14 - Keegoisannya yang Tidak Pernah Dipahaminya Hingga Akhir

27 6 0
                                    

"Dia benar-benar tidak mau menghubungiku?" Gerutu San yang entah untuk keberapa kalinya dia mengecek ponselnya hari ini.

Hyojung sampai menyita ponsel San saat jam makan malam tadi malam, karena dirinya yang terus mengecek ponselnya di atas meja. Mengharapkan ada notifikasi yang berasal dari Haknyeon, tetapi nyatanya tidak ada. Kalau ada yang bisa dibilang untung, Ibunya hari itu tidak makan malam di rumah karena ada pertemuan di luar. Meski San tidak begitu mau tahu itu pertemuan tentang apa, karena politik orang-orang kaya itu memuakkan.

Biasanya, hari Jumat adalah hari yang paling disenangi oleh San karena ini adalah hari di mana jamnya pulang bersisian dengan Haknyeon. Alasannya sebenarnya cukup sederhana, karena Haknyeon akan membawa San makan malam di tempat-tempat yang tidak diketahuinya sebelumnya. Tentu ini beberapa kali membuat Mingi—yang waktu itu masih berstatus sebagai tunangannya—merasa kesal karena San tidak pernah mau ditemui pada hari Jumat dengan alasan apa pun.

Meski pada akhirnya, mana bisa lelaki itu benar-benar marah kepada San.

"Haah, kenapa aku harus mengingatnya lagi?" gumam San, kemudian berdecak. "Sudah cukup waktuku selama ini untuk menoleransinya. Tidak ada yang bisa diselamatkan dari hubungan yang kumulai dengan kebohongan."

San kembali mengecek ponselnya, lalu menghela napas panjang. Jam istirahatnya telah berakhir dan membuatnya berdiri dari kursinya. Membawa nampan yang digunakannya untuk membawa makanan dan meletakkan semuanya ke tempat yang biasanya orang dapur akan mengambilnya untuk dibersihkan. Kalau mengingat San yang tidak tahu ini adalah hal dasar yang harus dilakukan oleh semua orang setelah makan di kantin, rasanya memalukan.

Apalagi San baru tahu sikapnya selama itu salah karena salah satu teman berkuliahnya yang menegur San. Mengatakan bahwa sikap San benar-benar tidak layak untuk disebut sebagai seseorang yang akan mengabdi sebagai seorang dokter, saat tidak tahu caranya menyingkirkan bekas makannya. Awalnya San marah kepada teman kuliahnya itu, tetapi saat tahu yang selama ini membereskan bekas makannya adalah Haknyeon membuatnya merasa jengkel.

"Ck, lagi-lagi mengingat sikap si bodoh itu." Gumam San dan berjalan menuju toilet untuk mencuci tangannya. Meski saat di toilet dan San memandang dirinya di cermin, dia tanpa sadar bergumam, "Tapi sebenarnya siapa yang lebih bodoh, aku atau Haknyeon?"

Saat keluar dari toilet, San berjalan menuju ruang praktiknya. Ruangan yang seringnya dikeluhkan sebagai tempat di ujung dunia karena jauh dari kehidupan dan menurut San justru memperburuk orang-orang yang datang kepadanya karena mencoba menolong diri sendiri.

Mengakui ada yang salah pada jiwa seseorang itu sudah sulit. Bisa mendorong diri sendiri untuk ke rumah sakit mencari pertolongan adalah hal yang cukup sulit. Namun, ada yang lebih sulit dari semua itu, yaitu setiap detik berlalu dalam kesunyian untuk tetap berpikir positif bahwa pilihannya bukan dibuat karena orang tersebut gila, tetapi karena memilih untuk menyelamatkan diri sendiri dari sikap destruktif yang akan disesali di masa depan.

Namun, sampai sekarang San tidak pernah berhasil untuk menyakinkan pihak rumah sakit untuk tidak mengasingkan tempat praktiknya dari dunia luar yang dinamik. Bahkan kenyataanya, San harus menerima kekalahan tempat praktiknya bukan dinamakan seperti seharusnya—spesialis dokter jiwa—tetapi spesialis gangguan tidur.

Beralasan kalau menuliskan nama yang sebenarnya justru membuat orang-orang enggan untuk datang berobat. Namun, bagi San itu hanyalah cara untuk rumah sakit mendapatkan uang lebih banyak dengan menjual kebohongan. Bahwa yang salah dari seseorang hanyalah kekurangan tidurnya, saat yang sebenarnya terjadi itu hanyalah salah akibat dari masalah yang sebenarnya.

"Haah...," lagi, San menghela napas panjang saat tiba di persimpangan lorong antara menuju ruangan praktiknya dan menuju ruangan praktik Haknyeon, "aku tidak meminta untuk dipindahkan di tempat banyak anak-anak, sungguh. Aku hanya meminta untuk tidak ditempatkan di ujung dunia apakah begitu sulit?"

Setelah berdiam beberapa saat dengan posisi berkaca pinggang, San akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju ruangan praktiknya. Meski itu berarti harus melewati lobi yang berbentuk lingkaran dan cahaya matahari yang merangsek masuk dari kubah kaca di atas sana. Memang terlihat cantik, tetapi karena ini pula arena lobi memerlukan banyak pendingin yang bekerja maksimal di musim panas.

Pada akhirnya San berhenti berjalan dan mengadahkan kepalanya ke atas. Merongoh sakunya untuk mengambil ponselnya dan membuka aplikasi kamera. Mengarahkan ke kubah dan memfotonya, lalu mengirimkan ke Haknyeon. Kebiasaan San yang senang memfoto hal random dan orang yang menampung fotonya adalah Haknyeon. Saat San melupakan foto-foto yang dikirimkan, Haknyeon datang membawakan album foto mini yang berisi foto-foto yang dikirimkannya selama beberapa waktu.

"Apa kamu benar-benar yakin yang mengajukan pengunduran diri adalah Haknyeon Euisa?" tanya seorang perawat yang lewat di samping San dan membuat San menegang. "Haknyeon Euisa mendadak cuti sudah membuat bagian anak-anak kewalahan. Apa kamu pikir masuk akal kalau Haknyeon Euisa ... astaga San Euisa, Anda tidak apa-apa?"

San bahkan tidak merespon dan setelah mengerjap beberapa saat, baru menyadari kalau ponsel di tangannya sudah terjatuh dan salah satu perawat yang berpapasan dengannya menyodorkan ponselnya dengan eskpresi khawatir.

"San Euisa, Anda tidak apa-apa?" tanya perawat tersebut, tetapi San tidak mengatakan apa-apa dan mengambil ponselnya terlebih dahulu. "Anda terlihat pucat, San Euisa."

San mengerjapkan matanya, kemudian mengangguk patah-patah. "Ah, tidak apa-apa. Kalian bisa meninggalkanku."

"Apa San Euisa yakin?"

San hanya tersenyum dan memberikan gestrur oke dengan jarinya dan perawat-perawat tersebut akhirnya berjalan meninggalkannya. Namun, kepala San rasanya sakit dan dadanya terasa sesak karena kemarahannya yang tidak tahu harus dimulai dari mana untuk Haknyeon.

"Haah ... dia benar-benar gila!" Maki San dan mengacak-acak rambutnya, lalu melihat layar ponselnya yang retak. "Ck, sepertinya aku harus merepotkan Jongho untuk membelikanku ponsel baru secepatnya."

Meski berkata seperti itu, San tetap berusaha menelepon Haknyeon. Berharap bahwa yang didengarnya tadi hanyalah lelucon, meski itu benar-benar tidak lucu. Namun, semakin banyak dering telepon yang terlewati dan tidak kunjung diangkat, semakin tipis harapan San bahwa ini hanyalah sebuah candaan. Membuatnya melengos dan berdecak karena kesal.

"Haknyeon, aku benar-benar menjitakmu jika menemukanmu."

Serta ternyata San menyadari bahwa menahan diri untuk tidak bersikap impulsif adalah hal yang paling sulit yang dilakukannya hari itu. Memang benar, lebih mudah mengatakan kepada seseorang daripada melakukan saran itu kepada diri sendiri. Pada akhirnya, San bisa tetap berada di ruang praktiknya hingga jam bekerjanya berakhir. Juga San tetap bisa pulang ke rumah dan bukan bersikap impulsif untuk segera pergi ke Jeju.

Atau mungkin, San hanya sudah lelah untuk memaklumi semua sikap Haknyeon yang terus mendorongnya untuk menjauh.

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang