06 - Ajakan ke Pernikahan Temannya & Batasan yang Terus Memburam

46 9 2
                                    

Haknyeon memang bilang San punya waktu setengah jam untuk mengomelinya jika ingin. Namun, bukan berarti Haknyeon benar-benar menanti omelan tersebut—karena dia mengatakannya setengah bercanda—dan nyatanya San mengikutinya kembali ke ruang praktiknya. Memang jadwal praktik Haknyeon selanjutnya dari jam 3 sore sampai jam 7 malam, tetapi jadwalnya San jelas berbeda darinya karena mereka berada di bidang yang berbeda.

San sebagai dokter jiwa dan Haknyeon sebagai dokter anak.

"Kamu benar-benar akan mengomeliku, San?" tanya Hanyeon yang membuat San mendelik. Haknyeon hanya tertawa dan mengacak rambut San, meski tahu konsenkuensinya. Mendengar teriakan San—yang terlalu keras dari seharusnya—dan lengan kirinya yang dipukul oleh lelaki itu yang membuat Haknyeon mengaduh, meski tetap tertawa. Setelah situasi sedikit lebih tenang, Haknyeon berkata, "Kalau bukan untuk mengomeliku, kenapa masih ada di sini?"

"Kamu kenapa?" tanya San, mengernyit. "Sejak tadi pagi sikapmu aneh dan sekarang berniat mengusirku secepatnya."

"Aku hanya bertanya, bukan mengusirmu."

"Tapi kamu tidak membantah kalau sejak pagi dirimu aneh." San bersedekap, menatap Haknyeon kesal. "Juga tidak membantah kalau memang sengaja menghindariku saat di lobi rumah sakit."

Haknyeon hanya tersenyum dan San berdecih karena sampai akhir tidak bisa membuatnya mengatakan yang sebenarnya. Karena Haknyeon tahu, jika dirinya mengatakan yang sebenarnya, San pasti benar-benar berada di sekitarnya sampai merasa semua kondisinya terkendali.

Namun, apa definisi terkendali San memang sama dengan definisinya Haknyeon?

"Haah, aku menyerah," suara San membuat lamunan Hakyeon buyar dan menatap lelaki itu, "Sabtu ini salah satu temanku menikah. Kamu ingat Seonghwa, 'kan? Dia menikah, tapi bukan dengan tunangannya itu."

"Oh? Benarkah? Aku senang mendengarnya."

"Bahkan kamu yang hanya melihat kisah mereka sekilas pun merasakan hal yang sama denganku yang melihat mereka bertahun-tahun lamanya," ucap San yang kembali menghela napas, kemudian menatap Haknyeon, "kamu mau pergi bersamaku?"

"Apa?"

"Kenapa kamu malah bertanya 'apa' kepadaku?" San mengernyit dan sekarang sebelah tangannya memegang dahi Haknyeon dengan punggung tangan. "Suhu badanmu normal, jadi apa yang membuatmu bersikap aneh hari ini?"

Haknyeon tersenyum dan menyingkirkan tangan San dari dahinya. "Aku tidak apa-apa, hanya terkejut."

"Memangnya ajakanku seaneh itu sampai harus diberikan reaksi begitu?"

"Aku pikir kamu akan mengajak orang lain," jelas Haknyeon yang tetap tersenyum, tetapi berharap setelah mengatakan itu tidak akan terlihat kesal, "seperti Youngkyun misalnya."

San terdiam dan matanya terbelalak, seperti tidak menyangka Haknyeon akan mengatakan hal tersebut. Melihat reaksi tersebut, Haknyeon tetap tersenyum, tetapi nyatanya ada rasa sesak yang tidak mau diakuinya karena ternyata apa yang dikatakannya memang benar. Bahwa pada akhirnya, San hanya melihat orang lain dan bukan dirinya.

Pada akhirnya, San hanya melihat Haknyeon tidak lebih dari temannya sejak berkuliah di kedokteran.

"Aku akan pergi bersamamu, San."

San mengerjapkan matanya, kemudian menatap Haknyeon dengan berbagai emosi yang tidak ingin diterjemahkannya. Karena saat Haknyeon memilih untuk melakukannya, maka akan ada harapan yang seharusnya tidak pernah muncul sejak awal. Karena pada akhirnya, harapan adalah awal dari rasa sakit karena tidak bisa menerima kenyataan tidak sesuai dengan yang dibayangkan.

"Aku bukan mau mengusirmu, tapi lebih baik kamu lihat jam di ruangan ini," Haknyeon menunjuk jam dinding di belakangnya, "jam praktikmu akan dimulai dalam lima menit lagi dan ruanganmu berada di ujung lain dari sini, San."

San berdecak mendengar perkataan Haknyeon, kemudian berkaca pinggang. "Seharusnya ada yang meregulasi peletakkan bagian psikiatri tidak di ujung lain rumah sakit ini."

"Tidak semua orang yang jiwanya membutuhkan pertolongan sanggup untuk mendapatkan tatapan orang lain, San." Haknyeon menarik sebelah tangan San, memberikan lolipop yang ada di saku jasnya. Membuatnya mendapatkan delikan dari San dan Haknyeon hanya tersenyum. "Pikiran seseorang yang baru mau menyelamatkan diri sendiri saat sampai di rumah sakit itu bermacam-macam." Haknyeon mengantarkan San sampai depan pintu ruang praktiknya, kemudian membukakan pintu. Menatap San, lalu berkata, "Jadi, hal terakhir yang mereka perlu tahu adalah tatapan orang lain yang menilai keberadaannya itu salah, San."

"Kamu bisa menyingkat perkataanmu dengan bilang kalau tempatmu itu terlalu sensitif karena berisi anak-anak, Haknyeon Euisa," gerutu San dan Haknyeon tersenyum, "dan berhenti memberikan permen. Kamu bisa membuat pasienmu lebih lama sembuh jika memberikan ini kepada mereka."

"Oh, aku hanya memberikan kepadamu, San."

"Apa?"

Haknyeon memandang jam dinding yang berada di tempat perawat berkumpul, lalu menepuk-nepuk punggung San sembari sedikit mendorongnya. "Oke, kkeut. Kembali ke tempatmu atau jam kerjamu akan berakhir lebih lama, San Euisa."

San berdecak, tetapi akhirnya dia mulai melangkah pergi. Haknyeon tersenyum kepada perawat-perawat yang menatapnya, menundukkan kepalanya, lalu menutup pintu ruang praktiknya. Ada beberapa jurnal yang harus Haknyeon baca karena Profesor Yang meminta pendapatnya tentang cacar monyet yang mulai muncul dan mayoritas menyerang anak-anak.

Namun, suara pintu yang terbuka membuat Haknyeon mengalihkan tatapannya dari tablet yang tengah menampilkan laman jurnal yang dibacanya. Melihat perawat senior Park yang membawakannya minuman tentu membuat Haknyeon merasa aneh, karena biasanya perawat lain yang datang ke ruangannya, menanyakan terlebih dahulu apa yang hendak diminumnya dan baru kembali lagi untuk membawakan permintaannya.

"Park Gonhasa, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Haknyeon yang secara tidak sadar memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih layak untuk dilihat.

"Saya hanya membawakan Haknyeon Euinsa minuman," perempuan yang memasuki usia 42 tahun—yang mana Haknyeon baru tahu karena diminta untuk ikut andil dalam memberikan kejutan ulang tahun perawat senior Park sebulan yang lalu—meletakkan gelas teh di mejanya, "maaf saya seharusnya menelepon untuk membuat Anda tahu kedatangan saya."

"Ti-tidak apa-apa. Lagipula ini bukan jam praktik," respon spontan Haknyeon yang terbata, lalu menggoyangkan sebelah tangannya untuk memberikan sinyal tidak mempermasalahkannya sembari tersenyum, "terima kasih karena membawakan saya minuman."

Haknyeon pikir, hanya sampai di situ interaksi mereka dan perawat senior Park akan meninggalkannya. Namun, dugaan Haknyeon salah.

Karena perawat senior Park tiba-tiba berkata, "Apa Anda tidak lelah untuk mengikuti arus?"

"Iya?" Haknyeon mengernyit, kemudian merasa respon spontannya tidaklah sopan. "Maaf, maksud saya ... konteks apa yang tengah kita bicarakan sekarang, Park Gonhasa?"

"Anda dan San Euisa...," perkataan perawat senior Park hanya membuat Haknyeon menghela napas, tetapi senyuman di wajahnya—yang rasanya semakin ke sini semakin kehilangan makna yang sebenarnya—nyatanya tidak membuat ekspresi wajah perempuan paruh baya tersebut berubah, "saya tahu mengatakan ini lancang karena ini adalah hidup Anda, tetapi saya merasa perlu mengatakan ini."

Melihat perawat senior Park yang tidak pernah terlihat sefrustrasi seperti ini di depan Haknyeon. Pada satu sisi diri Haknyeon merasa bersalah, tetapi sekaligus ingin menertawakan dirinya karena ternyata semua orang bisa melihatnya. Ternyata begitu jelas dmata semua orang.

Kecuali untuk San.

"Sebaiknya Anda membuat batasan untuk San Euisa. Karena Anda orang baik, tetapi hanya tidak bisa tegas mengabil sikap."

Shake You Down | Hwisan, Minsan & Haksan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang