.
.
.
"Aku hanya tidak ingin salah paham ini semakin panjang," Yeri memutar cup plastik yang ada di tangannya. Sejak tadi cairan berwarna cokelat itu bahkan tidak berkurang isinya. Yeri hanya bermain-main dengan gelasnya. "Aku minta maaf kalau–"
"Kau tidak merasa kalau sedang mempermainkan perasaanku?" Pertanyaan terpedas yang Yeri dengar setelah tuduhan dari Yena.
Yeri langsung meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar. Pandangannya lurus menatap In Jae yang juga sedang menatapnya dengan lembut tapi Yeri tau kelembutan itu diselimuti amarah. "Siapa yang kau maksud memainkan perasaanmu? Aku?" Yeri menunjuk dirinya sendiri. "Jangan sampai ucapan Alice tentangmu itu benar Jae ..."
In Jae menghabiskan sisa kopinya lalu meremas cup kosong itu dan melemparnya ke sembarang arah. "Memangnya ada yang salah dengan kalimatku?" In Jae menengadah menghadapkan wajahnya pada langit biru dan membiarkannya tersapu angin. In Jae membuang napasnya berkali-kali namun dadanya tetap saja terasa sesak. Suasana taman yang sepi terasa berisik di kepalanya. Seolah sedang ribut menertawakan dirinya.
Gadis yang duduk di depannya kini sudah menjadi milik orang lain. Bukan lagi gadis yang bisa ia harapkan. "Bukankah dia pernah menyakitimu?" In Jae sepertinya sudah kehilangan akal untuk mempertahankan gadis yang ia sukai sejak lama.
Yeri mengerutkan keningnya. "Aku yang bodoh sepertinya. Tidak bisa mengerti ucapanmu."
"Bukan begitu maksudku–"
"Jadi benar kata Alice. Berbicara denganmu memang sangat sulit dan tidak pernah berakhir baik." Yeri menegakkan tubuhnya lantas berdiri, "Aku tidak menyesal mengenalmu, tapi aku menyesal terlambat berbicara denganmu."
Saat itu juga Yeri meninggalkan In Jae. Menurutnya sudah cukup pertemuan mereka sore ini. Mungkin memang hubungan sudah tidak bisa dilanjutkan lagi walaupun sebagai teman. Perasaan In Jae padanya terlalu dalam dan sulit sekali untuk keluar dari dasar.
Langkah Yeri kian menjauh. Ia tidak lagi menoleh ke belakang. Ia sudah yakin untuk melepaskan satu orang lagi di hidupnya setelah Yena. Hati Yeri hancur sekali lagi. Ia harus kehilangan satu teman lagi.
Yeri menginjak pedal gas dalam-dalam. Jalanan sore yang entah kenapa hari ini terlihat sepi. Seolah semesta tau bahwa Yeri baru saja kehilangan.
Yeri menutup jendelanya rapat-rapat. Kali ini ia mengendarai mobil milik Jimin sambil menangis. Kehilangan itu menyakitkan sekalipun itu seorang teman.
Mobil Yeri melaju semakin cepat. Mengikis jarak menjadi lebih singkat hingga Yeri sampai di tempat tujuan.
Hari sudah malam saat Yeri sampai di tempat yang ia tuju. Perjalanan berjam-jam tidak membuat Yeri lantas meeasa lelah. Ia justru berjalan-jalan di pinggiran pantai dengan kaki telanjang.
Yeri mengeratkan jaketnya lalu menahannya dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada.
Angin pantai terbilang kencang tapi tidak membuat Yeri menyerah untuk mengitari jalanan sepanjang bibir pantai.
Beberapa kali Yeri meringis karena kakinya menginjak pecahan batu atau kerang. Yeri hanya melewatinya begitu saja atau kadang ia tendang sampai masuk ke dalam air.
Di dalam kepala Yeri begitu banyak hal yang berputar.
"Jadi ini wajah ibu?" tanya Yeri pada ayahnya.
Sang ayah tersenyum lalu membelai kepala Yeri dengan lembut. "Cantik dan manis sekali seperti Yeri."
"Aku akan menyimpan ini sebagai kenang-kenangan."

KAMU SEDANG MEMBACA
YERI
Fanfiction"Yeri...." Nafas hangat Jimin menyapa wajah Yeri yang dingin dan menyadarkannya kembali. Yeri menggeleng dengan dua mata yang sama-sama saling menatap. "Aku boleh melakukannya lagi?" tanya Jimin dengan suara yang semakin rendah dan menatap mata da...