tara. Sepertinya akan menyenangkan jika ia semakin memikirkannya.

Evans menggeleng heran melihat kelakuan Arin yang berubah sambil berjalan duluan.

Baru saja masuk Arin sedikit terkejut melihat ada pajangan foto pernikahan mereka di ruang tamu.

Foto yang cukup besar, Arin mendekat untuk melihat betapa cantiknya ia di foto itu.

"Siapa yang memasang ini?"

Evans sigap sekali dalam hal kecil seperti itu.

"Riko dan yang lainnya"
Jawab Evans sambil mengambil minum. Pria itu terlihat lelah, ia duduk sambil memijat pergelangan tangannya, juga lengannya.

'Apa tangannya sakit?'
Batin Arin.

"Kamu gak mau memperkenalkan tempat ini?"

"Jika mau lihat-lihat silahkan saja. Ini rumah mu juga sekarang"

Arin berdecak, ia malas. Akan ia lakukan nanti saja. Wanita itu lantas mendekat dan duduk di samping Evans. Ia meraih botol minum milik pria itu dan minum dari sana.

"Ada dua kamar utama dan kolam renang pribadi ada di sebelah sana"
Kata Evans sambil menunjuk ke arah luar.

Arin menoleh dan bisa melihat kolam dari kaca yang terbuka.

"Ada lift pribadi?!"
Harusnya Arin tidak perlu kaget.

"Setiap penthouse punya lift pribadi honey"

Arin menatap geli Evans, panggilan itu lebih menggelikan. Serius, rasanya seperti ada rayap membangun sarang di perutnya.

"Terus kenapa kamu selalu pake lift umum?"

Jujur saja Arin dulu selalu terganggu jika berada satu lift dengan pria yang sekarang menjadi suaminya.
Mengingat kembali, dulu Arin masih waspada pada penjahat di depannya.

"Well, jika menaiki lift umum akan ada kemungkinan aku bisa bertemu dengan mu, honey"

Arin mendengus, pria ini memang penuh akal bulus, juga modus murahan.
Arin berharap wajahnya tidak merah meskipun mengeklaim itu akal bulus wanita mana yang tidak terpesona.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang