16 - Selalu Menjadi Orang yang Tidak Terpilih Itu Menyakitkan

22 5 1
                                    

Saat Mingi akhirnya sampai di area rumah sakit, dia tahu ini sudah mendekati akhir dari jam makan siang San. Ada keraguan Mingi untuk menghampiri San, karena meski hubungan mereka telah berakhir, dia masih mengingat untuk tidak saling menganggu waktu mereka bekerja tiba.

"Haruskah aku menghampirinya?" gumam Mingi tanpa sadar, kemudian menghela napas panjang. "Sudah berada di sini dan pergi rasanya sia-sia. Lebih baik menyesal telah mencoba daripada menyesal karena tidak mencoba."

Meski begitu, butuh waktu 5 menit untuk Mingi turun dari mobilnya. Karena meyakinkan diri sendiri tidaklah semudah yang Mingi harapkan. Saat berjalan masuk ke rumah sakit, beberapa perawat menyapa Mingi karena mengetahui identitasnya sebagai tunangan San.

Mengingat hal itu membuat Mingi meringis dalam hati, karena nyatanya hubungan mereka telah berakhir. Tadinya Mingi pikir dia harus berjalan ke ruang praktik San, tetapi ternyata dia melihat lelaki itu yang tengah berhenti di tengah lobi dan mendongakkan kepala ke atas. Memotret kubah tersebut, kemudian terlihat tengah mengetik sesuatu kepada seseorang.

Rasanya aneh melihat San yang tersenyum lebar hanya karena mengetik sesuatu kepada seseorang. Juga, Mingi menyadari kalau senyuman San itu benar-benar berbeda dari yang selama ini dilihatnya saat mereka bersama. Mingi masih sukar mempercayai alasan San saat memutuskan hubungan mereka secara sepihak dan meski sudah melihat seperti ini, kepalanya masih menolak untuk mempercayainya.

Karena Mingi masih berharap pada penghujung hari, San memilihnya.

Namun, rasanya harapan itu semakin lama semakin tipis karena melihat reaksi San yang tiba-tiba menjatuhkan ponselnya saat beberapa perawat lewat di sampingnya. Entah apa yang dibicarakan oleh rombongan perawat tersebut dan refleks Mingi untuk menghampiri San.

Kemudian, Mingi memutuskan untuk berhenti berjalan saat jaraknya kurang dari 5 meter. Karena Mingi melihat salah satu perawat memungut ponsel San, sembari bertanya, "San Euisa, Anda tidak apa-apa?"

Akan tetapi, San tidak mengatakan apa-apa dan mengambil mengambil ponselnya terlebih dahulu. Namun, Mingi bisa melihat dengan jelas kalau wajah San yang memucat dan tatapannya menjadi kosong. Rasanya Mingi tidak pernah melihat San bersikap sepeti ini sebelumnya.

"Anda terlihat pucat, San Euisa."

San mengerjapkan matanya, seperti tersadar dari lamunannya. Kemudian mengangguk patah-patah sebagai respon. Mingi tahu jika San terlalu terkejut, maka dia akan kehilangan kemampuan berbicara untuk sesaat karena kepalanya masih memproses apa yang sebenarnya terjadi. Setelah beberapa saat, San merespon, "Ah, tidak apa-apa. Kalian bisa meninggalkanku."

"Apa San Euisa yakin?"

San tersenyum dan memberikan gestrur oke dengan jarinya dan perawat-perawat tersebut akhirnya berjalan meninggalkannya. Mingi hendak menghapiri San, tetapi tatapan kemarahan lelaki itu yang membuatnya tetap berdiri ditempatnya. Rasanya Mingi hanya melihat San benar-benar marah pada hidupnya hanya dua kali, itu pun hanya memilih diam dan pergi meninggalkannya. Bukan seperti yang dilihat Mingi sekarang.

Sebenarnya, San kenapa?

"Haah ... dia benar-benar gila!" Maki San dan mengacak-acak rambutnya, lalu melihat layar ponselnya selama beberapa saat. "Ck, sepertinya aku harus merepotkan Jongho untuk membelikanku ponsel baru secepatnya."

Mingi pikir, dia akan melihat San yang berjalan secepatnya menuju ruang praktiknya. Mencari tempat privat untuk menyendiri karena kemarahannya. Bukan seperti sekarang, melihat San yang tengah berusaha menelepon seseorang. Mingi tidak pernah berpikir akan ada momen di mana dirinya akan melihat San yang terlihat marah serta kesal, tetapi tatapannya seperti putus asa.

Entah berapa kali San mencoba untuk menelepon seseorang, tetapi tidak kunjung diangkat. Pada akhirnya Mingi melihat San akhirnya menyerah, tetapi melihat lelaki itu melengos dan berdecak kesal, rasanya seperti bukan melihat seseorang yang bersamanya selama ini.

Karena San yang dikenal Mingi bukanlah orang yang benar-benar berusaha untuk mendapatkan sesuatu dengan usaha maksimalnya. Jika dalam dua atau tiga kali percobaan tidak ada hasil yang diharapkan, biasanya Mingi melihat San menyerah.

"Haknyeon, aku benar-benar menjitakmu jika menemukanmu."

Haknyeon?

Bukankah itu lelaki yang menjadi teman sejak San kuliah?

Kenapa lelaki itu bisa membuat San menjadi seseorang yang tidak Mingi kenali sikapnya?

Pada akhirnya, Mingi membiarkan San berjalan ke tempat praktiknya dan melupakan niatannya untuk mengajak lelaki itu makan siang bersamanya. Tidak, tepatnya Mingi pada akhirnya menyadari bahwa mengajak San untuk makan siang adalah hal yang sia-sia.

Juga Mingi menyadari kalau mungkin sebenarnya yang membuat San memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka selama ini bukanlah orang yang dipikirkannya.

"Haah...," Mingi menghela napas panjang dan mendesis, kemudian melengos, "seharusnya aku menyadari hal ini sejak dahulu. Tidak mungkin mereka hanyalah teman seperti yang San katakan kepadaku selama ini."

Apakah pada akhirnya, Mingi tidak pernah dipilih oleh siapa pun karena tidak layak untuk disayangi karena terlalu disfungsional?

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang