27 - Dunia dari Pandangan Orang yang Tidak Menyadari Kesalahannya

14 4 0
                                    

Sudah beberapa hari ini Mingi tidak melihat Siyeon. Meski Mingi tidak suka sarapan di meja makan karena akan selalu bertemu dengan Ayahnya yang berakhir membandingkannya dengan Siyeon—yang mungkin tidak akan didengar oleh Mingi jika lelaki itu pergi dalam perjalanan bisnis—dan menyadari kalau tidak pernah mendengar nama Kakak tirinya itu disebutkan selama absennya dari meja makan pada saat seperti ini.

Meski Mingi bertanya-tanya ke manakah Siyeon pergi?

Namun, Mingi tidak akan menanyakan keberadaan Siyeon. Tidak kepada orang yang sialnya harus Mingi sebut sebagai Ayah untuk menanyakan Siyeon, karena itu sama dengan dirinya memancing sakit kepala serta rasa muak yang harus dirasakannya setiap dibandingkan atas pencapaian yang telah dibuat.

Sebenarnya siapa yang anak kandung Ayahnya? Mingi atau Siyeon?

"Ah, brengsek," maki Mingi saat sudah berada di mobilnya, "aku akan mencarinya di kantor."

Setidaknya Mingi yang menyetir mobilnya, bukan supir seperti kebiasaan keluarganya. Bahkan hanya karena hal ini, Ayahnya mengatakan hal-hal yang menyakitkan untuk Mingi dengar. Rasanya Mingi ingin mempertanyakan dunia, memangnya memilih menyetir mobil sendiri dan tidak menggunakan jasa supir itu bisa terlihat sehina itu di mata orang lain?

"Eomma sepertinya sudah gila saat memutuskan menikah dengan lelaki tua bangka itu," gerutu Mingi saat menjalankan mobilnya, lalu menghela napas panjang, "setidaknya Eomma tidak perlu menderita karena tidak mendengar omongan-omongan yang menyakitkan itu."

Sebenarnya saat di jalan, Mingi berpikir untuk mampir ke apartemen Siyeon. Hanya untuk mengecek keberadaan Kakak tirinya itu, meski Mingi tidak yakin harus menyusun alasan apa jika menemukan Siyeon berada di sana. Mengatakan kalau Mingi khawatir rasanya seperti lelucon untuk April Fool, hanya saja sekarang bukanlah bulan April.

Pada akhirnya, Mingi memutuskan untuk tetap pada tujuan awalnya, ke kantor. Meski mall belum di buka, tetapi karyawan sudah berada di tempat masing-masing. Mingi berkeliling dengan sekretarisnya dan menjawab sapaan yang ditunjukkan kepadanya dengan seadanya.

Sebenarnya bukan Mingi tidak bisa bersikap ramah, tetapi belajar dari pengalaman di masa lalu, lebih baik dia memberikan respon seadanya. Karena hanya karena Mingi bersikap ramah kepada orang-orang tertentu, rumor bahwa mereka akan mendapatkan keistimewaan dalam banyak hal yang membuat dirinya muak.

Namun, Mingi tetap tidak menemukan Siyeon meski sudah berkeliling pusat perbelanjaan. Mencoba berpikir positif jika perempuan itu berada di mall lainnya—karena perusahaan keluarga mereka memang memiliki beberapa mall retail di Seoul—tetapi Mingi merasa aneh jika itu memanglah kenyataannya. Karena Siyeon selalu mengatakan kepada Mingi jika memang tidak ada di tempat—meski biasanya pesan Siyeon itu hanya berakhir dibaca oleh Mingi—dan membuatnya menghela napas panjang.

Kenapa Mingi harus peduli?

Akan tetapi, saat melihat sekretaris Siyeon yang tampak panik melewatinya—meski memang ekspresi perempuan itu seringkali terlihat panik atau hendak menangis yang membuat Mingi bertanya-tanya apakah itu sudah ekspresi default—dan itu membuatnya merasakan perasaan tidak nyaman. Namun, Mingi tetap tidak mencoba untuk mencari tahu dan membiarkan sekretaris Siyeon menghilang dari pandangannya.

"Haah, ini benar-benar membuatku gila." Mingi mengacak rambutnya saat sudah berada di ruangannya dan duduk di mejanya, hanya untuk disambut dengan banyaknya hal yang harus dibaca serta ditanda tanganinya. "Kenapa waktu kecil aku berpikir menjadi orang dewasa itu menyenangkan?"

Meski menggerutu seperti ini tidak akan mengembalikan Mingi ke masa lampau, tetapi mengatakan hal itu bisa membuatnya sedikit lebih baik. Berbicara sendiri sebenarnya tidak terdengar baik dilakukan oleh orang yang waras, tetapi di ruangan ini hanya ada Mingi dan melakukan hal itu setidaknya tidak akan mendapatkan penilaian dari orang-orang.

Memangnya apa yang orang lain tahu tentang kehidupan Mingi?

Setengah jam sebelum makan siang, Mingi sudah berada di mobilnya. Pekerjaan di mejanya rasanya tidak ada habisnya dan Mingi kesal saat tahu penyebabnya. Siyeon tidak ada di tempat dan semua pekerjaan perempuan itu mendadak mendarat di mejanya. Rasanya Mingi sia-sia mengkhawatirkan perempuan itu selama beberapa hari kalau tahu dirinya yang berakhir harus menghandle pekerjaan Siyeon.

"Oh benar, aku tidak bisa meneleponnya," gumam Mingi saat menyadari dia yang hampir menelepon San, kemudian menatap ponselnya, "tapi apa kesepakatan itu masih berlaku saat kita seperti ini, San?"

Tentu pertanyaan Mingi itu tidak ada jawabannya karena dia tidak dalam sambungan telepon dengan San. Menghela napas, kemudian Mingi memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada San untuk mengajaknya makan siang. Meski Mingi merasa gelisah menunggu apakah San membaca pesannya atau mengabaikan seperti biasanya. Namun, Mingi tidak menyadari jika tersenyum lebar saat pesannya dibaca oleh San.

Apalagi saat San akhirnya membalas—setelah sekian banyak pesan yang Mingi kirimkan yang tidak pernah dibaca—yang membuat perasaan Mingi terasa lebih baik.


San:
Oke.


Mingi tidak pernah tahu jika hanya respon seperti itu dari San bisa membuat perasaannya lebih baik. Bahkan Mingi tidak peduli dengan orang-orang yang membawa mobil ugal-ugalan di jalan—padahal biasanya akan dimaki-maki olehnya karena membahayakan orang lain—dan memikirkan berbagai opsi untuk mengajak San makan siang.

Mungkin San sudah mulai mereda kemarahannya dan akan kembali kepada Mingi.

Saat sampai ke rumah sakit, Mingi segera turun dari mobilnya dan hendak berjalan menuju ruang praktik San. Namun, saat baru sampai di lobi, Mingi tersenyum saat melihat San sudah berada di sana. Meski saat Mingi melangkah mendekat, menyadari jika San tengah melamun dan tatapannya tidak seperti yang diingatnya selama ini.

Namun, Mingi mengabaikan itu karena mengira itu hanyalah pemikirannya.

"San," panggil Mingi yang membuat lelaki itu menoleh, "ayo kita pergi."

Biasanya, San akan menjawab dan kemudian menceritakan harinya—meski kebanyakan keluhan—tetapi kali ini Mingi menyadari jika San merespon hanya dengan gumaman. Juga, Mingi menyadari jika San tidak berjalan bersisian dengannya, tetapi berjalan terlebih dahulu darinya. Meski Mingi menyusul langkah San dan menyamakan langkah mereka, tetapi itu tetaplah membuatnya bertanya-tanya.

Apakah San yang bersama Mingi saat ini adalah orang yang dikenalnya selama ini?

Ataukah San yang bersama Mingi saat ini adalah orang yang masih marah kepadanya karena alasan yang tidak bisa diketahuinya sampai sekarang?

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang