"Yeri...." Nafas hangat Jimin menyapa wajah Yeri yang dingin dan menyadarkannya kembali.
Yeri menggeleng dengan dua mata yang sama-sama saling menatap.
"Aku boleh melakukannya lagi?" tanya Jimin dengan suara yang semakin rendah dan menatap mata da...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kalau kau sudah tidak nyaman disini, kita bisa pulang," kata Jimin sambil memejamkan kedua matanya. Malam ini Jimin berakhir tiduran dengan nyaman di atas kedua paha Yeri.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Yeri memainkan helaian rambut Jimin yang berantakan. "Kau khawatir aku tidak nyaman dengan kehadiran teman-temanmu?" Jimin mengangguk.
Yeri tersenyum, "Tapi kalian benar-benar berteman kan?" gerakan jemari Yeri berhenti karena Jimin tiba-tiba mengangkat tubuhnya.
"Tentu saja. Jia hanya teman sekolahku. Kami hanya pernah dekat tapi hubungan kami tidak sejauh itu," Jimin kembali merebahkan punggungnya ketika Yeri mengangguk paham.
"Aku dengan In Jae juga begitu-"
"Begitu bagaimana maksudmu? Kenapa tiba-tiba?" Jimin sudah menegakkan punggungnya. Sekarang posisinya sudah duduk tegak menghadap Yeri. Menatap Yeri dengan begitu serius.
Yeri harus menarik napasnya dalam-dalam ketika mendapati raut wajah Jimin mulai berubah. "Ya aku dan In Jae juga sama sepertimu. Seperti hubunganmu dengan Jia. Hanya teman."
Kening Jimin mulai berkerut bahkan hampir menyatu. Tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Jadi ia mengulang lgi pertanyaannya.
"Bagaimana?"
Pertanyaan yang sengaja diulang itu membuat Yeri menghela napasnya terlampau berat. "Sudahlah-"
"Tidak! Jelaskan dulu. Bagaimana maksudnya?" Jimin membawa wajah cantik itu untuk kembali menatap dan fokus padanya. "Kenapa tiba-tiba jadi kesana? Kita tidak sedang membicarakan itu kan?"
"Kau selalu sensitif jika aku membahas tentang In Jae, aku jadi kesulitan."
Keduanya sudah berubah tegang. Masing-masing dengan egonya. Yeri yang selalu berusaha meyakinkan Jimin tentang pertemanan mereka yang murni dan Jimin yang tidak akan pernah percaya adanya kemurnian itu.
Malam yang hangat sudah berubah menjadi melelahkan. Perdebatan yang tidak akan pernah selesai.
"Pria itu menyatakan perasaannya padamu. Lalu kau sudah menjawabnya atau belum?" gelas kristal itu sudah terisi air putih dan Jimin belum meneguknya sama sekali. Ia begitu fokus menunggu Yeri menjawab pertanyaannya.
Sedangkan Yeri, ia menarik tubuhnya untuk bisa duduk bersandar di punggung ranjang. Menatap lurus dimana Jimin berdiri di ujung ranjang seraya memainkan gelasnya.
"Aku rasa tidak perlu ku jawab, dia juga sudah mengerti kalau aku sudah memiliki kekasih."
Jimin yang tidak setuju lantas meletakkan kembali gelasnya dengan kasar, "Apa itu artinya kau memberi kesempatan padanya?"
Dengan buru-buru Yeri turun dari ranjang lalu mendekati Jimin, "Sayang bukan begitu," Yeri melingkarkan kedua tangannya di pinggang kekasihnya, "Aku hanya ingin mengabaikannya saja. Sungguh." Yeri menempelkan kepalanya di punggung Jimin. Kedua tangannya masih saling mengait melingkar di atas perut.