"Yeri...." Nafas hangat Jimin menyapa wajah Yeri yang dingin dan menyadarkannya kembali.
Yeri menggeleng dengan dua mata yang sama-sama saling menatap.
"Aku boleh melakukannya lagi?" tanya Jimin dengan suara yang semakin rendah dan menatap mata da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
- Happy Reading -
Jangan lupa follow > vote > comment
Jimin Pov
"Sayang apa pekerjaanmu masih banyak?" Aku mendekati meja Yena. Kemudian berdiri di belakang kursi tempat Yena duduk dan ikut memperhatikan layar yang sejak tadi kekasihnya ini tatap. "Aku lapar."
Yena menghentikan jari-jarinya yang menari di atas keyboard, lalu memutar sedikit tubuhnya membuat wajahnya berada tepat di bawahku.
"Mau makan apa siang ini tuan Park?" tanya Yena yang sudah mendongak menatapku dari bawah.
Aku paling tidak bisa menatap Yena begini. Aku sungguh tergoda hanya karena wajahnya menengadah ke atas.
Seksi sekali.
"Sssshh...." Aku membasahi bibirku dengan lidah, "Kalau makan gadis cantik di depanku ini saja bagaimana?" Seketika aku meringis karena mendapatkan pukulan di perutku.
"Jangan macam-macam Jimin," Yena dengan cepat menekan tombol off setelah sebelumnya menyimpan semua yang dia kerjakan.
"Sayang, weekend berlibur yaaa" ajakku sambil menggandeng tangan Yena dengan lembut menuju mobilku.
"Tidak bisa sayang, maaf."
Aku menghentikan langkahku hingga Yena ikut berhenti. "Kenapa?" Yena bertanya dengan wajah polosnya. Dia melihatku dengan sedikit khawatir.
"Ini sudah kesekian juta kali aku mengajak berlibur tapi selalu kau tolak," aku mendengus kesal mendengar jawaban Yena yang itu lagi itu lagi.
Tanpa ku gandeng lagi Yena mengikuti langkahku dari belakang.
"Jimin, jangan marah." Yena berusaha menggapai lenganku. "Bagaimana kalau hari lain? Kita bisa ambil cuti kan?"
"Tapi aku maunya weekend. Lagipula aneh, weekend tidak bisa, tapi malah mengajak hari lain." Aku menepis pelan genggamannya pada lenganku. Yena tidak menyerah, dia berlari kecil mengejarku kemudian menggenggam kelima jariku.
Begitu sampai di dalam mobil kulihat Yena masih terus memperhatikanku. Begitu tanganku hendak menurunkan rem, Yena meletakkan telapak tangannya persis di atas tanganku.
"Sayang—" tangan Yena bergerak menarik wajahku hingga menghadap padanya. "—maaf."
Selalu begini. Aku selalu dibuat luluh oleh Yena hanya dengan tatapannya. Aku tidak pernah kuat marah terlalu lama dengannya.
Sekian lama berpacaran dengan Yena, tak pernah sekalipun aku dan dia pergi atau liburan saat weekend. Selalu saja ada alasan untuk Yena menolakku.
"Aku ingin mengunjungi makam ibu," lalu alasan berikutnya, "Aku sudah terlanjur janji dengan teman." Lalu weekend berikutnya, "Aku akan berkunjung ke rumah keluarga mendiang ibu di Jepang." Dan banyak alasan-alasan lain yang Yena buat. Lucunya, ketika aku menawarkan diri untuk mengantar dia selalu menolak.