11 - Masalahnya Hanya untuknya, Bukan untuk Dibebankan Kepada Orang Lain

31 7 0
                                    

Haknyeon menatap Ibunya yang tengah terbaring dengan banyak hal yang berkecambuk di pikirannya. Namun, semuanya bermuara kepada satu hal, penyesalan karena Haknyeon tidak belajar dari kejadian yang telah lampau. Seharusnya Haknyeon kembali ke Jeju begitu menyelesaikan pendidikan spesialisnya. Bekerja di rumah sakit yang ada di Jeju atau membuka praktik sendiri sehingga tidak ada hal yang buruk terjadi kepada Ibunya.

Haknyeon terlalu jumawa, berpikir Ibunya akan selalu sehat.

Seolah kehilangan Ayahnya saat berkuliah tidaklah membuat Haknyeon tersadar jika tidak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian.

"Haknyeon...?" suara panggila itu membuat lamunannya buyar dan menatap Ibunya yang sudah tersadar.

"Ada apa, Eomma? Apa Eomma membutuhkan sesuatu? Sebentar, aku memanggil perawat untuk mengabarkan kalau Eomma sudah sadar."

Namun, saat Haknyeon hendak beranjak, tangannya yang masih di genggaman Ibunya, diremas. Itu cukup untuk membuat Haknyeon menatap Ibunya yang menatapnya dengan khawatir. Padahal yang seharusnya memiliki tatapan tersebut adalah Haknyeon, tetapi Ibunya justru yang menampilkan ekspresi tersebut.

"Haknyeon, kenapa kamu ada di sini?" tanya Ibunya yang justru membuatnya mengernyit. "Bagaimana pekerjaanmu di Seoul? Seharusnya kamu bekerja, bukan berada di sini."

"Eomma...," ucap Haknyeon yang kemudian menggantungkan perkataannya karena tidak tahu harus memulai dari mana untuk menumpahkan semua emosinya, tetapi pada akhirnya dia berkata, "tidak apa-apa, Eomma. Ini hari Sabtu, jadi sekarang bukan jadwalku bekerja."

Kemudian, Haknyeon mengingat seharusnya hari ini dirinya bersama San, menghadiri pernikahan temannya San. Namun, Haknyeon nyata berada di Jeju dan merasa bersalah karena telepon San sengaja dia tidak hiraukan. Mungkin setelah ini San marah kepada Haknyeon dan tidak mau berbicara dengannya lagi.

Mungkin itu lebih baik, karena Haknyeon semalaman berpikir tentang banyak hal dan bermuara kepada satu hal. Keluarga lebih penting dari apa pun, jadi Haknyeon sudah memutuskan akan mengundurkan diri dari rumah sakit.

"Haknyeon...," lagi, panggilan dari Ibunya membuat lamunan Haknyeon buar dan menatap Ibunya, "aku tidak apa-apa. Setelah makan dan beristirahat di rumah, kamu kembali ke Seoul, ya."

"Tidak, aku tidak akan kembali, Eomma."

"Haknyeon...."

"Eomma, kenapa menyembunyikan dariku?" tanya Haknyeon yang membuat perempuan itu perlahan melepaskan tangannya dan mengalihkan pandangan ke arah lain. "Eomma, aku anakmu. Kenapa Eomma tidak memberitahukanku kalau mengidap diabetes?"

Melihat sikap Ibunya,Haknyeon hanya bisa menghela napas, mencoba mengerti meski tetap merasa kesal. Karena Ibunya selalu menyembunyikan banyak hal, merasa jika memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi akan merepotkan semua orang. Namun, sikap Ibunya yang seperti ini justru menjadikan bumerang karena saat semuanya terbongkar, hanya hal-hal buruk yang mendominasi semuanya.

Haknyeon marah, tetapi ternyata tanpa sadar dirinya juga menjadi seperti Ibunya.

"Haknyeon...."

"Jika Eomma mengatakan aku kembali ke Seoul, aku memang akan kembali," ucap Haknyeon sembari menatap Ibunya, tetapi perempuan itu kembali menghindari kontak mata dengannya, "tetapi aku kembali untuk berhenti dari pekerjaanku."

Perempuan itu segera menoleh ke arah Haknyeon dan terlihat panik. "Haknyeon, tidak! Kamu tidak bisa berhenti begitu saja dari mimpimu."

"Kenapa tidak, Eomma?"

"Haknyeon...."

"Kenapa Eomma selalu merasa jika anak-anakmu memutuskan untuk tetap tinggal di Jeju sama dengan berhenti mengejar mimpi?" tanya Haknyeon yang melihat Ibunya menundukkan kepala, kembali dengan agenda tidak berani menatapnya jika merasa bersalah. "Melihat dunia memang terdengar menyenangkan, tetapi pada akhirnya yang paling utama adalah keluarga, Eomma."

Tidak ada pembicaraan di antara keduanya, membuat Haknyeon menghela napas dan menekan tombol untuk memanggil perawat yang bertugas. Saat perawat datang, Haknyeon menjelaskan jika Ibunya sudah sadar sejak beberapa saat yang lalu dan meminta perawat untuk memanggil dokter sehingga bisa memeriksa keadaan perempuan tersebut.

Meski Ibunya beberapa kali memanggil Haknyeon untuk mengajaknya berbicara, tetapi dia hanya merespon dengan senyuman. Meski getaran dari ponsel di sakunya tidak kunjung berhenti, Haknyeon tidak menggunakan hal itu untuk melarikan diri dari Ibunya. Karena kemungkinan bahwa yang menelepon adalah San tidak membuat Haknyeon merasa lebih baik.

Masalahnya dengan Ibunya sudah cukup menguras keasabaran Haknyeon, dia tidak yakin bisa menghadapi San dengan keadaan normalnya. Namun, membiarkan San ikut merasakan emosi negatif Haknyeon terasa egois, karena ini masalahnya dan bukan masalah lelaki itu.

"Haknyeon...," panggilan serta tepukan pelan di bahunya, membuat Haknyeon menoleh dan ternyata Hyoyeon, kembarannya, "kamu pulang dan istirahatlah. Aku yang menjaga Eomma."

"Hmm...."

"Sebelum tidur jangan lupa makan terlebih dahulu!"

Haknyeon mendengarnya hanya tersenyum, tetapi kepalanya justru mengingat San. Karena satu-satunya orang yang dikenalnya menganggap serius tentang makan tiga kali sehari hanyalah San. Meski Haknyeon memang mengaku suka makan, tetapi rasanya sejak masuk kedokteran, pola makannya berantakan. Satu-satunya waktu pola makan Haknyeon menjadi benar saat San ada di sekitarnya.

Namun, Haknyeon tidak pernah bisa membiarkan San untuk mengetahui kehidupannya sedalam lelaki itu membiarkannya untuk tahu.

"Haah, ternyata pada akhirnya aku sama seperti Eomma...," gumam Haknyeon yang berada di luar ruang rawat Ibunya, kemudian menghela napas panjang, "aku bisa marah kepadanya, tapi apa bedanya aku lakukan kepada San?"

Merongoh sakunya dan melihat ponselnya yang penuh dengan notifikasi telpon yang tidak diangkat oleh San. Bahkan saat Haknyeon hendak membuka locksreen untuk mengakses ponselnya, telpon dari San kembali masuk. Serta Haknyeon yang tetap menjadi manusia keras kepala untuk tidak mengangkatnya hingga notifikasi telpon yang tidak diangkatnya dari San bertambah jumlahnya.

"Maaf karena aku egois, San." Haknyeon akhirnya bisa mengakses ponselnya dan kemudian menekan tombol untuk mematikan sinyal ponselnya. "Tapi aku belum siap untuk menceritakannya kepadamu secara langsung."

Karena Haknyeon tahu, jika dia melakukannya maka secara sadar meruntuhkan semua pertahanannya untuk dilihat oleh San. Itu mungkin tidak masalah, jika kemudian Haknyeon tidak membangun projeksi bahwa San memang akan selalu ada untuknya dan selalu memilihnya hingga akhir.

Saat hal itu bukanlah kenyataannya.

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang