Toxic - 8

304 38 14
                                    

- Happy Reading -


🌞

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🌞

Udara pagi yang dingin membuat seseorang semakin mengeratkan selimutnya. "Eungh..." lenguhnya ketika kedua kakinya mengejang. Kemudian menarik selimutnya hingga membungkus seluruh tubuh kecuali kepalanya.

"Yeri, kau tidak ingin bangun?" sapa Yena yang sudah berada di depan jendela besar di kamar Yeri. Kedua mata Yeri memicing ketika Yena menarik tirai putihnya. Wajah bantalnya langsung disapa sinar matahari yang masuk tanpa permisi.

Bukan Yeri namanya jika tidak semakin menggulung tubuhnya. Menikmati sisa-sisa kehangatan yang sebentar lagi dia tinggalkan.

"Iya kak, sebentar lagi aku bangun."

"Mau pergi bersama? Ngomong-ngomong sampai sekarang aku belum tau kau bekerja dimana."

"Tidak kak, aku bisa pergi sendiri. Kapan-kapan saja pergi bersamanya," kata Yeri yang sudah duduk dengan merentangkan kedua tangannya.

Yeri menoleh ke kanan dan ke kiri, tangannya meraba ke bawah selimut dan ke bawah bantal mencari benda pintarnya. Beberapa saat setelah memeriksa ponselnya, bibirnya mengerucut kesal kemudian melempar ponselnya ke samping. Sepertinya Yeri sedang kesal karena sesuatu yang ditunggunya tidak juga datang.

"Huh! Apa dia sedang mempermainkanku?"

Yeri beranjak meninggalkan ranjangnya yang nyaman. Tangannya meraih bathrobe dengan kasar dan berlalu menuju kamar mandi.

"Seenaknya meminta nomer ponsel orang," gerutu Yeri.

Terhitung sudah hari ke empat Yeri menunggu pesan dari seseorang.

"Harusnya tidak perlu bertanya boleh mengirimi pesan atau tidak kalau ternyata tidak ingin mengirimi pesan," gumamnya kesal.

Pagi yang buruk untuk si cantik Yeri. Kalau saja kakinya buatan manusia mungkin sudah patah karena dihentak berkali-kali sejak setengah jam yang lalu.

"Taksi sialan!"

Kepalanya menengok ke kiri mencari penampakan taksi tapi sampai tiga puluh menit Yeri berdiri tidak ada satupun taksi yang lewat. Berkali-kali Yeri mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam tangannya bersamaan dengan decak kesal keluar dari bibir plumnya.

"Aku hampir terlambat," gerutu Yeri.

"Yeriiiii," teriakan yang sangat jauh namun Yeri dengar. Membuat Yeri menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang.

"Yeriiiiiii," teriakan itu semakin keras. Yeri memicingkan kedua matanya. Tidak terlihat wajah siapa tapi Yeri bisa melihat tangan seseorang disana sedang melambai.

Beberapa saat menatap ke depan, Yeri menyadari sesuatu. "Jimin?"

Karena Yeri tak kunjung menjawab, mobil hitam itu melaju pergi. Meninggalkan Yeri yang masih terpaku.

YERI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang