51...

70 6 2
                                    


Ketika makan berlangsung mereka hanya diam. Waktu memang sudah mulai sore, matahari pasti akan bersembunyi tidak lama lagi.

Saat itu, seperti kebetulan saja tidak ada hal menarik untuk di jadikan bahan obrolan.

"Aku yang bakal cuci semuanya"
Kaya Arin karena ia yang duluan selesai makan. Evans sudah memasak jadi ia yang harus membersihkan juga mencucinya.

"Terimakasih ya udah masak, hahaha semakin terlihat saja kekurangan ku"
Arin ingin bersikap dia wanita yang mengerti dan tau diri.

Evans tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
Pria itu duduk di meja makan yang bersih dengan segelas air di sampingnya.
Padahal Arin sudah sangat sempurna di matanya, tak ada satu hal pun yang membuat dia kurang.

Setelah itu ada sebuah bel yang membuat Evans harus berdiri. Ia tahu siapa orang yang ada di sana.
Itu pasti Riko yang hendak mengantarkan uang.

Benar saja, Riko sangat pengertian bersikap sopan, meskipun ia tahu sandi untuk masuk ke dalam penthouse Evans, ia memilih untuk memencet bel karena tahu Arin kini tinggal di dalam sana.

"Terimakasih Riko, kau bisa pulang. Aku hanya akan di rumah untuk beberapa hari, mungkin"

"Baik, aku permisi"
Riko segera enyah dan Evans kembali ke meja makan.

"Siapa, Riko?"

"Dia membawa uang kash"
Evans meletakkan tas besar di atas meja.

Arin membalikkan badannya dan menatap tas itu.

"Apa kamu gak punya brangkas di sini huh?"
Tanya Arin, pria aneh ini.

"Tentu saja ada, tapi di kunci dan kuncinya ikut tenggelam"

Arin menepuk jidatnya. Payah, mana bisa ia membiarkan brangkas berisi barang berharga kehilangan kuncinya. Dan apakah Evans tidak pintar dengan menyimpan kunci cadangan.
Dan darimana uang sebanyak ini?
Bukankah semua kartunya ikut tenggelam?

"Kapan kamu mau membeli handphone?"

"Besok aja, apa aku bisa meminjam laptop mu?"

"Tentu, ayo ikut aku"

Pria itu berjalan ke ruang lain di lantai dua. Ada perpustakaan dengan pembatas kaca, mereka juga masih bisa melihat pemandangan kota yang luar biasa.

Ada ruangan kerja yang sangat besar nan nyaman di lengkapi dengan berbagai elektronik canggih.
Ada dua meja yang diletakkan saling berhadapan.

"Apa ini tempat biasanya kalian rapat?"
Tanya Arin penasaran, terlihat seperti itu karena ada banyak sekali laporan juga foto daerah yang di tempel di dinding. Seperti markas penjahat yang sangat elit.
Padahal itu hanya ruang kerja untuk Evans.

"Tidak, kita selalu rapat di bawah"
Balas Evans sambil membuka laptop.

"Terus kenapa ada dua meja?"

Evans melirik meja tersebut.
"Oh itu untuk mu, aku harap kamu tak masalah berada satu ruangan dengan ku saat bekerja"

Evans kemudian memberikan laptopnya pada Arin.

"Benarkah? Jadi aku boleh duduk di sini?"

Evans terkekeh.
"Of course honey"

Arin memang tidak bisa menghentikan Evans memangilnya dengan mesra begitu, terserah pria itu saja.
"Berati kamu duduk tepat di depanku? Kenapa? aku pikir orang seperti mu lebih suka bekerja sendiri di tempat yang sunyi agar bisa berkonsentrasi"

"Sayang, aku sudah bertahun-tahun sendirian dan aku bosan."

Jawabannya masuk akal, lagipula kenapa ia tidak mengencani wanita lain, padahal selama ini dia sendirian. Dan juga, wanita kaya, cantik dan terhormat banyak sekali yang mengincar Evans. Pria aneh, dia menyia-nyiakan kesempatan yang bagus.

On Business 21+ [ Arin & Evans ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang